Sudah
lebih dari setahun, kita mempunyai pemerintahan baru. Tapi,
rasa-rasanya, kita masih susah untuk bilang bahwa ekonomi kita sudah bergerak
cepat. Semuanya terasa lamban, jauh dari jargon ketika Joko Widodo dan Jusuf
Kalla berkampanye untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Rasanya
fair bagi kita untuk menuntut
perubahan yang ingar-bingar dan revolusioner di banyak sektor. Mengingat,
Presiden Jokowi dan Wapres Kalla memiliki dukungan yang mutlak dari rakyat
untuk menjalankan roda pemerintahan.
Hanya
perubahan nyata memang belum banyak kita rasakan. Misalnya, masalah pangan
masih jadi problema dilematis sekaligus simalakama. Keinginan menurunkan harga
daging, bawang merah, hingga gula dengan kebijakan impor tak mampu memangkas
harga. Harga masih bertengger di atas. Hanya pemburu rente yang bisa menikmati pembebasan impor pangan.
Upaya
pemerintah menggenjot proyek infrastruktur juga tak semudah membalik tangan.
Selain lahan, ketidaksiapan anggaran juga menjadi masalah. Pekan-pekan ini,
kita disuguhi kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk menggerakkan ekonomi
sangat terbatas.
Pembahasan
revisi anggaran 2016 menjadi bukti minimnya ruang gerak pemerintah untuk bisa
mengungkit ekonomi. Target penerimaan negara Rp 1.786,2 triliun masih rentan
bisa terpenuhi, mengingat tumpuan anggaran ada di tax amnesty dan kenaikan asumsi minyak mentah Indonesia dari US$ 35
menjadi US$ 40 per barel.
Target
penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun
rasanya sulit 100% terpenuhi. Data yang dimiliki pemerintah tak pernah
terungkap jelas sumber dan besaran dana-dana yang dimiliki para wajib
pajak yang selama ini tersimpan di luar negeri.
Pun
begitu dengan harapan kenaikan harga minyak, belum memiliki fundamental yang
kokoh untuk bisa berharap bisa menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 52,3
triliun. Ini artinya, target belanja negara Rp 2.082,9 triliun masih
menyimpan masalah dilematis.
Dus,
bila dua target tersebut yang meleset anggaran negara berpotensi jebol Rp
217 triliun. Padahal, dana itulah yang diharapkan menjadi sumber pembiayaan
proyek infrastruktur. Makanya, banyak analis maupun ekonom minta pemerintah
realistis menetapkan target, berani memangkas anggaran untuk pos-pos yang wah
dan seret pencairan.
Mengalihkan
ke pos produktif lebih utama, termasuk untuk mendongkrak daya beli warga.
oleh
Titis Nurdiana
disadur
dari Kontan, Kamis, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar