Keputusan DPR menunda pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk
mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah
yang menginisiasi RUU tersebut kecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan
kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan
pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016).
Saya justru menilai sebaliknya.
Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut
perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan
bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari.
Sebagai lembaga tinggi negara pengemban aspirasi rakyat, DPR memang harus
mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum
menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU).
Selain itu,permasalahan pengampunan
pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan
ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan
keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu, penyelesaiannya
bukan dengan cara pengampunan, tetapi harus melalui penciptaan mekanisme sistem
dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang
akuntabel dan transparan.
Bumerang
pengampunan
Dari perspektif yang berbeda, saya
justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi
bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana
ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak
atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar
negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan
yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak
dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa?
Jawabnya, karena tidak terbayarnya
utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami
krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin
juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak.
Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga
sedapat mungkin harus dihindari. Demikian pula para wajib pajak kelas kakap
yang selama ini sengaja menghindari pajak dengan cara menempatkan dananya di
luar negeri. Mereka juga sama sekali tidak memiliki itikad baik. Dalam banyak
kasus,mereka bahkan menempuh berbagai cara, termasuk berkongkalikong dengan
aparatur pajak, agar bisa menghindari atau menggelapkan pajak dalam jumlah yang
besar.
Pada level korporasi, upaya
penghindaran pajak melalui trik-trik rekayasa keuangan juga sangat masif. Para
direksi korporasi tampaknya juga tidak memiliki itikad baik. Berdasarkan hasil
analisis saya (Laporan Keuangan & Konflik Kepentingan: Lako, 2007), banyak
korporasi Indonesia melakukan penghindaran pajak dengan cara merekayasa
pelaporan labanya. Trik rekayasa yang umumnya digunakan adalah income minimization,income decreasing, atau
income smoothing.
Trik income minimization adalah selalu melaporkan laba serendah mungkin
dengan cara menaikkan dan atau menciptakan pos-pos fiktif biaya riil ataupun
biaya akrual tertentu, atau juga menurunkan nilai pendapatan yang dilaporkan.
Trik income decreasing adalah
melaporkan laba dengan tren menurun dari waktu ke waktu. Caranya dengan
menaikkan biaya dan menciptakan pos-pos biaya fiktif, serta menurunkan
pendapatan dengan menghilangkan bukti-bukti transaksi tertentu atau menurunkan
nilai transaksinya.
Sementara income smoothing adalah melaporkan laba dengan besaran yang hampir
sama dari waktu ke waktu untuk memberikan kesan bahwa tren kinerja bisnis dan
keuangan perusahaan relatif sama. Trik-trik tipuan tersebut tampaknya tidak
terdeteksi otoritas pajak sehingga terus berlangsung bertahun-tahun.
Kecenderungan korporasi melakukan
rekayasa keuangan untuk menghindari pajak tersebut juga pernah diendus mantan
Menkeu Jusuf Anwar pada 2005. Ketika itu, Jusuf Anwar mengungkapkan ada sekitar
750 korporasi penanam modal asing (PMA) pada semua sektor industri terindikasi
tidak membayar pajakdengan cara melaporkan rugi selama lima tahun secara
berturut-turut. Sayangnya, pengungkapan Jusuf Anwar tersebut bukannya
diapresiasi, tetapi malah dicemooh banyak pihak karena menilai tindakan Jusuf
Anwar itu bisa merugikan negara dan menyebabkan korporasi PMA hengkang.
Akibatnya, Presiden SBY melengserkan Jusuf Anwar awal Desember 2005, lalu
digantikan Sri Mulyani Indrawati.
Indikasi masifnya korporasi
Indonesia melakukan rekayasa finansial dengan cara mengelola labanya (earnings management) sebelumnya juga
pernah diungkapkan Bhattacharya, Daouk, dan Welker (The Accounting Review, No
78, 2003). Dengan menggunakan sampel korporasi dari 34 negara (termasuk
Indonesia) selama1984-1998, dilaporkan bahwa Indonesia menduduki peringkat
ketiga tertinggi dalam hal kekuranginformasian laba. Hasil riset saya (Lako,
2007) dan juga hasil riset sejumlah mahasiswa bimbingan saya dalam beberapa
tahun terakhir juga menunjukkan kebanyakan korporasi yang tercatat di Bursa
Efek Indonesia cenderung melakukan manajemen laba. Pola manajemen laba yang
dilakukan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai investor
asingjauh lebih agresif dibandingkan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih
banyak dikuasai oleh investor nasional.
Kaji
ulang
Berdasarkan uraian di atas,
pemerintah seharusnya lebih jeli dan hati-hati dalam pengusulan RUU Amnesti
Pajak. Saya khawatir niat baik pemerintah tersebut malah tidak efektif dan
justru menjadi bumerang.Disediakannya opsi amnesti pajak justru akan kian
mendorong para pihak wajib pajak nakal semakin berperilaku oportunis (moral hazard) dalam menghindari dan
menggelapkan pajak. Selain itu, keberadaan amnesti pajak juga bisa menggoda
para wajib pajak lain yang selama ini berperilaku baik dan patuh ikut
berperilaku oportunis sehingga negara justru akan semakin dirugikan.
Karena itu, saya mengusulkan agar
DPR dan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang draf RUU Pengampunan Pajak. Apabila
pemerintah dan DPR memang telah berkehendak bahwa pembahasan RUU tersebut perlu
dilanjutnya, maka sangat diharapkan aspek keadilan, penegakan hukum, penciptaan
sistem dan akuntabilitas tata kelola pengampunan pajak harus mendapatkan
perhatian khusus dalam pembahasan RUU tersebut.
oleh Andreas Lako
disadur dari Kompas, Kamis, 3 Maret
2016
Keputusan DPR menunda
pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu
waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak
pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebutkecewa karena penundaan
itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan
masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah
(Kompas, 26/2/2016).
HANDINING
Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu
diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi
pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab
agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai
lembaga tinggi negara pengembanaspirasi rakyat, DPR memang harus
mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara
sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU)menjadi
undang-undang (UU).
Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut
aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak,
tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para
wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara
pengampunan, tetapi harusmelalui penciptaan mekanisme sistem dan tata
kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel
dan transparan.
Bumerang pengampunan
Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak
yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara
apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah
yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja
dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar
negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah
permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah
mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal
terwujud. Mengapa?
Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak
tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat
bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena
mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka
menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga
sedapat mungkin harus dihindari.
Demikian pula para wajib pajak kelas kakap yang selama ini sengaja
menghindari pajak dengan cara menempatkan dananya di luar negeri. Mereka
juga sama sekali tidak memiliki itikad baik. Dalam banyak kasus,mereka
bahkan menempuh berbagai cara, termasuk berkongkalikong dengan aparatur
pajak, agar bisa menghindari atau menggelapkan pajak dalam jumlah yang
besar.
Pada level korporasi, upaya penghindaran pajak melalui trik-trik
rekayasakeuangan juga sangat masif. Para direksi korporasi tampaknya
juga tidak memiliki itikad baik. Berdasarkan hasil analisissaya (Laporan
Keuangan & Konflik Kepentingan: Lako, 2007), banyak korporasi
Indonesia melakukan penghindaran pajak dengan cara merekayasa pelaporan
labanya.Trik rekayasa yang umumnya digunakan adalah income
minimization,income decreasing, atau income smoothing.
Trik income minimization adalahselalu melaporkan laba serendah mungkin
dengan cara menaikkan dan atau menciptakan pos-pos fiktif biaya riil
ataupun biaya akrual tertentu, atau juga menurunkan nilai pendapatan
yang dilaporkan. Trik income decreasingadalah melaporkan laba dengan
tren menurun dari waktu ke waktu. Caranya dengan menaikkan biaya dan
menciptakan pos-pos biaya fiktif, serta menurunkan pendapatan dengan
menghilangkan bukti-bukti transaksi tertentu atau menurunkan nilai
transaksinya.
Sementara income smoothing adalah melaporkan laba dengan besaran yang
hampir sama dari waktu ke waktu untuk memberikan kesan bahwa tren
kinerja bisnis dan keuangan perusahaan relatif sama. Trik-trik tipuan
tersebut tampaknya tidak terdeteksi otoritas pajak sehingga terus
berlangsung bertahun-tahun.
Kecenderungan korporasi melakukan rekayasa keuangan untuk menghindari
pajak tersebut juga pernah diendus mantan Menkeu Jusuf Anwar pada 2005.
Ketika itu, Jusuf Anwar mengungkapkan ada sekitar 750 korporasi penanam
modal asing (PMA) pada semua sektor industri terindikasi tidak membayar
pajakdengan cara melaporkan rugi selama lima tahun secara
berturut-turut.
Sayangnya, pengungkapan Jusuf Anwar tersebut bukannya diapresiasi,
tetapi malah dicemooh banyak pihak karena menilai tindakan Jusuf Anwar
itu bisa merugikan negara dan menyebabkan korporasi PMA hengkang.
Akibatnya, Presiden SBY melengserkan Jusuf Anwar awal Desember 2005,
lalu digantikan Sri Mulyani Indrawati.
Indikasi masifnya korporasi Indonesia melakukan rekayasa finansial
dengan cara mengelola labanya (earnings management) sebelumnya juga
pernah diungkapkan Bhattacharya, Daouk, dan Welker (The Accounting
Review, No 78, 2003). Dengan menggunakan sampel korporasi dari 34 negara
(termasuk Indonesia) selama1984-1998, dilaporkan bahwa Indonesia
menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam hal kekuranginformasian laba.
Hasil risetsaya (Lako, 2007) dan juga hasil riset sejumlah mahasiswa
bimbingan saya dalam beberapa tahun terakhirjuga menunjukkan kebanyakan
korporasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia cenderung melakukan
manajemen laba. Polamanajemen laba yang dilakukan korporasi yang
kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai investor asingjauh lebih
agresif dibandingkan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak
dikuasai oleh investor nasional.
Kaji ulang
Berdasarkan uraian di atas, pemerintah seharusnya lebih jeli dan
hati-hati dalam pengusulan RUU Amnesti Pajak. Saya khatir niat baik
pemerintah tersebut malah tidak efektifdan justru menjadi
bumerang.Disediakannya opsi amnesti pajak justru akan kian mendorong
para pihak wajib pajak nakal semakin berperilaku oportunis (moral
hazard)dalam menghindari dan menggelapkan pajak. Selain itu,
keberadaanamnesti pajak juga bisa menggoda para wajib pajak lain yang
selama ini berperilaku baik dan patuh ikut berperilaku oportunis
sehingga negara justru akan semakin dirugikan.
Karena itu, saya mengusulkan agar DPR dan pemerintah sebaiknya
mengkajiulang draf RUU Pengampunan Pajak. Apabila pemerintah dan DPR
memang telah berkehendak bahwa pembahasan RUU tersebut perlu
dilanjutnya, maka sangat diharapkan aspek keadilan, penegakan hukum,
penciptaan sistem dan akuntabilitas tata kelola pengampunan pajak harus
mendapatkan perhatian khusus dalam pembahasan RUU tersebut.
ANDREAS LAKO, GURU BESAR AKUNTANSI; KEPALA LPPM UNIKA SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2016, di
halaman 6 dengan judul "Bumerang Pengampunan Pajak".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar