Dinamika perekonomian global masih
berlanjut. Ekonom pun kini kian sulit untuk memprediksi secara akurat apa yang
akan terjadi ke depan. Kian banyak ramalan menjadi tidak valid. Termasuk Kepala
The Fed (Bank Sentral AS) Janet Yellen, misalnya, semula memproyeksikan suku
bunga acuan akan dinaikkan empat kali sepanjang 2016 sehingga suku bunga acuan
setidaknya 1 persen pada akhir 2016. Rencana ini hampir pasti batal. Suku bunga
The Fed pekan lalu ditahan tetap 0,5 persen.
Bukan sekali ini Yellen membuat
proyeksi seperti itu. Pada akhir 2014, ia mencanangkan rencana kenaikan suku
bunga pada 2015 hingga mencapai 1,25 persen pada akhir 2015. Langkah ini
diperlukan untuk melakukan normalisasi suku bunga di AS. Sebab, jika rezim suku
bunga nyaris nol persen terus berlanjut, likuiditas dollar AS yang bertambah
4,5 miliar dollar AS selama periode quantitative
easing (2009-2013) akan berujung kontraproduktif berupa tindakan spekulasi.
Ini harus dihindari. Karena itu, likuiditas dollar AS pun harus ditarik kembali
melalui mekanisme kenaikan suku bunga.
Namun, rencana Yellen tak
berlangsung mulus karena dinamika ekonomi yang besar dan tak terduga. Siapa
sangka perekonomian Tiongkok kini mulai meredup dengan pertumbuhan ekonomi 2016
diprediksi hanya 6 persen, bahkan mungkin kurang? Penyebabnya adalah upah
tenaga kerja yang meningkat—ini logis karena pendapatan per kapita sudah
mencapai 9.000 dollar AS, bahkan 11.000 dollar AS di Shanghai dan Beijing—serta
belanja infrastruktur yang banyak berkurang.
Saya pernah berdiskusi dengan ekonom
top Tiongkok, Profesor Justin Lin, di Sydney (2009). Mantan Ekonom Kepala Bank
Dunia ini mengatakan, perekonomian Tiongkok akan tetap tumbuh tinggi karena
Pemerintah Tiongkok tidak pernah kekurangan akal untuk membangun infrastruktur.
Namun, pernyataan ini sekarang mulai tidak valid. Sejak beberapa tahun
terakhir, Tiongkok mulai dihinggapi kelebihan pasokan infrastruktur dan
properti. Belanja infrastruktur yang sebelumnya mencapai 8-9 persen terhadap
PDB kini mulai berkurang banyak.
Akibatnya, Tiongkok seperti
kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi. Itulah sebabnya, pertumbuhan
ekonomi tahun ini diperkirakan bakal rendah. Melandainya pertumbuhan ekonomi
Tiongkok akan memberikan dampak ke seluruh dunia karena mereka merupakan
kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah AS.
Janet Yellen pun mulai berhati-hati
dalam mengelola kebijakan suku bunganya. Fedrate yang dinaikkan dari 0,25
persen menjadi 0,5 persen pada pertengahan Desember 2015 tidak jadi dinaikkan.
Bahkan, Yellen mengisyaratkan suku bunga Fed hanya akan naik dua kali selama
2016 dari rencana semula empat kali.
Selain faktor kinerja perekonomian
Tiongkok, Yellen juga belum puas dengan data inflasi. Inflasi AS saat ini cuma
1,2 persen, atau masih di bawah target 2 persen. Mantan Kepala The Fed Ben S
Bernanke menulis ("The Courage to
Act: A Memoir of A Crisis and Its Aftermath", 2015) bahwa inflasi AS
yang terlalu rendah itu berdampak sama buruknya dengan inflasi tinggi. Dengan
kata lain, AS kini sedang "rindu inflasi", butuh inflasi yang lebih
tinggi.
Dalam batas tertentu (2 persen),
inflasi diperlukan untuk memberikan insentif terhadap dunia usaha. Selanjutnya,
hal ini juga akan memberikan insentif bagi pekerja untuk menerima gaji atau
upah yang lebih tinggi. Bayangkan jika harga produk, gaji, dan upah dari tahun
ke tahun stagnan, hal ini tidak memberikan semangat bekerja yang lebih tinggi.
Itulah sebabnya, The Fed akhirnya memilih untuk tidak menaikkan suku bunganya
pada pertemuan pekan lalu.
Belanja
infrastruktur
Kebijakan suku bunga AS tetap rendah
memberikan ruang bagi penurunan suku bunga di Indonesia. Karena itu, Bank
Indonesia berani menurunkan suku bunga acuannya menjadi 6,75 persen. Berarti
dalam tiga bulan pertama 2016, BI telah menurunkan suku bunga hingga 0,75
persen. Selain faktor The Fed, BI juga mendapat insentif dari derasnya modal
asing ke Indonesia hingga Rp 46 triliun dalam 2,5 bulan pertama 2016. Inilah
alasan rupiah menguat ke Rp 13.000-an per dollar AS, dan cadangan devisa terus
meningkat di atas 105 miliar dollar AS.
Meski demikian, IMF menurunkan
proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen. Saya
pikir IMF tetap melihat bahwa salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini
ada pada sisi fiskal. Kombinasi antara target pajak tinggi yang sulit dicapai
dan belum pastinya UU Amnesti Pajak menjadi salah satu poin lemah yang
mengurangi kredibilitas pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Kredibilitas pemerintah tak cuma
dipertaruhkan dalam menyusun target-target fiskal. Angka-angka kuantitatif lain
juga layak dipertanyakan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, misalnya,
juga mencanangkan kebutuhan pendanaan infrastruktur Rp 5.500 triliun hingga
2019. Berarti, setiap tahun diperlukan belanja Rp 1.100 triliun, yang mesti
"dikeroyok" oleh APBN, APBD, BUMN, swasta, maupun skema kerja sama
pemerintah dengan swasta (public-private
partnership). Saya duga angka ini merupakan kondisi yang "super
ideal" untuk keluar dari ketertinggalan infrastruktur kita. Namun,
realistiskah angka itu? Tidak.
Di kalangan ekonom dunia terdapat
semacam kesepakatan bahwa negara-negara emerging markets, seperti Indonesia,
seyogianya membelanjakan dana untuk infrastruktur sebesar 5 persen terhadap
PDB. Karena PDB Indonesia tahun ini sekitar Rp 12.000 triliun, belanja ideal
infrastruktur kita mestinya Rp 600 triliun per tahun.
Tentu saja sangat baik jika pemerintah
bisa menggenjotnya hingga Rp 1.100 triliun per tahun, atau 9 persen terhadap
PDB. Namun, apakah masuk akal? Padahal, selama ini belanja infrastruktur kita
hanya 2,5 persen terhadap PDB. Bisakah loncat dari 2,5 persen menjadi 9 persen?
Menurut saya mustahil meski ada negara yang pernah bisa melakukannya, yakni
Tiongkok.
Tiongkok adalah negara yang paling
hebat di dunia dalam membangun infrastruktur, dengan belanja mencapai 8-9
persen terhadap PDB. Sementara negara-negara maju, seperti AS dan Eropa, belanjanya
hanya 2 persen terhadap PDB karena mereka kebanyakan hanya memelihara fasilitas
yang sudah ada dan relatif sedikit yang membangun baru. Tiongkok tampaknya
mulai memasuki tahap penurunan belanja infrastruktur karena jenuh atau
kelebihan kapasitas.
Respons
kebijakan
Pemerintah perlu mengoreksi target
belanja infrastruktur menjadi lebih realistis dan kredibel, misalnya maksimal 5
persen terhadap PDB. Itu pun sudah hebat karena tidak banyak negaraemerging
yang bisa mencapainya. Brasil yang berada pada level tersebut kini sedang
didera defisit APBN hingga 7 persen terhadap PDB (normalnya 2 persen, Indonesia
2,5 persen), serta inflasi di atas 10 persen.
Dengan kondisi fiskal yang tertekan
sehingga mengurangi kemampuan stimulusnya, maka mau tidak mau harus kembali
menoleh belanja non-pemerintah, yakni konsumsi dan investasi, melalui mediasi
industri perbankan. Penurunan suku bunga acuan BI yang lebih cepat dari rencana
merupakan modal besar bagi bank-bank untuk lebih giat mendorong ekspansi
kredit. Tahun lalu, kredit bank hanya tumbuh 10 persen. Tahun ini mestinya bisa
setidaknya 12 persen.
Namun, saya ragu apakah suku bunga
kredit bisa seluruhnya bisa ditekan di bawah 10 persen pada akhir 2016. Target
ini hebat, tetapi mungkin tidak realistis. Jika bank-bank dipaksa—represi
finansial—untuk menurunkan suku bunga untuk segmen mikro dan kredit kecil, dari
20 persen ke 10 persen, justru bisa kontraproduktif. Bank-bank menjadi
kekurangan insentif untuk masuk ke segmen ini. Kredit UMKM selama ini
bergairah, dengan pemimpin pasar BRI, antara lain karena adanya insentif margin
bunga yang tinggi. Tanpa insentif ini, sulit membayangkan bahwa mereka akan
konsisten menyalurkan kredit dengan kecepatan tinggi.
Akhirnya harus diakui bahwa dinamika
perekonomian saat ini benar-benar cepat dan sering tak terduga. Ini memerlukan
respons kebijakan yang tepat dan bijak. Sementara itu, untuk keluar dari
ketertinggalan, kadang-kadang kita jadi serba tergopoh-gopoh ingin segera
menyelesaikannya dalam waktu singkat. Padahal, seperti orang yang baru saja
sakit, dia memerlukan waktu untuk bisa kembali berjalan, lalu kemudian
pelan-pelan berlari. Tidak bisa serba instan, jika tidak ingin memantik
komplikasi yang tidak diinginkan.
oleh A Tony Prasetiantono
disadur dari Kompas, Senin, 21 Maret
2016
Dinamika Global
Berlanjut (A TONY PRASETIANTONO)
Dinamika perekonomian global masih berlanjut. Ekonom pun kini kian sulit
untuk memprediksi secara akurat apa yang akan terjadi ke depan. Kian
banyak ramalan menjadi tidak valid. Termasuk Kepala The Fed (Bank
Sentral AS) Janet Yellen, misalnya, semula memproyeksikan suku bunga
acuan akan dinaikkan empat kali sepanjang 2016 sehingga suku bunga acuan
setidaknya 1 persen pada akhir 2016. Rencana ini hampir pasti batal.
Suku bunga The Fed pekan lalu ditahan tetap 0,5 persen.
JITET
Bukan sekali ini Yellen membuat proyeksi seperti itu. Pada akhir 2014,
ia mencanangkan rencana kenaikan suku bunga pada 2015 hingga mencapai
1,25 persen pada akhir 2015. Langkah ini diperlukan untuk melakukan
normalisasi suku bunga di AS. Sebab, jika rezim suku bunga nyaris nol
persen terus berlanjut, likuiditas dollar AS yang bertambah 4,5 miliar
dollar AS selama periodequantitative easing (2009-2013) akan berujung
kontraproduktif berupa tindakan spekulasi. Ini harus dihindari. Karena
itu, likuiditas dollar AS pun harus ditarik kembali melalui mekanisme
kenaikan suku bunga.
Namun, rencana Yellen tak berlangsung mulus karena dinamika ekonomi yang
besar dan tak terduga. Siapa sangka perekonomian Tiongkok kini mulai
meredup dengan pertumbuhan ekonomi 2016 diprediksi hanya 6 persen,
bahkan mungkin kurang? Penyebabnya adalah upah tenaga kerja yang
meningkat—ini logis karena pendapatan per kapita sudah mencapai 9.000
dollar AS, bahkan 11.000 dollar AS di Shanghai dan Beijing—serta belanja
infrastruktur yang banyak berkurang.
Saya pernah berdiskusi dengan ekonom top Tiongkok, Profesor Justin Lin,
di Sydney (2009). Mantan Ekonom Kepala Bank Dunia ini mengatakan,
perekonomian Tiongkok akan tetap tumbuh tinggi karena Pemerintah
Tiongkok tidak pernah kekurangan akal untuk membangun infrastruktur.
Namun, pernyataan ini sekarang mulai tidak valid. Sejak beberapa tahun
terakhir, Tiongkok mulai dihinggapi kelebihan pasokan infrastruktur dan
properti. Belanja infrastruktur yang sebelumnya mencapai 8-9 persen
terhadap PDB kini mulai berkurang banyak.
Akibatnya, Tiongkok seperti kekurangan daya dorong pertumbuhan ekonomi.
Itulah sebabnya, pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bakal
rendah. Melandainya pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan memberikan dampak
ke seluruh dunia karena mereka merupakan kekuatan ekonomi nomor dua di
dunia setelah AS.
Janet Yellen pun mulai berhati-hati dalam mengelola kebijakan suku
bunganya. Fedrate yang dinaikkan dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen
pada pertengahan Desember 2015 tidak jadi dinaikkan. Bahkan, Yellen
mengisyaratkan suku bunga Fed hanya akan naik dua kali selama 2016 dari
rencana semula empat kali.
Selain faktor kinerja perekonomian Tiongkok, Yellen juga belum puas
dengan data inflasi. Inflasi AS saat ini cuma 1,2 persen, atau masih di
bawah target 2 persen. Mantan Kepala The Fed Ben S Bernanke menulis
("The Courage to Act: A Memoir of A Crisis and Its Aftermath", 2015)
bahwa inflasi AS yang terlalu rendah itu berdampak sama buruknya dengan
inflasi tinggi. Dengan kata lain, AS kini sedang "rindu inflasi", butuh
inflasi yang lebih tinggi.
Dalam batas tertentu (2 persen), inflasi diperlukan untuk memberikan
insentif terhadap dunia usaha. Selanjutnya, hal ini juga akan memberikan
insentif bagi pekerja untuk menerima gaji atau upah yang lebih tinggi.
Bayangkan jika harga produk, gaji, dan upah dari tahun ke tahun stagnan,
hal ini tidak memberikan semangat bekerja yang lebih tinggi. Itulah
sebabnya, The Fed akhirnya memilih untuk tidak menaikkan suku bunganya
pada pertemuan pekan lalu.
Belanja infrastruktur
Kebijakan suku bunga AS tetap rendah memberikan ruang bagi penurunan
suku bunga di Indonesia. Karena itu, Bank Indonesia berani menurunkan
suku bunga acuannya menjadi 6,75 persen. Berarti dalam tiga bulan
pertama 2016, BI telah menurunkan suku bunga hingga 0,75 persen. Selain
faktor The Fed, BI juga mendapat insentif dari derasnya modal asing ke
Indonesia hingga Rp 46 triliun dalam 2,5 bulan pertama 2016. Inilah
alasan rupiah menguat ke Rp 13.000-an per dollar AS, dan cadangan devisa
terus meningkat di atas 105 miliar dollar AS.
Meski demikian, IMF menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia
dari 5,3 persen menjadi 5,1 persen. Saya pikir IMF tetap melihat bahwa
salah satu persoalan terbesar Indonesia saat ini ada pada sisi fiskal.
Kombinasi antara target pajak tinggi yang sulit dicapai dan belum
pastinya UU Amnesti Pajak menjadi salah satu poin lemah yang mengurangi
kredibilitas pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
Kredibilitas pemerintah tak cuma dipertaruhkan dalam menyusun
target-target fiskal. Angka-angka kuantitatif lain juga layak
dipertanyakan. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, misalnya, juga
mencanangkan kebutuhan pendanaan infrastruktur Rp 5.500 triliun hingga
2019. Berarti, setiap tahun diperlukan belanja Rp 1.100 triliun, yang
mesti "dikeroyok" oleh APBN, APBD, BUMN, swasta, maupun skema kerja sama
pemerintah dengan swasta (public-private partnership). Saya duga angka
ini merupakan kondisi yang "super ideal" untuk keluar dari
ketertinggalan infrastruktur kita. Namun, realistiskah angka itu? Tidak.
Di kalangan ekonom dunia terdapat semacam kesepakatan bahwa
negara-negara emerging markets, seperti Indonesia, seyogianya
membelanjakan dana untuk infrastruktur sebesar 5 persen terhadap PDB.
Karena PDB Indonesia tahun ini sekitar Rp 12.000 triliun, belanja ideal
infrastruktur kita mestinya Rp 600 triliun per tahun.
Tentu saja sangat baik jika pemerintah bisa menggenjotnya hingga Rp
1.100 triliun per tahun, atau 9 persen terhadap PDB. Namun, apakah masuk
akal? Padahal, selama ini belanja infrastruktur kita hanya 2,5 persen
terhadap PDB. Bisakah loncat dari 2,5 persen menjadi 9 persen? Menurut
saya mustahil meski ada negara yang pernah bisa melakukannya, yakni
Tiongkok.
Tiongkok adalah negara yang paling hebat di dunia dalam membangun
infrastruktur, dengan belanja mencapai 8-9 persen terhadap PDB.
Sementara negara-negara maju, seperti AS dan Eropa, belanjanya hanya 2
persen terhadap PDB karena mereka kebanyakan hanya memelihara fasilitas
yang sudah ada dan relatif sedikit yang membangun baru. Tiongkok
tampaknya mulai memasuki tahap penurunan belanja infrastruktur karena
jenuh atau kelebihan kapasitas.
Respons kebijakan
Pemerintah perlu mengoreksi target belanja infrastruktur menjadi lebih
realistis dan kredibel, misalnya maksimal 5 persen terhadap PDB. Itu pun
sudah hebat karena tidak banyak negaraemerging yang bisa mencapainya.
Brasil yang berada pada level tersebut kini sedang didera defisit APBN
hingga 7 persen terhadap PDB (normalnya 2 persen, Indonesia 2,5 persen),
serta inflasi di atas 10 persen.
Dengan kondisi fiskal yang tertekan sehingga mengurangi kemampuan
stimulusnya, maka mau tidak mau harus kembali menoleh belanja
non-pemerintah, yakni konsumsi dan investasi, melalui mediasi industri
perbankan. Penurunan suku bunga acuan BI yang lebih cepat dari rencana
merupakan modal besar bagi bank-bank untuk lebih giat mendorong ekspansi
kredit. Tahun lalu, kredit bank hanya tumbuh 10 persen. Tahun ini
mestinya bisa setidaknya 12 persen.
Namun, saya ragu apakah suku bunga kredit bisa seluruhnya bisa ditekan
di bawah 10 persen pada akhir 2016. Target ini hebat, tetapi mungkin
tidak realistis. Jika bank-bank dipaksa—represi finansial—untuk
menurunkan suku bunga untuk segmen mikro dan kredit kecil, dari 20
persen ke 10 persen, justru bisa kontraproduktif. Bank-bank menjadi
kekurangan insentif untuk masuk ke segmen ini. Kredit UMKM selama ini
bergairah, dengan pemimpin pasar BRI, antara lain karena adanya insentif
margin bunga yang tinggi. Tanpa insentif ini, sulit membayangkan bahwa
mereka akan konsisten menyalurkan kredit dengan kecepatan tinggi.
Akhirnya harus diakui bahwa dinamika perekonomian saat ini benar-benar
cepat dan sering tak terduga. Ini memerlukan respons kebijakan yang
tepat dan bijak. Sementara itu, untuk keluar dari ketertinggalan,
kadang-kadang kita jadi serba tergopoh-gopoh ingin segera
menyelesaikannya dalam waktu singkat. Padahal, seperti orang yang baru
saja sakit, dia memerlukan waktu untuk bisa kembali berjalan, lalu
kemudian pelan-pelan berlari. Tidak bisa serba instan, jika tidak ingin
memantik komplikasi yang tidak diinginkan.
A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK
UGM
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2016, di
halaman 6 dengan judul "Dinamika Global Berlanjut".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar