Perbedaan pendapat di antara menteri kabinet tentu hal lumrah dalam menetapkan kebijakan pemerintah. Namun, perbedaan pendapat yang kemudian masuk ke ruang publik, menjadi bagian diskusi publik dan berkembang menjadi kontroversi, rupanya gejala baru dalam pemerintahan Jokowi.
Beberapa debat, misalnya mengenai
pembangunan kilang Blok Masela, dapat membantu pengertian publik tentang
plus-minus pilihan suatu kebijakan. Apakah pembangunan kilang itu di darat atau
di laut menunjukkan segi apa yang menjadi prioritas kepentingan yang diutamakan
oleh pembela masing-masing pendapat. Pembangunan kilang di laut menurut perhitungan
akan lebih murah karena tidak perlu banyak infrastruktur pendukung, seperti
jalan, pembebasan tanah penduduk untuk pembangunan gedung operasi dan produksi,
dan pembangunan infrastruktur lain. Sebaliknya, menurut pembela pendapat yang
lain, kilang di darat dianggap lebih langsung menciptakan multiplier effect
bagi penduduk setempat, yang bisa segera membuka rumah makan atau warung
keperluan para karyawan, dan pengendara ojek dapat memperoleh banyak pendapatan
tambahan.
Perbedaan pendapat di antara menteri,
yang dianggap ahli atau spesialis di bidang kerjanya, dapat meningkatkan
kecerdasan umum. Masalahnya, seorang menteri kabinet mempunyai beberapa peran,
dan peran-peran itu tak selalu bisa sejalan dalam akibat yang ditimbulkan.
Secara gampangnya, dapat kita sebutkan empat peran utama menteri: menjadi
pembantu presiden, menjadi kepala departemen teknis atau koordinator beberapa
departemen, menjadi anggota kabinet, dan juga menjadi seorang tokoh masyarakat,
entah agama, organisasi massa, atau parpol.
Sebagai pembantu presiden, menteri
dituntut tunduk dan patuh kepada kebijakan presiden. Menteri adalah suatu
posisi politik. Sebagai pembantu presiden, dia diharap punya kesetiaan politik
kepada presiden selama bertugas di kabinet. Kesetiaan politik ini diwujudkan
melalui kesediaan mengeksekusi kebijakan yang telah diputuskan presiden.
Sebagai kepala departemen, dia dituntut punya kompetensi mengenai bidang
tanggung jawabnya. Kompetensi ini mengharuskan dia punya pengetahuan,
pengalaman, dan keahlian cukup di bidang tanggung jawabnya. Dia harus cukup knowledgeable.
Sama pentingnya dengan itu, dia juga
harus mampu mengeksekusi dalam pelaksanaan pengetahuan dan keahliannya
tersebut. Dia harus able to execute.
Sebagai anggota kabinet, dia seyogianya mempertimbangkan apakah
pernyataan-pernyataannya mendukung atau mempersulit kerja sama di antara para
anggota kabinet yang diharap bekerja sebagai suatu tim kerja.Selanjutnya,
sebagai tokoh masyarakat, dia dikenal karena kemampuan, pengetahuan,
pengalaman, serta pengaruhnya sebagai anggota masyarakat, dan dihormati karena
integritas dalam sikap-sikap dan komitmen yang diberikan.
Sekarang marilah kita bayangkan
beberapa situasi sulit yang dihadapi seorang menteri. Sebagai seorang yang
terdidik dan mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman, seorang menteri yang
bertanggung jawab terhadap departemen A, misalnya, dapat melihat bahwa
kebijakan yang hendak dilaksanakan di departemen B mengandung beberapa hal yang
kurang tepat, yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Sebagai seorang yang
berpengetahuan dan berpengalaman, dia merasa terpanggil untuk mengemukakan
pendapatnya untuk mencegah timbulnya kerugian yang diakibatkan oleh kebijakan
yang dianggapnya tidak tepat. Apa yang harus dilakukannya? Haruskah dia berdiam
diri dan menderita konflik dalam pikiran dan batinnya karena merasa tidak dapat
mengemukakan pendapat, yang menurut penilaiannya harus dikemukakan?
Kebebasan
berpendapat menteri
Dalam kesulitan seperti itu,
kebebasan pendapat seorang menteri sudah dibatasi oleh perannya sebagai
pembantu presiden. Pendapatnya tentang kebijakan dalam departemen B yang bukan
menjadi tanggung jawabnya dapat diajukan dan dibahas dalam sidang kabinet yang
dipimpin presiden. Menteri bukanlah opinion
leader yang berusaha menguasai pendapat umum dan ingin merebut dukungan
pendapat umum. Sebagai seorang eksekutor kebijakan, dia harus merebut perhatian
dan dukungan presiden, atau dukungan dari menteri-menteri lain. Pada titik itu,
seorang menteri seyogianya melihat perbedaan di antara perannya sebagai menteri
dan perannya sebagai seorang akademikus atau seorang intelektual publik.
Kalau pandangannya mengenai suatu
soal tak diterima sebagian atau seluruhnya oleh presiden dan sidang kabinet,
sementara dia merasa pendapatnya mengandung perkara yang prinsipiil, beyond the power of reason and against a
good conscience, dia dapat menemukan jalan keluar dengan mengembalikan
mandat sebagai menteri kepada presiden dan berhenti sebagai anggota kabinet.
Bung Hatta merasa pendapatnya tentang demokrasi berbeda secara prinsipiil
dengan Bung Karno, dan sebagai konsekuensinya dia menarik diri sebagai wapres.
Alasan prinsipiil yang lain, Bung Hatta merasa sebagai wakil presiden dia
mempunyai tanggung jawab, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan tanggung
jawabnya.
Tentu kebebasan berpendapat tetap
berlaku bagi seorang menteri. Namun, format untuk menyatakan pendapat itu
dimodifikasi oleh tugasnya sebagai pembantu presiden, dan sedikit banyak
memperkecil ruang geraknya sebagai tokoh masyarakat yang pendapat-pendapatnya
didengar dan jadi rujukan anggota masyarakat. Sebagai menteri, dia sudah
memberikan komitmen untuk menerjemahkan pendapatnya menjadi kebijakan, dan
menerjemahkan kebebasannya menjadi komitmen untuk melaksanakan kebijakan itu.
Pendapat adalah buah pikiran hasil pemikiran yang dapat diuji dalam
perbandingan dengan buah pikiran lain.
Kebijakan adalah buah pikiran yang
sudah diterjemahkan menjadi keputusan politik yang harus dilaksanakan. Buah
pikiran dapat didiskusikan dari waktu ke waktu yang berujung pada suatu
kesimpulan yang kemudian bisa berubah juga. Kebijakan juga dapat dibahas dalam
diskusi, tetapi berujung pada keputusan yang akan dilaksanakan, dan tak selalu
dapat diubah lagi. Kesimpulan dalam diskusi adalah suatu organisasi gagasan, sementara
keputusan dalam persidangan adalah organisasi kerja dan rencana kerja yang
membawa banyak konsekuensi praktis.
Perbedaan pendapat mengenai buah
pikiran tak lagi menggelisahkan masyarakat yang mengikuti, dan ini bukti
naiknya tingkat kecerdasan umum menghadapi pertarungan antar-gagasan sebagai
perwujudan kebebasan dalam demokrasi. Namun, perbedaan pendapat mengenai
kebijakan rupanya kian hari kian meresahkan, terbukti dari desakan masyarakat
kepada presiden agar segera melakukan reshuffle
kabinet untuk dapat tim menteri yang lebih siap bekerja sama melaksanakan
kebijakan pemerintah.
Sikap
presiden
Dalam suasana di kabinet, saat
perbedaan pendapat telah menjadi kontroversi yang membingungkan masyarakat,
pihak mana yang harus dimintai pertanggungan jawab? Ada beberapa pihak yang
menganggap ini akibat kurangnya sikap tegas Presiden dalam mendisiplinkan para
menterinya. Mungkin ini tak seluruhnya benar karena pengertian dan penghayatan
tentang sikap tegas ini akan berbeda menurut masing-masing kelompok budaya.
Sebagai seorang Jawa yang besar di Kota Solo, penghayatan Presiden Jokowi
tentang ketegasan tentu berbeda dari sikap tegas Basuki Tjahaja Purnama yang
pernah menjadi wakilnya sebagai gubernur DKI. Sebagai seorang yang lahir dan
dibesarkan di lingkungan Pulau Sumatera dan dididik dalam keluarga yang
mewarisi peradaban Sinik, ekspresi Ahok tentang ketegasan jelas berbeda dari
seorang presiden yang bertumbuh dalam kebudayaan Solo.
Meski demikian, patut diusulkan di
sini, demi menjaga kolegialitas yang nyaman di antara kepala pemerintahan dan
anggota kabinet yang membantunya, Presiden menggunakan kata-kata penghalus,
seperti meminta atau mengimbau, agar perdebatan dalam sidang kabinet tak dibawa
keluar kepada publik. Per definisi, tugas pemerintah dan khususnya tugas kepala
pemerintahan bukanlah meminta atau mengimbau, tetapi memerintahkan, sesuai
nomenklaturnya, yaitu pemerintah, bukan pengimbau atau pemohon. Karena itu,
dalam keadaan sulit dan genting, hendaknya Presiden secara eksplisit
memerintahkan para menteri sebagai pembantunya agar melaksanakan kebijakannya,
dan memberi teguran dan sanksi apabila perintah tak dilaksanakan. Pada
akhirnya, apakah suatu kebijakan menguntungkan atau merugikan negara, membawa
manfaat atau kemubasiran untuk masyarakat, akan menjadi tanggung jawab presiden
sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dan kepala pemerintahan.
Dalam kaitan itu, seorang menteri
kabinet harus mempertimbangkan keseimbangan dan trade-off di antara keempat peran yang diembannya. Sebagai seorang
yang punya kompetensi, dia merasa turut bertanggung jawab terhadap implementasi
suatu kebijakan, dan karena itu merasa terpanggil untuk menyatakan apa yang
menurut pengetahuan dan pengalamannya merupakan pilihan yang lebih baik dan tak
membawa banyak kerugian bagi negara dan masyarakat.Sementara sebagai pembantu
presiden, dia harus tunduk dan loyal kepada kebijakan yang sudah diputuskan
presiden. Demi ketenangan batin dan tanggung jawab moralnya, dia dapat
mempertimbangkan bahwa freedom of speech
atau kebebasan berbicara harus disalurkan sebagai freedom of expression karena dia masih leluasa untuk mencari bentuk
pengungkapan yang dimungkinkan dalam lingkup kerjanya sebagai pembantu presiden
dengan mencari cara dan saluran ekspresi yang tak bertentangan dengan etos
kerjanya sebagai pembantu presiden, yaitu memanfaatkan sebaik-baiknya debat
dalam sidang kabinet untuk memperlihatkan apa yang diyakininya sebagai pilihan
yang tepat. Sementara itu, dia tidak bisa lagi semata-mata berdiri di atas asas
freedom of speech yang dinikmatinya
sebagai seorang warga negara biasa.
Sebagai anggota kabinet, yaitu
sebagai anggota dari suatu tim kerja, seorang menteri harus memperhatikan
keberhasilan departemen yang dipimpinnya, sekaligus juga menjaga agar bersama
menteri lain, pekerjaan mereka sebagai sebuah tim dapat mencapai prestasi
maksimal. Sudah menjadi dalil dalam kerja sama, seseorang menggunakan
kemampuannya dalam kadar yang merangsang kreativitas dan kinerja rekan kerjanya
dan bukan mempersulit mereka mengembangkan diri. Bakat dan kemampuan seorang
seniman tari, misalnya,dapat menjadi rangsang bagi penari lain yang menari
bersama dia, tetapi dapat pula menjadi semacam intimidasi yang melumpuhkan daya
cipta orang lain. Penari Sardono W Kusumo menceritakan temuannya ketika bergaul
dan hidup bersama seniman-seniman tradisional di sejumlah daerah di Tanah Air.
Menurut Sardono, dalam tari kecak di
Bali, tari malulo di Sulawesi, atau tari seudati di Aceh, selalu terlihat etos
yang sama, yaitu pentingnya memperhatikan ekspresi penari lain dan bahkan
ekspresi penonton, agar tarian bersama itu menjadi suatu performance bersama yang menggabungkan secara harmonis dan kreatif
ekspresi dari semua yang hadir dan ikut menari.Testimoni yang dapat dicatat
sebagai kesimpulan dia ialah "tari-tari tersebut tak akan hidup bila
masing-masing penari tak memperhatikan ekspresi orang-orang sekelilingnya
(rekan penari, musikus, atau penonton). Tarian tak akan mantap berkembang bila
seorang penari terlalu mengikuti ekspresi pribadinya. Itu akan membuat yang
lain sulit menangkap dan mengembangkan tari sebagai peristiwa kebersamaan"
(Sardono W Kusumo,Hanuman, Tarzan, Homo Erectus, 2004, hal 109-110).
Kebersamaan dalam suatu performance
kesenian bukan hanya jadi kekangan bagi ekspresi seseorang, melainkan juga
dapat menjadi kesempatan mewujudkan potensi seorang yang mungkin belum
disadarinya, tetapi kemudian dirangsang oleh ekspresi rekan seniman lain yang
diungkapkan secara terukur.
Kebersamaan tak terbatas pada
kebersamaan dalam ruang seperti dalam tarian bersama, tetapi juga kebersamaan
dalam waktu. Maestro seni patung Bali, Lempad dan seniman segenerasinya punya
kebiasaan yang memperlihatkan kesadaran tentang kebersamaan dalam waktu. Konon,
beberapa patung yang dibuat Lempad di rumahnya sengaja tak diselesaikan. Dia
berharap patung yang belum selesai itu diselesaikan anak cucunya di kemudian
hari. Ada baiknya para menteri sebagai anggota kabinet kadang-kadang
membayangkan tim kabinet mereka sebagai sebuah kelompok tari. Kebersamaan
kreatif itu akan muncul bila mereka ingat pengalaman Sardono dalam menari
bersama berbagai kelompok tari tradisional, yaitu "tarian akan berkembang
dengan baik bila mereka yang ambil bagian mampu menakar kadar ekspresinya,
hingga yang lain-lain terangsang, lalu rangsangan itu akan kembali kepada
dirinya".
oleh Ignas Kleden
disadur dari Kompas, Selasa, 29
Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar