Beras tidak lagi dianggap konsumen
sebagai komoditas yang homogen, tetapi berubah menjadi produk yang heterogen.
Artinya, konsumen berpendapatan menengah ke atas memilih beras untuk konsumsi
dengan mempertimbangkan atribut: bentuk, warna, rasa, dan jenis atau merek.
Demikianlah salah satu penemuan
penting hasil riset tentang perilaku konsumen beras yang disampaikan
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia di sebuah seminar di Jakarta baru-baru
ini. Riset dilakukan di 13 kota (Medan, Padang, Jambi, Bengkulu, Bogor,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Jember, Denpasar, dan Makassar),
mencakup hampir 2.000 responden bukan penerima beras untuk rakyat miskin
(raskin).
Mengapa itu terjadi? Pemicunya:
pesatnya urbanisasi dan partisipasi wanita dalam bekerja, meningkatnya
pendapatan masyarakat, serta menurunnya jumlah orang miskin. Pada saat yang
sama, pasar swalayan tumbuh sangat pesat hingga ke wilayah pedesaan.
Sebuah penelitian memperlihatkan
bahwa pertumbuhan permintaan beras kualitas bagus (premium) mencapai 11 persen
per tahun, mengambil pangsa 38 persen dari total beras yang beredar di Tanah
Air. Kelompok ini kurang begitu peduli dengan harga beras naik atau tinggi
asalkan beras kualitas yang diinginkan tersedia di pasar.
Penelitian yang sama juga
memperlihatkan bahwa permintaan beras kualitas rendah (medium) semakin kecil
dengan pertumbuhan 9 persen per tahun, mengambil pangsa hanya 21 persen.
Peminat beras kualitas rendah adalah masyarakat berpendapatan rendah, sebagian
di antaranya masyarakat miskin.
Namun, perubahan itu belum didukung
oleh industri penggilingan padi (PP) yang kuat. Jumlah penggilingan padi besar
(PPB) mengambil porsi hanya 1 persen dari total 182.000 unit PP yang ada, atau
sekitar 10 persen dari total kapasitas giling. PPB adalah penghasil beras
kualitas premium atau kualitas di atasnya, bermerek, putih karena mereka
memiliki alat dan mesin yang lengkap, menerapkan teknologi tinggi dan higienis
sehingga mampu memproduksi beras berkualitas dengan harga lebih murah. Produsen
inilah yang menyuplai beras ke pasar-pasar formal untuk memenuhi permintaan
beras berkualitas, bermerek sesuai dengan tuntutan konsumen.
Kebijakan
perberasan
Kebijakan perberasan nasional belum
banyak berubah dari yang dirancang pada akhir periode 1970-an, terutama dalam
kaitannya dengan insentif bagi petani terutama harga pokok pembelian (HPP),
stabilisasi harga di tingkat konsumen atau intervensi pasar, dan cadangan beras
pemerintah (CBP) atau stok beras Bulog. Hampir semua kebijakan beras nasional
bertumpu pada sisi suplai.
Pemerintah melalui sejumlah
kebijakannya menggiring agar Indonesia mampu menghasilkan beras dalam jumlah
banyak, berswasembada dalam kuantitas, tanpa banyak mengaitkannya dengan
preferensi konsumen.
Hal itu "cocok" hingga
akhir 1990-an ketika konsumen pada umumnya lebih mementingkan makan nasi
banyak, "asal kenyang", bertumpu pada beras kualitas medium. Hal itu
diperkuat oleh keberadaan industri penggilingan padi kecil/sederhana (PPK/S)
yang didukung pemerintah. Hingga akhir 1990-an, diperkirakan 96 persen jumlah
PP adalah PPK/S atau produsen beras kualitas rendah. Pada saat sekarang, jumlah
PPK/S menurun dalam persentase, tetapi meningkat dalam jumlahnya.
Hasil penelitian itu berimplikasi luas
terhadap kebijakan beras di masa mendatang. Di antaranya yang terpenting
adalah, pertama, petani harus didorong (diberi insentif yang layak) agar mereka
mampu menghasilkan gabah yang berkualitas, dengan memerhatikan varietas yang
dapat menghasilkan beras aromatik/beras lokal, pulen, panjang. Insentif untuk
itu harus dirancang, salah satu di antaranya pemberian insentif yang berbeda
sesuai dengan kualitasnya. Misalnya, premiun lawan medium, beras lokal lawan
beras IRRI.
Kedua, intervensi pasar yang lebih
efektif adalah harus menggunakan beras kualitas premium. Inflasi yang berasal
dari beras di 86 kota dominan ditentukan oleh beras kualitas premium. Dalam
kaitan dengan itu, CBP tidak boleh lagi seperti sekarang, yakni beras kualitas
rendah, sama seperti beras untuk program raskin.
Untuk CBP, seharusnya tidak saja
volume ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton, tetapi kualitasnya juga harus
premium. Program raskin sebaiknya dinormalkan jumlahnya, tidak lebih dari 1,5
juta ton per tahun untuk daerah-daerah (kabupaten/kota) yang rawan pangan,
dihentikan pada bulan-bulan panen raya, serta digeser pada bulan-bulan puncak
paceklik November-Januari.
Ketiga, industri PP haruslah
diperkuat. PPK/S hendaknya diintegrasikan dengan keberadaan PPB sehingga tak
saling mematikan, terutama dalam perebutan bahan baku gabah. PPB harus ditata
agar dapat menerima beras pecah kulit (PK) sebagai bahan baku yang berasal dari
PPK/S. PPK/S harus pula diperkuat dengan merancang insentif agar mereka
melengkapi alat/mesin (dryer, husker, dan
separator) sehingga mampu menghasilkan beras PK yang berkualitas.
Dengan beras PK yang berkualitas,
PPB dapat menghasilkan beras berkualitas sesuai dengan permintaan konsumen,
serta mampu bersaing di pasar tunggal ASEAN. Dengan mengintegrasikan itu, PPK/S
akan lebih mampu bersaing dengan beras impor.
Keempat, pemerintah sebaiknya tidak
menyerahkan merek/label beras pada "tangan pedagang" yang tanpa
industri PP karena itu sangat merugikan konsumen seperti yang terjadi selama
ini. Pengadaan semua beras berlabel/bermerek harus dilakukan oleh industri PP
sehingga isi serta kualitas beras lebih terjamin, serta sejalan dengan
penerapan undang-undang labelling.
oleh M Husein Sawit
disadur dari Kompas, Senin, 13 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar