Pembahasan
mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak atau Tax
Amnesty sedang ramai
diperbincangkan. Banyak pro dan kontra dari berbagai kalangan, baik para
praktisi yang terlibat di dalamnya maupun para akademisi yang mencoba
mengkritisi.
Kebijakan pengampunan pajak dinilai beberapa
kalangan akademisi seperti Andreas Lako dapat menjadi bumerang bagi pemerintah
apabila diteruskan. (Kompas, 3/3/2016) Andreas Lako, salah satu guru besar
akuntansi menilai, kebijakan ini tidak efektif dilaksanakan, sebab dengan
adanya opsi bagi wajib pajak hanya akan menimbulkan efek yang tidak baik
terhadap wajib pajak lain yang selama ini sudah berperilaku baik (taat pada
peraturan yang ada).
Kita meragukan adanya regulasi pengampunan pajak
tersebut sebagai jawaban atas persoalan mangkir pajak saat ini. Ini jika dilihat
dari konsep utilitarianisme tradisional Jeremy Bentham, pemikir asal Inggris,
yang mengatakan bahwa suatu tindakan dianggap benar dari sudut pandang etis
jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan dari sebuah tindakan,
lebih besar dari jumlah utilitas yang dihasilkan. Utilitas diartikan sebagai
suatu kegunaan dari sebuah tindakan.
Konsep ini berkaitan dengan biaya-manfaat, bahwa
kebijakan yang paling tepat adalah kebijakan yang memberikan utilitas paling
besar. Dari konsep ini pemerintah seharusnya dapat menilai dengan bijak
seberapa besar manfaat dan biaya yang akan diterima dan dikeluarkan ketika
menetapkan RUU Pengampunan Pajak tersebut.
Konsep biaya dan manfaat tersebut tidak hanya
dilihat dari besaran uang yang diterima atau dikorbankan, namun juga harus
dilihat dari keseluruhan aspek yang ada. Seperti, bagaimana dampak kebijakan
ini di masa mendatang bagi para wajib pajak. Selaras dengan pendapat Andreas
Lako, kebijakan pengampunan pajak tersebut dikhawatirkan akan memberikan dampak
negatif pada wajib pajak, baik wajib pajak ‘nakal’ ataupun wajib pajak yang
sudah baik.
Bagi para wajib pajak nakal, dengan adanya pengampunan pajak dapat semakin menjadi sebuah habit yang ‘dibenarkan’. Jika dilihat dari konsep retributive-juctice atau keadilan retributif, kebijakan tax amnesty merupakan sebuah keputusan yang yang kurang tepat. John Rawls, salah satu filsuf asal Amerika, menjelaskan retributive-justice sebagai suatu keadilan dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan.
Dalam konteks pengampunan pajak, para wajib pajak nakal dengan tidak patuh dan tidak taat dalam membayar pajak malah diberikan sebuah pengampunan atas hukuman yang harusnya diterima dari kesalahan yang telah diperbuat. Hal ini akan menimbulkan moral hazard nantinya, para wajib pajak nakal akan semakin bertindak oportunis. Berdasarkan teori retributive-justice, para wajib pajak nakal seharusnya mendapatkan hukuman yang setimpal dari apa yang telah diperbuatnya, yakni berupa denda yang harus dibayarkan, bukan malah menghapus denda yang seharusnya dibayarkan.
Dari sisi wajib pajak yang telah patuh dan taat terhadap aturan, hal ini akan membentuk framing negative. Mereka akan cenderung melakukan hal yang sama, karena melihat hal ini sebagai sebuah hal menguntungkan yang dapat dilakukan.
Untuk itu, pemerintah seharusnya dapat lebih jeli untuk belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Kebijakan tax amnesty yang pernah 2 kali periode sebelumnya dilaksanakan dan mengalami kegagalan seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk pemerintah sebagai dasar kebijakannya saat ini, yakni pada tahun 1984 dan 2008 lalu.
Dikutip dari Koran Tempo (29/03/15), Wiko Saputra, peneliti kebijakan ekonomi menilai, kedua periode tersebut tidak berdampak pada meningkatnya kepatuhan pajak. Kebijakan tax amnesty hanya merupakan kebijakan jangka pendek, untuk menumbuhkan kepatuhan wajib pajak yang continue dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang dapat memberikan efek pada kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya.
Pasalnya, kebijakan tax amnesty yang baik hanya jika dilaksanakan sekali. Jika kebijakan ini dilaksanakan beberapa kali maka akan membentuk pola yang diyakini dapat membuat para wajib pajak berfikir akan ada kebijakan yang sama di masa mendatang, sehingga kesadaran mereka untuk membayar pajak menjadi semakin menurun dan cenderung untuk menunggu kebijakan yang sama terjadi kembali pada tahun-tahun berikutnya.
Perlu adanya sistem tata kelola yang baik dari Dirjen Pajak yang dapat membangun dan mendorong kesadaran para wajib pajak untuk taat dan patuh terhadap peraturan yang ada, termasuk dalam penentuan besaran tarif pajak. Seseorang akan cenderung mematuhi kebijakan ketika dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Seperti dikatakan oleh Habermas bahwa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibutuhkan sebuah komunikasi yang baik yang dikenal dengan konsep ideal speech.
Ideal speech mungkin dibutuhkan antara pihak-pihak terkait seperti Dirjen Pajak dari sisi pemerintah dan perwakilan dari para wajib pajak seperti APINDO dan serikat pekerja, untuk duduk bersama-sama dalam menentukan besaran tarif pajak yang sesuai.
Bagi para wajib pajak nakal, dengan adanya pengampunan pajak dapat semakin menjadi sebuah habit yang ‘dibenarkan’. Jika dilihat dari konsep retributive-juctice atau keadilan retributif, kebijakan tax amnesty merupakan sebuah keputusan yang yang kurang tepat. John Rawls, salah satu filsuf asal Amerika, menjelaskan retributive-justice sebagai suatu keadilan dalam menyalahkan atau menghukum seseorang yang telah melakukan kesalahan.
Dalam konteks pengampunan pajak, para wajib pajak nakal dengan tidak patuh dan tidak taat dalam membayar pajak malah diberikan sebuah pengampunan atas hukuman yang harusnya diterima dari kesalahan yang telah diperbuat. Hal ini akan menimbulkan moral hazard nantinya, para wajib pajak nakal akan semakin bertindak oportunis. Berdasarkan teori retributive-justice, para wajib pajak nakal seharusnya mendapatkan hukuman yang setimpal dari apa yang telah diperbuatnya, yakni berupa denda yang harus dibayarkan, bukan malah menghapus denda yang seharusnya dibayarkan.
Dari sisi wajib pajak yang telah patuh dan taat terhadap aturan, hal ini akan membentuk framing negative. Mereka akan cenderung melakukan hal yang sama, karena melihat hal ini sebagai sebuah hal menguntungkan yang dapat dilakukan.
Untuk itu, pemerintah seharusnya dapat lebih jeli untuk belajar dari pengalaman yang pernah dilakukan. Kebijakan tax amnesty yang pernah 2 kali periode sebelumnya dilaksanakan dan mengalami kegagalan seharusnya dapat menjadi pertimbangan untuk pemerintah sebagai dasar kebijakannya saat ini, yakni pada tahun 1984 dan 2008 lalu.
Dikutip dari Koran Tempo (29/03/15), Wiko Saputra, peneliti kebijakan ekonomi menilai, kedua periode tersebut tidak berdampak pada meningkatnya kepatuhan pajak. Kebijakan tax amnesty hanya merupakan kebijakan jangka pendek, untuk menumbuhkan kepatuhan wajib pajak yang continue dibutuhkan kebijakan jangka panjang yang dapat memberikan efek pada kesadaran wajib pajak untuk membayar pajaknya.
Pasalnya, kebijakan tax amnesty yang baik hanya jika dilaksanakan sekali. Jika kebijakan ini dilaksanakan beberapa kali maka akan membentuk pola yang diyakini dapat membuat para wajib pajak berfikir akan ada kebijakan yang sama di masa mendatang, sehingga kesadaran mereka untuk membayar pajak menjadi semakin menurun dan cenderung untuk menunggu kebijakan yang sama terjadi kembali pada tahun-tahun berikutnya.
Perlu adanya sistem tata kelola yang baik dari Dirjen Pajak yang dapat membangun dan mendorong kesadaran para wajib pajak untuk taat dan patuh terhadap peraturan yang ada, termasuk dalam penentuan besaran tarif pajak. Seseorang akan cenderung mematuhi kebijakan ketika dilibatkan dalam pembuatan kebijakan tersebut. Seperti dikatakan oleh Habermas bahwa dalam menyelesaikan suatu permasalahan dibutuhkan sebuah komunikasi yang baik yang dikenal dengan konsep ideal speech.
Ideal speech mungkin dibutuhkan antara pihak-pihak terkait seperti Dirjen Pajak dari sisi pemerintah dan perwakilan dari para wajib pajak seperti APINDO dan serikat pekerja, untuk duduk bersama-sama dalam menentukan besaran tarif pajak yang sesuai.
oleh
Suryaningtyas
disadur
dari Suara Karya, Selasa, 8 Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar