Ada banyak contoh negara tidak hadir
dan membiarkan rakyat berjuang sendiri melawan penderitaannya.
Salah satunya adalah Gadabung,
sebuah desa eks transmigrasi 1983 di hamparan rawa pasang surut sulfat masam,
di pedalaman Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Dari rezim ke rezim,
selama tiga dekade lebih, siklus kehidupan di desa seluas hampir 2.000 hektar
ini-meminjam amsal Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1981)-menampilkan wujud
kekosongan, hampa. Matra dinamika ekosistem berlangsung dalam sunyi dan
kekelaman.
Tentu saja Gadabung, seperti desa
persawahan lain di Tanah Air, juga dilanda derap revolusi hijau berupa injeksi
teknologi modern: benih unggul, pupuk kimia, pestisida, herbisida, mesin-mesin
pertanian. Namun, semua itu tak cukup mengangkat pola hidup subsisten warganya.
Modernisasi tak selalu membawa kemajuan. Lahan marjinal, rutin menerima
muntahan senyawa pirit dari tanah aluvial sulfidik yang bersifat racun dan
membunuh tanaman, terus merundung sistem produksi padi di sini. Benih padi
hibrida impor juga membawa serta bermacam-macam penyakit hama tanaman.
Dua pertiga penduduk transmigran
yang berjumlah 129 kepala keluarga memilih kabur, lari dari kesulitan hidup
yang menyengat. Sisanya bertahan melawan kerasnya alam dengan berbagai akrobat,
termasuk menjadi kaki tangan pembalakan liar atau buruh di kota-kota terdekat.
Dua musim tanam terakhir,
Perkumpulan Bangun Nusa Berkelanjutan (BNB) secara swadaya berinisiatif
menyosialisasikan galur murni unggul: Mari Sejahterakan Petani (MSP), temuan
pemulia jenius Surono Danu di lahan sawah pasang surut seluas 4.200 hektar di
Gadabung, juga desa tetangganya, Belanti Siam. Dengan pendampingan dan tata
kelola intensif, produktivitas naik pesat dari semula 2,5-3 ton menjadi 6-8 ton
per hektar gabah kering panen (GKP). Peningkatan produktivitas ini mendongkrak
kepercayaan dan optimisme petani untuk fokus mengelola usaha tani dengan terapi
baru.
Gadabung juga menjadi salah satu
pilihan uji multilokasi MSP bersama 15 lokasi lain yang tersebar di delapan
provinsi agar galur unggul harapan ini kelak lolos uji benih, kemudian di-releasesekaligus
beroleh sertifikasi nasional. Jika terealisasi, akan membuat para petani
berkurang ketergantungannya pada benih impor. Ketahanan pangan berpangkal pada
kedaulatan benih. MSP yang telah ditanam petani di banyak daerah Indonesia
selama dua puluh tahun terakhir, terbukti tahan serangan hama, khususnya wereng
batang coklat, hawar daun bakteri, dan blas pada daun dan leher batang padi.
Keunggulan lainnya: tanpa dormansi dan adaptif pada semua jenis lahan dan
agroklimat baik irigasi maupun non-irigasi.
Perubahan
subsidi
Kisah petani Gadabung, sebagaimana
petani Indonesia umumnya, mengirimkan pesan penting berupa keharusan evaluasi
radikal kebijakan pertanian agar tak lagi mengorbankan petani. Peningkatan
produksi tak melulu bersangkut paut dengan teknologi, inovasi, dan program
baru. Pendekatan yang lebih tepat sasaran adalah dengan mengevaluasi ulang
seluruh kebijakan dan praksisnya, sembari membuka peluang yang membangkitkan
gairah besar petani. Ini menghendaki revolusi mind set para pengambil kebijakan dan keberanian keluar dari
jebakan stereotip mendorong produksi dengan mengandalkan intensifikasi (asupan
teknologi modern), berbagai macam subsidi dan regulasi tidak tepat guna.
Dari total lahan pertanian Indonesia
53 juta hektar, hanya 18 persen tergolong subur dan optimal pengelolaannya,
terutama berkat dukungan irigasi teknis. Sebagian besar lahan tergolong
suboptimal bahkan marjinal (tadah hujan, lahan kering, rawa-rawa, pasang surut,
dan lain-lain). Kedaulatan pangan sangat bergantung pada kemampuan mengelola
lahan suboptimal yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Harus ada perubahan kebijakan
berporos peningkatan kesejahteraan petani secara berkesinambungan dan tepat
sasaran. Pemerintah sudah waktunya mengubah alokasi subsidi yang selama ini
digunakan untuk membeli sarana produksi (pupuk, obat-obatan, alat dan mesin
pertanian) yang terbukti tak banyak mendongkrak produktivitas dan malahan terus
menempatkan petani pada posisi tawar rendah. Sebagai pengganti adalah subsidi
harga gabah di tingkat petani yang dibeli setara harga beras. Konsekuensinya,
pemerintah menanggung biaya pengeringan, penggilingan, penyimpanan, pengemasan,
distribusi, dan sekaligus menetapkan harga patokan wajar di tingkat konsumen,
bukan lagi harga dasar gabah di tingkat petani.
Perubahan alokasi subsidi akan
memberikan dampak luar biasa. Pertama, petani berlomba meningkatkan produksi.
Baik sebagai produsen maupun konsumen, petani berhak menikmati harga layak.
Kedua, dengan berbagai cara, indeks pertanaman padi pada lahan suboptimal
dipacu untuk menaikkan frekuensi, dari hanya sekali menjadi dua kali setahun,
sehingga volume produksi melonjak. Ketiga, semua pelaku yang terlibat: produsen
benih, pupuk, obat-obatan, industri alat dan mesin pertanian, pedagang, Bulog,
perbankan, dan petani akan menikmati situasi baru, semuanya diuntungkan.
Hasil akhirnya bukan zero sum game, melainkan positive sum game. Hal ini dampak dari
penciptaan ruang ekspresi sempurna bagi semua pelaku untuk menghasilkan produk
terbaik, saling mendukung, dengan tujuan utama meningkatkan produktivitas dan
beroleh margin keuntungan memadai. Perubahan drastis alokasi subsidi ini tentu
perlu analisis dan perencanaan matang, serta implementasi terukur. Tiongkok,
Thailand, dan sejumlah negara lain telah memberlakukan insentif berupa subsidi
harga khusus untuk padi sebagai komoditas pangan utama. Ketahanan pangan di
kedua negara itu terbukti stabil terhadap ancaman fluktuasi produksi dan harga.
Dalam mengatasi defisit produksi dan
kebutuhan menstabilkan pengadaan beras nasional, resep yang selama ini
dijalankan selalu bertumpu pada dua solusi paralel: intensifikasi dan
ekstensifikasi. Keduanya tak cukup manjur menjawab sejumlah kerentanan, problem
laten yang berulang. Intensifikasi acap terhambat keterbatasan sumber daya
petani, kelangkaan sarana produksi, permainan harga, dan salah alokasi subsidi.
Ekstensifikasi lewat proyek ambisius rice
estate, membuka atau mencetak sawah baru, sering menuai kegagalan.
Setelah swasembada beras 1984,
ketahanan pangan tak pernah lagi mencapai keseimbangan baru yang memastikan
kestabilan dan kesinambungan. Lahan optimal beririgasi teknis sempurna telah
mendekati ambang batas produksi (leveling-off)
dan rawan alih fungsi, terutama di Jawa. Sementara perhatian terhadap lahan-lahan
marjinal yang tersedia amat luas, khususnya areal rawa pasang surut dan lahan
kering, amat minimal bahkan cenderung terabaikan.
Kisah sebutir padi di Gadabung
adalah pergumulan panjang melawan kandungan tinggi sulfat masam, limpasan air
pasang surut, senyawa pirit, hama penyakit, kegagalan uji aneka varietas
berlabel unggul, anomali musim, juga impitan ekspansi korporasi perkebunan
sawit. Kini, revolusi pertanian padi tengah menggeliat di desa itu. Namun,
revolusi ini akan kandas jika kebijakan pertanian tetap tidak menjadikan petani
sebagai subyek utama dalam seluruh siklus produksi.
oleh Suwidi Tono
disadur dari Kompas, Selasa, 15
Maret 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar