Editors Picks

Minggu, 12 Juni 2016

Bumerang Pengampunan Pajak

Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebut kecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016).

Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengemban aspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU).

Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu, penyelesaiannya bukan dengan cara pengampunan, tetapi harus melalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan.

Bumerang pengampunan
Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa?

Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari. Demikian pula para wajib pajak kelas kakap yang selama ini sengaja menghindari pajak dengan cara menempatkan dananya di luar negeri. Mereka juga sama sekali tidak memiliki itikad baik. Dalam banyak kasus,mereka bahkan menempuh berbagai cara, termasuk berkongkalikong dengan aparatur pajak, agar bisa menghindari atau menggelapkan pajak dalam jumlah yang besar.

Pada level korporasi, upaya penghindaran pajak melalui trik-trik rekayasa keuangan juga sangat masif. Para direksi korporasi tampaknya juga tidak memiliki itikad baik. Berdasarkan hasil analisis saya (Laporan Keuangan & Konflik Kepentingan: Lako, 2007), banyak korporasi Indonesia melakukan penghindaran pajak dengan cara merekayasa pelaporan labanya. Trik rekayasa yang umumnya digunakan adalah income minimization,income decreasing, atau income smoothing.

Trik income minimization adalah selalu melaporkan laba serendah mungkin dengan cara menaikkan dan atau menciptakan pos-pos fiktif biaya riil ataupun biaya akrual tertentu, atau juga menurunkan nilai pendapatan yang dilaporkan. Trik income decreasing adalah melaporkan laba dengan tren menurun dari waktu ke waktu. Caranya dengan menaikkan biaya dan menciptakan pos-pos biaya fiktif, serta menurunkan pendapatan dengan menghilangkan bukti-bukti transaksi tertentu atau menurunkan nilai transaksinya.

Sementara income smoothing adalah melaporkan laba dengan besaran yang hampir sama dari waktu ke waktu untuk memberikan kesan bahwa tren kinerja bisnis dan keuangan perusahaan relatif sama. Trik-trik tipuan tersebut tampaknya tidak terdeteksi otoritas pajak sehingga terus berlangsung bertahun-tahun.

Kecenderungan korporasi melakukan rekayasa keuangan untuk menghindari pajak tersebut juga pernah diendus mantan Menkeu Jusuf Anwar pada 2005. Ketika itu, Jusuf Anwar mengungkapkan ada sekitar 750 korporasi penanam modal asing (PMA) pada semua sektor industri terindikasi tidak membayar pajakdengan cara melaporkan rugi selama lima tahun secara berturut-turut. Sayangnya, pengungkapan Jusuf Anwar tersebut bukannya diapresiasi, tetapi malah dicemooh banyak pihak karena menilai tindakan Jusuf Anwar itu bisa merugikan negara dan menyebabkan korporasi PMA hengkang. Akibatnya, Presiden SBY melengserkan Jusuf Anwar awal Desember 2005, lalu digantikan Sri Mulyani Indrawati.

Indikasi masifnya korporasi Indonesia melakukan rekayasa finansial dengan cara mengelola labanya (earnings management) sebelumnya juga pernah diungkapkan Bhattacharya, Daouk, dan Welker (The Accounting Review, No 78, 2003). Dengan menggunakan sampel korporasi dari 34 negara (termasuk Indonesia) selama1984-1998, dilaporkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam hal kekuranginformasian laba. Hasil riset saya (Lako, 2007) dan juga hasil riset sejumlah mahasiswa bimbingan saya dalam beberapa tahun terakhir juga menunjukkan kebanyakan korporasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia cenderung melakukan manajemen laba. Pola manajemen laba yang dilakukan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai investor asingjauh lebih agresif dibandingkan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai oleh investor nasional.

Kaji ulang
Berdasarkan uraian di atas, pemerintah seharusnya lebih jeli dan hati-hati dalam pengusulan RUU Amnesti Pajak. Saya khawatir niat baik pemerintah tersebut malah tidak efektif dan justru menjadi bumerang.Disediakannya opsi amnesti pajak justru akan kian mendorong para pihak wajib pajak nakal semakin berperilaku oportunis (moral hazard) dalam menghindari dan menggelapkan pajak. Selain itu, keberadaan amnesti pajak juga bisa menggoda para wajib pajak lain yang selama ini berperilaku baik dan patuh ikut berperilaku oportunis sehingga negara justru akan semakin dirugikan.

Karena itu, saya mengusulkan agar DPR dan pemerintah sebaiknya mengkaji ulang draf RUU Pengampunan Pajak. Apabila pemerintah dan DPR memang telah berkehendak bahwa pembahasan RUU tersebut perlu dilanjutnya, maka sangat diharapkan aspek keadilan, penegakan hukum, penciptaan sistem dan akuntabilitas tata kelola pengampunan pajak harus mendapatkan perhatian khusus dalam pembahasan RUU tersebut.

oleh Andreas Lako
disadur dari Kompas, Kamis, 3 Maret 2016

Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasanperlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebutkecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016). HANDINING Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengembanaspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suaturancangan undang-undang (RUU)menjadi undang-undang (UU). Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara pengampunan, tetapi harusmelalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan. Bumerang pengampunan Dari perspektif yang berbeda, saya justru menilai RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah bisa menjadi bumerang yang merugikan negara apabila semangatnya adalah demi mendapatkan dana ratusan triliun rupiah yang selama ini tidak bisa dibayarkan para wajib pajak atau sengaja dihindari para wajib pajak nakal yang menempatkan dananya di luar negeri. Seandainya DPR menyetujuinya, pasti akan muncul sejumlah permasalahan yang kompleks. Belum tentu juga harapan pemerintah mendapatkan pemasukan pajak dalam jumlah besar dari skema amnesti bakal terwujud. Mengapa? Jawabnya, karena tidak terbayarnya utang pajak oleh para wajib pajak tidak semata-mata disebabkan mereka mengalami krisis keuangan akibat bisnis atau pendapatan mereka memburuk. Sangat mungkin juga karena mereka memang tidak memiliki itikad baik untuk membayar pajak. Mereka menganggap membayar pajak merupakan suatu beban yang merugikan sehingga sedapat mungkin harus dihindari. Demikian pula para wajib pajak kelas kakap yang selama ini sengaja menghindari pajak dengan cara menempatkan dananya di luar negeri. Mereka juga sama sekali tidak memiliki itikad baik. Dalam banyak kasus,mereka bahkan menempuh berbagai cara, termasuk berkongkalikong dengan aparatur pajak, agar bisa menghindari atau menggelapkan pajak dalam jumlah yang besar. Pada level korporasi, upaya penghindaran pajak melalui trik-trik rekayasakeuangan juga sangat masif. Para direksi korporasi tampaknya juga tidak memiliki itikad baik. Berdasarkan hasil analisissaya (Laporan Keuangan & Konflik Kepentingan: Lako, 2007), banyak korporasi Indonesia melakukan penghindaran pajak dengan cara merekayasa pelaporan labanya.Trik rekayasa yang umumnya digunakan adalah income minimization,income decreasing, atau income smoothing. Trik income minimization adalahselalu melaporkan laba serendah mungkin dengan cara menaikkan dan atau menciptakan pos-pos fiktif biaya riil ataupun biaya akrual tertentu, atau juga menurunkan nilai pendapatan yang dilaporkan. Trik income decreasingadalah melaporkan laba dengan tren menurun dari waktu ke waktu. Caranya dengan menaikkan biaya dan menciptakan pos-pos biaya fiktif, serta menurunkan pendapatan dengan menghilangkan bukti-bukti transaksi tertentu atau menurunkan nilai transaksinya. Sementara income smoothing adalah melaporkan laba dengan besaran yang hampir sama dari waktu ke waktu untuk memberikan kesan bahwa tren kinerja bisnis dan keuangan perusahaan relatif sama. Trik-trik tipuan tersebut tampaknya tidak terdeteksi otoritas pajak sehingga terus berlangsung bertahun-tahun. Kecenderungan korporasi melakukan rekayasa keuangan untuk menghindari pajak tersebut juga pernah diendus mantan Menkeu Jusuf Anwar pada 2005. Ketika itu, Jusuf Anwar mengungkapkan ada sekitar 750 korporasi penanam modal asing (PMA) pada semua sektor industri terindikasi tidak membayar pajakdengan cara melaporkan rugi selama lima tahun secara berturut-turut. Sayangnya, pengungkapan Jusuf Anwar tersebut bukannya diapresiasi, tetapi malah dicemooh banyak pihak karena menilai tindakan Jusuf Anwar itu bisa merugikan negara dan menyebabkan korporasi PMA hengkang. Akibatnya, Presiden SBY melengserkan Jusuf Anwar awal Desember 2005, lalu digantikan Sri Mulyani Indrawati. Indikasi masifnya korporasi Indonesia melakukan rekayasa finansial dengan cara mengelola labanya (earnings management) sebelumnya juga pernah diungkapkan Bhattacharya, Daouk, dan Welker (The Accounting Review, No 78, 2003). Dengan menggunakan sampel korporasi dari 34 negara (termasuk Indonesia) selama1984-1998, dilaporkan bahwa Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam hal kekuranginformasian laba. Hasil risetsaya (Lako, 2007) dan juga hasil riset sejumlah mahasiswa bimbingan saya dalam beberapa tahun terakhirjuga menunjukkan kebanyakan korporasi yang tercatat di Bursa Efek Indonesia cenderung melakukan manajemen laba. Polamanajemen laba yang dilakukan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai investor asingjauh lebih agresif dibandingkan korporasi yang kepemilikan sahamnya lebih banyak dikuasai oleh investor nasional. Kaji ulang Berdasarkan uraian di atas, pemerintah seharusnya lebih jeli dan hati-hati dalam pengusulan RUU Amnesti Pajak. Saya khatir niat baik pemerintah tersebut malah tidak efektifdan justru menjadi bumerang.Disediakannya opsi amnesti pajak justru akan kian mendorong para pihak wajib pajak nakal semakin berperilaku oportunis (moral hazard)dalam menghindari dan menggelapkan pajak. Selain itu, keberadaanamnesti pajak juga bisa menggoda para wajib pajak lain yang selama ini berperilaku baik dan patuh ikut berperilaku oportunis sehingga negara justru akan semakin dirugikan. Karena itu, saya mengusulkan agar DPR dan pemerintah sebaiknya mengkajiulang draf RUU Pengampunan Pajak. Apabila pemerintah dan DPR memang telah berkehendak bahwa pembahasan RUU tersebut perlu dilanjutnya, maka sangat diharapkan aspek keadilan, penegakan hukum, penciptaan sistem dan akuntabilitas tata kelola pengampunan pajak harus mendapatkan perhatian khusus dalam pembahasan RUU tersebut. ANDREAS LAKO, GURU BESAR AKUNTANSI; KEPALA LPPM UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2016, di halaman 6 dengan judul "Bumerang Pengampunan Pajak".

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar