Panggung politik bangsa hari ini
menyuguhkan tontonan "kegaduhan" dalam rezim berkuasa. Hal itu
terjadi akibat ketidakmampuan Joko Widodo-sebagai pemimpin tertinggi
negara-membangun kedisiplinan dan kepatuhan para aparatnya.
Berlanjutnya
"pertengkaran" di antara para menteri-mulai dari masalah proyek
pembangkit listrik 35.000 MW, impor beras, pesawat Garuda Indonesia,
perpanjangan kontrak Freeport, kereta cepat, hingga kilang Blok
Masela-menunjukkan tingginya intensitas kegaduhan ini.
Berlanjutnya kegaduhan itu
menunjukkan tak bekerjanya hierarki kekuasaan dalam rezim, sehingga garis
komando kekuasaan saling bertabrakan, tumpang-tindih, dan bersilangan satu dan
lainnya. Akibatnya, iklim ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan dalam
relasi kekuasaan rezim, sebagai penanda degradasi otoritas kekuasaan. Degradasi
ditunjukkan, misalnya, oleh menteri yang berani "melawan" presiden
dan wakil presiden.
Kekuasaan
postmodern
Kegaduhan ini akibat kegagalan
Jokowi menggunakan "otoritas kekuasaan", kekuasaan yang sah dan
diakui dalam memerintahkan, melarang, menertibkan, dan mendisiplinkan untuk
membangun iklim kepatuhan dalam rezim. Dengan kata lain, Jokowi tak mampu
membangun "karisma" melalui tindakan nyata, yang melaluinya
"kekuasaan simbolik" dikonversikan dan dimanifestasikan dalam
"kekuasaan nyata". "Anomali kekuasaan" ini membahayakan
keberlanjutan rezim karena tak pastinya garis komando kekuasaan, dan tak
jelasnya arah tujuan "kapal" negara-bangsa, lantaran ketakmampuan
nakhoda menavigasi kapal. Rezim kekuasaan yang dikendalikan banyak pemegang
kekuasaan tak saja menimbulkan aneka gesekan politik, tetapi menguras energi
bangsa untuk pertengkaran tak konstruktif bagi kemajuan bangsa.
Ketakmampuan Jokowi menunjukkan
taring kekuasaannya menjadikan kekuasaan layaknya bola liar, yang dapat
dipegang siapa pun. Di sini, kekuasaan-sebagai kemampuan mengubah
"potensi" jadi kenyataan melalui jalan perubahan-memerlukan pribadi
yang memiliki kekuatan, karisma, dan ketegasan. Tanpa kekuatan itu mustahil
Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara dapat memberantas korupsi,
mengentaskan kemiskinan atau membasmi mafia kejahatan.
Masalah fundamental rezim menyangkut
kapasitas, hierarki, dan distribusi kekuasaan. Pertama, Jokowi tak mampu
menciptakan kepatuhan dan kedisiplinan, karena tak mampu menunjukkan daya dan
kekuatan dirinya. Kedua, ia tak dapat membangun hierarki kekuasaan, yang
mendorong permainan kekuasaan di aneka lapisan subordinat. Ketiga, ia juga tak
mampu membangun distribusi kekuasaan proporsional, sehingga perintah tak
bekerja secara berjenjang.
Dalam praktik demokrasi modern,
relasi "kekuasaan riil" cenderung bersifat hierarkis, dengan garis komando
dari atas (top down), meskipun secara
prinsip formal kekuasaan bersifat dari bawah ke atas, yaitu prinsip
"kekuasaan di tangan rakyat" (demos).
Hierarki kekuasaan macam ini menjamin berlangsungnya garis komando yang jelas,
berjenjang, dan sistemik, yaitu siapa memerintah siapa (Boulding, 1989).
Akan tetapi, dalam sistem
"demokrasi postmodern",
relasi kekuasaan bersifat nonhierarkis, heterogen, dan tak terpusat, yang
memungkinkan pertarungan terbuka mendapatkan hegemoni kekuasaan. Kondisi ini
dimungkinkan karena "kekuasaan ada di mana-mana" dan rezim kekuasaan
dibangun oleh "multiplisitas relasi kekuasaan", yang di dalamnya tak
ada satu pun pusat kekuasaan yang stabil dan permanen (Foucault, 1984).
Pertanyaannya, apakah Jokowi
menerapkan sistem "demokrasi postmodern"
dalam mengelola kekuasaan? Bila benar, ini berarti bahwa pengelolaan itu
dilandasi oleh relasi kekuasaan nonhierarkis, tak terpusat, dan heterogen;
multiplisitas sumber kekuatan, di mana kekuasaan dapat dimiliki siapa pun dalam
posisi apa pun; dan distribusi kekuasaan yang dinamis dan nonproporsional, yang
memungkinkan perintah datang dari mana pun.
Akan tetapi, sistem kekuasaan
postmodern memerlukan kecanggihan pengetahuan, kemampuan retorika, kelihaian
berdebat, dan kekuatan karisma dalam pertarungan mendapatkan hegemoni,
berhadapan dengan "lawan yang legitimated"
(adversary), yang eksistensinya
diakui, tetapi pandangannya dilawan (Mouffe, 1993). Sayangnya, yang saling
bertarung di dalam rezim adalah para pembantunya, Jokowi sendiri tak memiliki
kapasitas untuk terlibat dalam "pertarungan hegemoni" ini.
Di sini, sifat-sifat sederhana,
jujur, santun, dan merakyat yang ditunjukkan Jokowi dalam setiap penampilan dan
tindakannya menjadi anti tesis dari sistem yang ia bangun (atau tak sengaja dibangun).
Sistem kekuasaan yang dibiarkan (atau didesain?) nonhierarkis, tak terpusat,
heterogen, dan nonproporsional jadi bumerang bagi otoritas kekuasaan Jokowi
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang dapat mendegradasi atau
meruntuhkan legitimasinya.
Restrukturisasi
kekuasaan
Kegaduhan dalam rezim kekuasaan
dapat terjadi akibat kesenjangan antara kekuasaan yang legitimated dan
kapasitas dalam menggunakan otoritas itu. Di sini, orang yang memiliki otoritas
kekuasaan memerlukan kepatuhan, tetapi tak selalu orang yang memiliki kekuasaan
yang sah dan diakui dapat menjalankan otoritas itu (Schmitt, 1985). Inilah yang
dialami Jokowi, yaitu kekuasaan yang sah dan diakui yang tanpa kepatuhan.
Ada beberapa faktor penyebab
mandulnya otoritas kekuasaan Jokowi. Pertama, penunjukan para menteri atas
dasar kesepakatan politik telah menyandera otoritas kekuasaannya. Kedua, di
dalam rezim pemerintah ada berbagai pusat kekuasaan tak tampak, yang
menghalangi otoritasnya. Ketiga, orang-orang yang dipilih Jokowi sebagai "bumper' dirinya justru menunjukkan
gestur lebih berkuasa darinya. Keempat, sistem kekuasaan yang dibiarkan
nonhierarkis, merupakan anti tesis dari kepribadian Jokowi sendiri.
Keempat faktor itu menjadikan upaya
memulihkan otoritas kekuasaan Jokowi menghadapi semacam dilema. Di satu pihak,
dalam menegakkan otoritasnya, Jokowi tak dapat menunjukkan kecanggihan
pengetahuan, kelihaian berdebat, kemampuan retorika, dan kekuatan karisma yang
memadai. Di pihak lain, mengubah kembali sistem kekuasaan nonhierarkis menjadi
hierarkis akan menegasi gaya politiknya sendiri: "egalitarianisme".
Akan tetapi, bagaimanapun, kegaduhan
di lingkaran kekuasaan ini harus dihentikan dan dicarikan jalan keluarnya, bila
rezim ini akan berlanjut.
Pertama, perlu dieksplorasi sisi-sisi
"karismatik" dari Jokowi sebagai modal penguatan otoritas agar ia
didengar, diikuti, dan dipatuhi para bawahannya. Soekarno, Soeharto, Habibie,
Gus Dur, Megawati, dan SBY memiliki modal masing-masing dalam membangun
karisma. Dalam banyak kasus ,"kesederhanaan" dapat dieksplorasi dan
dikonversikan sebagai sebuah kekuatan karismatik, seperti dicontohkan oleh
Gandhi, Agus Salim atau Ahmadinejad.
Kedua, Jokowi dapat memperkuat
otoritas kekuasaannya dengan memperkuat lingkaran kekuasaan yang dimiliki
orang- orang di sekitarnya, yang memiliki karisma dan tepercaya. Namun,
lingkaran kekuatan itu tak boleh partisan dan tak boleh menggelembungkan
kekuasaannya sendiri, yang malah dapat menggemboskan kekuasaan Jokowi sendiri,
yang gejalanya sudah tampak akhir-akhir ini.
Ketiga, Jokowi harus memperkuat
"ikatan batin" dengan rakyat, dengan mengintensifkan komunikasi dan
tindakan-tindakan nyata, yang menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, sebagai
cara meningkatkan kepercayaan mereka. Namun, wujud komunikasi dan tindakan ini
bukan berupa politik populis, yaitu permainan citra untuk membangkitkan
sentimen (palsu) publik, tetapi kebijakan dan tindakan nyata yang berdampak
langsung kepada "batin" rakyat.
Melalui cara itu, kapasitas, relasi,
dan distribusi kekuasaan dapat dibangun lebih konstruktif dan produktif, di
mana Jokowi sebagai pemimpin tertinggi didengar, dipatuhi, dan diikuti para
pembantunya. Bila tidak, rezim ini akan sulit bekerja karena kegaduhan memang
akan meningkatkan produktivitas wacana, tetapi menurunkan produktif kerja.
Padahal, kabinet yang dibangun di dalam rezim ini adalah "kabinet
kerja", bukan "kabinet wacana".
oleh Yasraf Amir Piliang
disadur dari Kompas, Rabu, 16 Maret
2016
Panggung politik bangsa
hari ini menyuguhkan tontonan "kegaduhan" dalam rezim berkuasa. Hal itu
terjadi akibat ketidakmampuan Joko Widodo-sebagai pemimpin tertinggi
negara-membangun kedisiplinan dan kepatuhan para aparatnya.
Berlanjutnya "pertengkaran" di antara para menteri-mulai dari masalah
proyek pembangkit listrik 35.000 MW, impor beras, pesawat Garuda
Indonesia, perpanjangan kontrak Freeport, kereta cepat, hingga kilang
Blok Masela-menunjukkan tingginya intensitas kegaduhan ini.
Berlanjutnya kegaduhan itu menunjukkan tak bekerjanya hierarki kekuasaan
dalam rezim, sehingga garis komando kekuasaan saling bertabrakan,
tumpang-tindih, dan bersilangan satu dan lainnya. Akibatnya, iklim
ketakpatuhan, ketakdisiplinan, dan ketaktaatan dalam relasi kekuasaan
rezim, sebagai penanda degradasi otoritas kekuasaan. Degradasi
ditunjukkan, misalnya, oleh menteri yang berani "melawan" presiden dan
wakil presiden.
Kekuasaan postmodern
Kegaduhan ini akibat kegagalan Jokowi menggunakan "otoritas kekuasaan",
kekuasaan yang sah dan diakui dalam memerintahkan, melarang,
menertibkan, dan mendisiplinkan untuk membangun iklim kepatuhan dalam
rezim. Dengan kata lain, Jokowi tak mampu membangun "karisma" melalui
tindakan nyata, yang melaluinya "kekuasaan simbolik" dikonversikan dan
dimanifestasikan dalam "kekuasaan nyata". "Anomali kekuasaan" ini
membahayakan keberlanjutan rezim karena tak pastinya garis komando
kekuasaan, dan tak jelasnya arah tujuan "kapal" negara-bangsa, lantaran
ketakmampuan nakhoda menavigasi kapal. Rezim kekuasaan yang dikendalikan
banyak pemegang kekuasaan tak saja menimbulkan aneka gesekan politik,
tetapi menguras energi bangsa untuk pertengkaran tak konstruktif bagi
kemajuan bangsa.
Ketakmampuan Jokowi menunjukkan taring kekuasaannya menjadikan kekuasaan
layaknya bola liar, yang dapat dipegang siapa pun. Di sini,
kekuasaan-sebagai kemampuan mengubah "potensi" jadi kenyataan melalui
jalan perubahan-memerlukan pribadi yang memiliki kekuatan, karisma, dan
ketegasan. Tanpa kekuatan itu mustahil Jokowi sebagai pemimpin tertinggi
negara dapat memberantas korupsi, mengentaskan kemiskinan atau membasmi
mafia kejahatan.
Masalah fundamental rezim menyangkut kapasitas, hierarki, dan distribusi
kekuasaan. Pertama, Jokowi tak mampu menciptakan kepatuhan dan
kedisiplinan, karena tak mampu menunjukkan daya dan kekuatan dirinya.
Kedua, ia tak dapat membangun hierarki kekuasaan, yang mendorong
permainan kekuasaan di aneka lapisan subordinat. Ketiga, ia juga tak
mampu membangun distribusi kekuasaan proporsional, sehingga perintah tak
bekerja secara berjenjang.
Dalam praktik demokrasi modern, relasi "kekuasaan riil" cenderung
bersifat hierarkis, dengan garis komando dari atas (top down), meskipun
secara prinsip formal kekuasaan bersifat dari bawah ke atas, yaitu
prinsip "kekuasaan di tangan rakyat" (demos). Hierarki kekuasaan macam
ini menjamin berlangsungnya garis komando yang jelas, berjenjang, dan
sistemik, yaitu siapa memerintah siapa (Boulding, 1989).
Akan tetapi, dalam sistem "demokrasi postmodern", relasi kekuasaan
bersifat nonhierarkis, heterogen, dan tak terpusat, yang memungkinkan
pertarungan terbuka mendapatkan hegemoni kekuasaan. Kondisi ini
dimungkinkan karena "kekuasaan ada di mana-mana" dan rezim kekuasaan
dibangun oleh "multiplisitas relasi kekuasaan", yang di dalamnya tak ada
satu pun pusat kekuasaan yang stabil dan permanen (Foucault, 1984).
Pertanyaannya, apakah Jokowi menerapkan sistem "demokrasi postmodern"
dalam mengelola kekuasaan? Bila benar, ini berarti bahwa pengelolaan itu
dilandasi oleh relasi kekuasaan nonhierarkis, tak terpusat, dan
heterogen; multiplisitas sumber kekuatan, di mana kekuasaan dapat
dimiliki siapa pun dalam posisi apa pun; dan distribusi kekuasaan yang
dinamis dan nonproporsional, yang memungkinkan perintah datang dari mana
pun.
Akan tetapi, sistem kekuasaan postmodern memerlukan kecanggihan
pengetahuan, kemampuan retorika, kelihaian berdebat, dan kekuatan
karisma dalam pertarungan mendapatkan hegemoni, berhadapan dengan "lawan
yang legitimated" (adversary), yang eksistensinya diakui, tetapi
pandangannya dilawan (Mouffe, 1993). Sayangnya, yang saling bertarung di
dalam rezim adalah para pembantunya, Jokowi sendiri tak memiliki
kapasitas untuk terlibat dalam "pertarungan hegemoni" ini.
Di sini, sifat-sifat sederhana, jujur, santun, dan merakyat yang
ditunjukkan Jokowi dalam setiap penampilan dan tindakannya menjadi anti
tesis dari sistem yang ia bangun (atau tak sengaja dibangun). Sistem
kekuasaan yang dibiarkan (atau didesain?) nonhierarkis, tak terpusat,
heterogen, dan nonproporsional jadi bumerang bagi otoritas kekuasaan
Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi negara, yang dapat
mendegradasi atau meruntuhkan legitimasinya.
Restrukturisasi kekuasaan
Kegaduhan dalam rezim kekuasaan dapat terjadi akibat kesenjangan antara
kekuasaan yang legitimated dan kapasitas dalam menggunakan otoritas itu.
Di sini, orang yang memiliki otoritas kekuasaan memerlukan kepatuhan,
tetapi tak selalu orang yang memiliki kekuasaan yang sah dan diakui
dapat menjalankan otoritas itu (Schmitt, 1985). Inilah yang dialami
Jokowi, yaitu kekuasaan yang sah dan diakui yang tanpa kepatuhan.
Ada beberapa faktor penyebab mandulnya otoritas kekuasaan Jokowi.
Pertama, penunjukan para menteri atas dasar kesepakatan politik telah
menyandera otoritas kekuasaannya. Kedua, di dalam rezim pemerintah ada
berbagai pusat kekuasaan tak tampak, yang menghalangi otoritasnya.
Ketiga, orang-orang yang dipilih Jokowi sebagai "bumper' dirinya justru
menunjukkan gestur lebih berkuasa darinya. Keempat, sistem kekuasaan
yang dibiarkan nonhierarkis, merupakan anti tesis dari kepribadian
Jokowi sendiri.
Keempat faktor itu menjadikan upaya memulihkan otoritas kekuasaan Jokowi
menghadapi semacam dilema. Di satu pihak, dalam menegakkan otoritasnya,
Jokowi tak dapat menunjukkan kecanggihan pengetahuan, kelihaian
berdebat, kemampuan retorika, dan kekuatan karisma yang memadai. Di
pihak lain, mengubah kembali sistem kekuasaan nonhierarkis menjadi
hierarkis akan menegasi gaya politiknya sendiri: "egalitarianisme".
Akan tetapi, bagaimanapun, kegaduhan di lingkaran kekuasaan ini harus
dihentikan dan dicarikan jalan keluarnya, bila rezim ini akan berlanjut.
Pertama, perlu dieksplorasi sisi-sisi "karismatik" dari Jokowi sebagai
modal penguatan otoritas agar ia didengar, diikuti, dan dipatuhi para
bawahannya. Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY
memiliki modal masing-masing dalam membangun karisma. Dalam banyak kasus
,"kesederhanaan" dapat dieksplorasi dan dikonversikan sebagai sebuah
kekuatan karismatik, seperti dicontohkan oleh Gandhi, Agus Salim atau
Ahmadinejad.
Kedua, Jokowi dapat memperkuat otoritas kekuasaannya dengan memperkuat
lingkaran kekuasaan yang dimiliki orang- orang di sekitarnya, yang
memiliki karisma dan tepercaya. Namun, lingkaran kekuatan itu tak boleh
partisan dan tak boleh menggelembungkan kekuasaannya sendiri, yang malah
dapat menggemboskan kekuasaan Jokowi sendiri, yang gejalanya sudah
tampak akhir-akhir ini.
Ketiga, Jokowi harus memperkuat "ikatan batin" dengan rakyat, dengan
mengintensifkan komunikasi dan tindakan-tindakan nyata, yang menunjukkan
keberpihakan kepada rakyat, sebagai cara meningkatkan kepercayaan
mereka. Namun, wujud komunikasi dan tindakan ini bukan berupa politik
populis, yaitu permainan citra untuk membangkitkan sentimen (palsu)
publik, tetapi kebijakan dan tindakan nyata yang berdampak langsung
kepada "batin" rakyat.
Melalui cara itu, kapasitas, relasi, dan distribusi kekuasaan dapat
dibangun lebih konstruktif dan produktif, di mana Jokowi sebagai
pemimpin tertinggi didengar, dipatuhi, dan diikuti para pembantunya.
Bila tidak, rezim ini akan sulit bekerja karena kegaduhan memang akan
meningkatkan produktivitas wacana, tetapi menurunkan produktif kerja.
Padahal, kabinet yang dibangun di dalam rezim ini adalah "kabinet
kerja", bukan "kabinet wacana".
YASRAF AMIR PILIANG
Pemikir Sosial dan Kebudayaan
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Maret 2016, di
halaman 6 dengan judul "Anomali Kekuasaan".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar