Editors Picks

Kamis, 23 Juni 2016

Dilematis



Sudah lebih dari setahun,  kita mempunyai pemerintahan baru. Tapi, rasa-rasanya, kita masih susah untuk bilang bahwa ekonomi kita sudah bergerak cepat. Semuanya terasa lamban, jauh dari jargon ketika Joko Widodo dan Jusuf Kalla berkampanye untuk menjadi presiden dan wakil presiden.    

Rasanya fair bagi kita untuk menuntut perubahan yang ingar-bingar dan revolusioner di banyak sektor. Mengingat, Presiden Jokowi dan Wapres Kalla memiliki dukungan yang mutlak dari rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan.

Hanya  perubahan nyata memang belum banyak kita rasakan. Misalnya, masalah pangan masih jadi problema dilematis sekaligus simalakama. Keinginan menurunkan harga daging, bawang merah, hingga gula dengan kebijakan impor tak mampu memangkas harga. Harga masih bertengger di atas. Hanya pemburu rente yang bisa menikmati pembebasan impor pangan.

Upaya pemerintah menggenjot proyek infrastruktur juga tak semudah membalik tangan. Selain lahan, ketidaksiapan anggaran juga menjadi masalah. Pekan-pekan ini, kita disuguhi kenyataan bahwa alokasi anggaran untuk menggerakkan ekonomi sangat terbatas.

Pembahasan revisi anggaran 2016 menjadi bukti minimnya ruang gerak pemerintah untuk bisa mengungkit ekonomi. Target penerimaan negara Rp 1.786,2 triliun masih rentan bisa terpenuhi, mengingat tumpuan anggaran ada di tax amnesty dan kenaikan asumsi minyak mentah Indonesia dari US$ 35 menjadi US$ 40 per barel.

Target penerimaan tax amnesty Rp 165 triliun rasanya sulit 100% terpenuhi. Data yang dimiliki pemerintah tak pernah terungkap jelas sumber dan besaran dana-dana yang dimiliki para wajib pajak yang selama ini tersimpan di luar negeri.

Pun begitu dengan harapan kenaikan harga minyak, belum memiliki fundamental yang kokoh untuk bisa berharap bisa menyumbang penerimaan negara sebesar Rp 52,3 triliun. Ini artinya, target belanja negara  Rp 2.082,9 triliun masih menyimpan masalah dilematis.

Dus, bila dua target tersebut yang meleset  anggaran negara berpotensi jebol Rp 217 triliun. Padahal, dana itulah yang diharapkan menjadi sumber pembiayaan proyek infrastruktur. Makanya, banyak analis maupun ekonom minta pemerintah realistis menetapkan target, berani memangkas anggaran untuk pos-pos yang wah dan seret pencairan.  

Mengalihkan ke pos produktif lebih utama, termasuk untuk mendongkrak daya beli warga.

oleh Titis Nurdiana
disadur dari Kontan, Kamis, 23 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar