Dalam artikel di Kompas, 3 Maret
2016, Andreas Lako khawatir niat baik kebijakan amnesti pajak pemerintah tidak
efektif dan justru menjadi bumerang. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebut
keefektifan atau kemangkusan suatu kebijakan dapat membawa hasil, sedangkan
pengampunan merupakan pembebasan dari hukuman atau tuntutan.
Amnesti pajak merupakan pembebasan
sanksi atau tuntutan pajak, dapat berupa pokok pajak dan sanksinya seperti
bunga, denda, dan kenaikan. Keefektifan amnesti pajak dapat diukur dari
keberhasilan menambah penerimaan pajak Rp 60 triliun- Rp 100 triliun (Kontan,
29/2). Pembebasan dapat diberikan atas sanksi administrasi (bunga, denda, atau
kenaikan) atau pidana (kurungan/penjara dan denda 200-400 persen).
Pembebasan sanksi dapat semuanya
atau sebagian (hanya pidana atau administrasinya saja). Sanksi administrasi pun
dapat bebas sebagian saja. Dalam tahun 2015 pemerintah telah dua kali
membebaskan sanksi administrasi pajak.
Pertama, pembebasan bunga penagihan
lewat peraturan menteri keuangan, yakni PMK-29/PMK.03/2015 tanggal 13 Februari
2015. Dengan pelunasan utang, diharapkan tidak ada lagi tunggakan pajak. Kedua,
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas kelambatan penyampaian
surat pemberitahuan (SPT), pembetulan SPT, dan kelambatan pembayaran atau
penyetoran pajak dengan PMK-91/PMK.03/2015 tanggal 30 April 2015. Kedua
kebijakan itu merupakan amnesti pajak terbatas pada sanksi.
Tujuan kebijakan penghapusan bunga
penagihan adalah mendorong wajib pajak melunasi utang pajak dan meningkatkan
penerimaan negara. Sementara itu, tujuan kebijakan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi atas keterlambatan dan pembetulan SPT adalah pembinaan
wajib pajak berupa dorongan penyampaian SPT, membayar, atau menyetorkan
kekurangan bayar pajak dalam SPT, membetulkan SPT 2015, dan meningkatkan
penerimaan pajak, serta membangun basis perpajakan yang kuat.
Dalam tahun 2008, berdasarkan Pasal
37A Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat Ketentuan Umum
Perpajakan (UUKUP) juga pernah dilakukan pengampunan sanksi pajak atas
pembetulan SPT yang disebut sunset policy.
Karena dirasa berhasil menambah penerimaan pajak (Rp 7,5 triliun) sehingga
penerimaan 2008 surplus, kebijakan diperpanjang sampai akhir Februari 2009.
Berbeda dengan sunset policy yang dievaluasi keefektifannya, kebijakan PMK-29/2015
dan PMK-91/2015 rasanya belum ada pemberitaan pemerintah tentang keberhasilan
pencapaian tujuannya, yaitu (i) lunasnya utang pajak dan penurunan tunggakan;
(ii) peningkatan penerimaan; (iii) pembinaan WP menyampaikan SPT; (iv) membayar
atau menyetor kekurangan bayar pajak dalam SPT; (v) pembetulan SPT 2015; dan
(vi) penguatan basis perpajakan.
Enam
tujuan
Sebetulnya sebelum menginisiasi
amnesti pajak yang lain (pembebasan pokok dan semua sanksi pajak dan diganti
dengan uang tebusan dari harta), untuk meyakinkan apakah amnesti pajak itu
efektif atau bahkan menjadi bumerang (merugikan sistem pajak nasional) perlu
evaluasi kedua kebijakan dimaksud. Evaluasi keefektifan harus terbukti bahwa
kedua kebijakan telah berhasil (i) meningkatkan penerimaan 2015; (ii)
mengurangi signifikan jumlah tunggakan; (iii) lebih banyak SPT masuk di tahun
2016; (iv) melunasi tunggakan dan menyetor kekurangan pembayaran dalam SPT; (v)
pembetulan SPT sehingga mengurangi pemeriksaan dan penyidikan; dan (vi) basis
perpajakan semakin kuat yang mampu mencegah penghindaran dan pengelakan pajak
sedini mungkin sehingga memaksimalkan kepatuhan pajak.
Kalau keenam tujuan itu belum
tercapai, berarti ada hambatan yang harus dicarikan jalan keluar dan sebagai
masukan dalam inisiasi amnesti pajak yang lebih besar nanti agar efektif
mencapai hasil yang diharapkan. Karena itu, sudah seharusnya respons positif
dilakukan atas usulan bijak Andreas agar lebih jeli dan hati- hati dalam
inisiasi amnesti pajak. Demikian juga dengan perubahan UU Perpajakan seperti UU
KUP, UU Pajak Penghasilan, dan UU Pajak Pertambahan Nilai.
Inisiasi awal semua UU itu adalah
para ahli, ilmuwan, dan praktisi reformasi perpajakan profesional di beberapa
negara yang tergabung dalam Harvard
Institut for International Development. Setiap pasal UU ada desain
konsepnya dalam White Paper Policy
dan berisi alternatif, analisis, dan evaluasi.
Berdasarkan analisis dan evaluasi
itu, pemerintah memilih alternatif yang paling pas dan cocok dengan kultur dan
situasi serta kondisi Indonesia guna meningkatkan penerimaan. Apakah semua UU
yang ada sudah dilaksanakan dan diadministrasikan sebagaimana mestinya? Tanpa
kehati-hatian, kejelian, serta perhitungan akurat dan saksama, dapat saja
perubahan semua UU Pajak malah bersifat kontraproduktif pada sistem dan
penerimaan pajak nasional.
Selain itikad baik untuk meringankan
beban pajak tidak patuh masa lalu ditukar dengan harapan perilaku kepatuhan
pajak lebih baik masa datang, AP dapat dianggap sebagai pernyataan kelemahan
kapasitas penegakan hukum administrasi pajak (Matthijs Alink dan Fictor van
Kommer, 2011, Handbook on Tax
Administration). Penyebab amnesti pajak dapat besarnya tunggakan dan
meluasnya ketidakpatuhan atau dalam rangka reformasi fundamental sistem pajak.
Karena itu, pantas jika banyak orang menyebut amnesti pajak dapat menimbulkan moral hazard.
Yang tak patuh selalu mengharapnya,
sedangkan yang patuh ikut jadi tak patuh karena merasa ada ketidakadilan
perlakuan. Belum suksesnya amnesti pajak parsial yang sudah dilaksanakan
mungkin karena belum ada basis perpajakan yang kuat, seperti administrasi pajak
berdasarkan teknologi informasi (TI).
Ketiadaan
data subyek dan obyek
Karena ketiadaan data subyek dan
obyek yang jadi target, amnesti pajak hanya berdasarkan voluntary, bukan target
atau obyek. Tiadanya sarana pengawasan, apalagi pemaksaan berupa data wajib
pajak, menjadikan kebijakan amnesti pajak kurang efektif.
Di Swedia, Skandinavia, Finlandia,
Denmark, Cile, Spanyol, Perancis, Australia, Belanda, Polandia, dan Portugal,
begitu memadainya TI berbasis administrasi pajak dan komprehensifnya jejaring
akses data eksternal wajib pajak, berdasar akun pembayar pajak, kantor pajak
mampu menyusun SPT tiap wajib pajak. Akibatnya, terdapat maksimalisasi otomasi
administrasi pajak dibentuk berdasar IT pangkalan data sehingga tersedia data
matching optimal dan verifikasi kepatuhan maksimal.
Kondisi itu harus didukung (i)
pelaporan komprehensif data pihak ketiga; (ii) identifikator wajib pajak
berintegritas tinggi; (iii) kerangka hukum kompatibel; (iv) otomasi pemasok
data kelas maksimal; (v) pemrosesan data berskala besar; dan (vi) otomasi
proses pemajakan dengan interaksi ke wajib pajak minimal. Kehormatan bagi
Direktur Jenderal Pajak yang baru meletakkan dasar TI data based tax administration yang benar sehingga peningkatan
kepatuhan dapat maksimal melalui data matching
dan analisis data.
oleh Gunadi
disadur dari Kompas, Sabtu, 26 Maret
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar