Sepanjang tahun 2016, negara-negara
berkembang diperkirakan akan mengalami turbulensi ekonomi yang sangat
menegangkan. Menurut PBB dalam laporan bertajuk "World Economic Situation and Prospect 2016", pertumbuhan
ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan hanya akan mencapai rata-rata 3,8
persen pada 2016, suatu pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis keuangan
global pada 2009. Situasinya dapat disejajarkan dengan kondisi resesi ekonomi
dunia 2001.
Pelambatan ekonomi di Tiongkok yang
dikhawatirkan akan mengalami pelambatan tajam ekonomi (hard landing), resesi ekonomi yang parah di Rusia dan Brasil-
ketiganya merupakan tiga raksasa ekonomi di emerging
markets-adalah beberapa fenomena yang dapat menjelaskan sebagian dari
pelambatan ekonomi di negara-negara berkembang.
Jalur
transmisi
Turbulensi tersebut transmisinya
terutama melalui jalur perdagangan. Turunnya permintaan komoditas sumber daya
alam di Tiongkok-di mana setengah dari permintaan dunia akan komoditas logam
dasar diserap oleh Tiongkok-menyebabkan penurunan tajam harga komoditas dunia.
Fenomena ini sangat memukul perekonomian negara-negara berkembang terutama di
Amerika Latin dan Afrika, tidak terkecuali Indonesia.
Laporan PBB menyebutkan terdapat
sekitar 29 negara berkembang yang sangat terpukul oleh pelambatan ekonomi
Tiongkok. Jatuhnya harga minyak mentah dunia yang mencapai 60 persen sejak Juli
2014, telah membuat negara-negara pengekspor minyak-termasuk Arab Saudi sebagai
pengekspor minyak mentah terbesar dunia-sempoyongan. Selain itu, terjadi penurunan
tajam remitansi negara-negara berkembang pengekspor tenaga kerja, seperti
Filipina, Banglades, Pakistan, dan Indonesia.
Namun, kekhawatiran terbesar tidak
terletak pada jalur transmisi perdagangan, tetapi pada jalur transmisi
keuangan, yaitu lewat aliran modal asing keluar dari negara-negara berkembang.
Ditengarai telah terjadi aliran
modal asing keluar secara masif dari negara-negara berkembang sejak 2015.
Selama periode 2009-2014, secara keseluruhan negara-negara berkembang telah
menerima aliran modal asing secara neto sekitar 2,2 triliun dollar AS, yang
sebagian dikarenakan adanya kebijakan pelonggaran moneter di negara-negara maju
terutama Amerika Serikat, di mana tingkat suku bunga di negara-negara tersebut
berada pada level yang sangat rendah hingga 0 persen.
Dikarenakan mencari imbal hasil (yield) yang lebih tinggi, investor dan
spekulan global menanamkan modalnya di negara-negara berkembang, sehingga
derasnya aliran modal asing tersebut berakibat pada peningkatan leverage perbankan, kenaikan harga saham
di pasar modal, dan sebagian berdampak pada boomingharga komoditas. Misalnya,
kapitalisasi pasar modal di Mumbai, Johannesburg, Sao Paulo, Shanghai, dan
Jakarta hampir tiga kali lipat pada tahun-tahun setelah krisis keuangan global
2008. Pasar modal di negara-negara berkembang yang lain juga menunjukkan
peningkatan yang luar biasa selama periode tersebut.
Aliran
modal asing
Namun, kini aliran modal asing telah
mengalami pembalikan, keluar dari negara-negara berkembang secara signifikan.
Aliran modal asing neto telah menunjukkan angka negatif untuk pertama kali
sejak 2006, dengan aliran modal asing keluar bersih dari negara berkembang
melebihi 600 miliar dollar AS atau lebih dari seperempat dari modal asing yang
masuk ke negara-negara berkembang selama enam tahun sebelumnya.
Aliran modal asing keluar terbesar
terjadi melalui sistem perbankan. Perbankan internasional telah mengurangi exposure kreditnya ke negara berkembang
lebih dari 800 miliar dollar AS pada 2015 saja. Diperkirakan pada 2016, angkanya
akan melebihi 2015 jika kebijakan Bank Sentral AS masih tetap seperti target
semula.
Jumlah aliran modal asing yang
keluar secara masif ini tentu berdampak sangat negatif terhadap perekonomian
negara- negara berkembang, di antaranya mengeringkan likuiditas perekonomian,
meningkatkan biaya pinjaman dan cicilan bunga, melemahkan nilai tukar, menguras
cadangan devisa serta penurunan yang tajam pada harga aset serta harga saham.
Ujung-ujungnya akan memukul sektor riil sehingga prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara
berkembang akan lebih suram dari tahun-tahun sebelumnya.
Ini bukan kali pertama negara
berkembang mengalami pembalikan arus modal asing, tetapi saat ini angkanya
sangat fantastis. Selama krisis keuangan Asia, tahun 1997 aliran modal asing
keluar neto dari negara-negara di Asia Timur hanya 12 miliar dollar AS.
Tentu, kondisi perekonomian negara-negara
Asia Timur dewasa ini jauh berbeda daripada 1997. Diperkirakan saat ini
negara-negara tersebut lebih tahan terhadap guncangan akibat dari arus modal
asing yang keluar tersebut, mengingat ketersediaan cadangan devisa yang memadai
yang dapat digunakan untuk intervensi dalam rangka menstabilkan nilai tukar
mata uangnya. Cadangan devisa negara-negara tersebut telah mencapai lebih dari
tiga kali lipat dari cadangan devisa sejak krisis keuangan Asia pada 1997.
Posisi cadangan devisa yang memadai
telah menjadi bantalan (shock absorber)
bagi negara-negara berkembang, sehingga dampak pembalikan modal asing yang
spektakuler tersebut tidak mengakibatkan guncangan yang dahsyat pada
perekonomiannya. Namun, tidak semua negara-negara berkembang begitu mewah
memiliki arsenal yang cukup untuk meredam pembalikan arus modal asing tersebut.
Langkah
mendesak
Lantas, apa yang harus dilakukan
negara-negara berkembang dalam mengatasi masalah tersebut, sehingga tidak
menjadi bencana?
Banyak pemerintahan di negara-negara
berkembang gagal belajar dari krisis masa lalu, yang seharusnya menggunakan
kewenangannya baik lewat regulasi maupun perpajakan yang bertujuan membatasi
keterpaparan terhadap (exposure)
pinjaman dalam mata uang asing terutama yang terkategori hot money.
Sekarang saatnya pemerintah di
negara-negara berkembang harus mengambil langkah yang tepat dan cepat agar
dampak turbulensi ini tidak mematikan. Di antaranya bagi negara-negara
berkembang yang mempunyai cadangan devisa yang cukup, dianjurkan melakukan
pembelian kembali obligasinya di pasar internasional mumpung harganya lagi
jatuh.
Negara-negara berkembang dianjurkan
untuk tidak tergoda melakukan kebijakan menaikkan tingkat suku bunga untuk
mengerem arus modal asing yang keluar ini, karena dijamin dampaknya tidak
efektif dalam memperlambat arus keluar modal asing tersebut. Bahkan akan
berakibat menghantam ekonomi riil, sehingga mengurangi kemampuan membayar utangnya
karena pendapatannya menurun, tingkat bunga yang tinggi jelas kontra produktif.
Makro
yang hati-hati
Kebijakan makro yang berhati-hati (macro-prudential) memang dapat menahan
laju arus dana keluar, tetapi kebijakan ini saja tidak akan cukup. Dalam beberapa
kasus, perlu melakukan kontrol arus dana asing keluar secara selektif dan
dengan batas waktu tertentu, khususnya yang melalui sistem perbankan. Misalnya,
membatasi transfer modal antara kantor pusat bank asing di negara maju dengan
cabang atau perwakilannya di negara-negara berkembang.
Belajar dari kesuksesan Malaysia
melakukan kontrol arus modal asing keluar pada 1997, negara-negara berkembang
dapat menggunakan kebijakan pembatasan penarikan modal yang ditanam di negara-
negara berkembang dalam waktu tertentu dalam rangka menstabilkan arus modal
asing dan nilai tukarnya. Begitulah beberapa hal yang dapat menjadi catatan
menyikapi perkembangan saat ini agar bencana krisis keuangan tidak terulang
lagi di negara-negara berkembang. Langkah ini perlu dilakukan dengan bijak,
tepat, dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
oleh Tri Winarno
disadur dari Kompas, Kamis, 24 Maret
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar