Kamis
(23/6/2016) waktu Inggris, atau Jumat (24/6/2016) waktu Indonesia, akan menjadi
hari yang bersejarah bagi negeri Ratu Elizabeth. Mayoritas warganya akan
mengikuti referendum, memutuskan apakah mereka akan tetap bertahan atau keluar
dari konsorsium dagang Uni Eropa (UE).
Hingga
pukul 11.00 WIB, jajak pendapat yang dilakukan oleh salah satu lembaga
nonprofit UE, What UK Thinks, menunjukkan kedua kubu memperoleh suara imbang,
50 persen untuk pro UE dan 50 persen untuk pro UK.
Wacana
keluarnya Inggris dari UE, atau yang dikenal dengan nama Brexit, telah muncul sejak 2012. Desakan itu berawal dari defisit
perdagangan Inggris yang dialami sejak bergabung dengan UE 27 tahun silam.
Di
sisi lain, banyak pihak juga menilai Inggris akan rugi jika keluar dari UE.
Setidaknya Inggris diprediksi akan kehilangan pendapatan hingga USD145 miliar
(setara Rp1.906 triliun) dan 1 juta pekerjaan pada tahun 2020 nanti.
Akan
tetapi, Brexit juga diramalkan banyak ekonom akan menambah kondisi ekonomi
global semakin tidak karuan. Ekonom Samuel Asset Manajemen, Lana
Soelistyaningsih, memprediksi akan terjadi gejolak nilai tukar di pasar
finansial global.
Gejolak
tersebut akan ditandai dengan penguatan mata uang dolar AS terhadap
Poundsterling paling tidak sebesar 10 persen. Penguatan Poundsterling juga akan
menekan harga minyak dunia dan komoditas secara keseluruhan.
Selain
itu, kerja sama perdagangan semua negara yang melibatkan Inggris harus ditinjau
ulang. Selama ini, setiap perjanjian kerja sama perdagangan yang dibuat dengan
negara UE tidak dilakukan secara bilateral, namun melalui UE.
Jika
Inggris keluar dari UE, berarti semua perjanjian yang melibatkan Inggris bisa
dikatakan tidak berlaku.
Lalu,
apakah dampak Brexit bagi perekonomian Indonesia?
Bursa
Efek Indonesia (BEI) menilai sentimen referendum Inggris itu hanya akan
bersifat sementara saja. "Setelah itu, di pasar akan terjadi adjustment
hingga harga saham kembali ke nilai yang dianggap wajar," kata Direktur
Penilaian Perusahaan BEI, Samsul Hidayat, dalam lansiran Republika.co.id.
Berdasarkan
analisis Bank Indonesia, Brexit akan lebih banyak berpengaruh di kawasan Eropa
yang berhubungan secara langsung dengan Inggris.
Deputi
Menko Perekonomian Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter, Bobby Hamzar Rafinus,
memastikan tidak ada pengaruh signifikan bagi Indonesia dengan keputusan apapun
yang akan diambil Inggris nanti.
Pasalnya,
Inggris hanya berada di urutan keempat bagi Indonesia dalam hal besaran nilai
perdagangan dengan UE. Bila pun berdampak, itu hanya akan berpengaruh sedikit
pada pola perdagangan dan investasi dengan UE dan Inggris.
Mengutip
catatan di Kementerian Perdagangan, neraca perdagangan antara Indonesia-Inggris
sampai Mei 2016 masih mengalami surplus sebesar USD159,74 juta, dengan nilai
ekspor Indonesia ke Inggris tercatat USD364,63 juta dan impor sebesar USD204,89
juta.
Nilai
investasi Inggris di Indonesia sepanjang triwulan pertama 2016 mencapai
USD54,87 juta dengan penyerapan tenaga kerja mencapai 6.927 tenaga kerja.
Deputi
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, memberikan tiga penangkal utama yang
membuat Indonesia tidak akan terdampak oleh Brexit.
Pertama,
Indonesia memiliki pengalaman dalam menghadapi krisis ekonomi global. Hal ini
menjadi modal utama bagi Indonesia untuk menghadapi ancaman Brexit.
Kedua,
keputusan Brexit ini diyakini hanya
akan berdampak bagi UE. Indonesia yang tidak bergabung dengan kerja sama
perdagangan bebas bersama UE pun diyakini tidak akan terpengaruh dengan adanya
rencana Inggris untuk keluar dari UE.
Ketiga,
stimulus dan pelonggaran kembali kebijakan moneter dan makroprudensial akan
meningkatkan prospek ekonomi Indonesia. Indonesia perlu meningkatkan belanja
modal sebagai antisipasi adanya capital outflow apabila Inggris resmi
keluar dari UE.
Dengan
begitu, nantinya fundamental ekonomi Indonesia diyakini akan semakin menguat
dengan dorongan dari sektor dalam negeri.
oleh Ronna
Nirmala
disadur
dari beritagar.id, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar