Pertengahan tahun 2015 pemerintah
dinilai "gagal paham" terhadap fenomena naiknya harga daging sapi
yang spektakuler sebagai akibat pemangkasan kuota impor. Dampaknya adalah
karut-marutnya bisnis daging sapi.
Kini pemerintah dinilai "sesat
pikir" atas kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2016 yang baru
diluncurkan. Peraturan pemerintah itu tentang Pemasukan Ternak dan/atau Produk
Hewan Dalam Hal Tertentu yang Berasal dari Negara atau Zona Dalam Suatu Negara
Asal Pemasukan. Dikhawatirkan kebijakan ini akan berdampak buruk bagi
peternakan sapi potong dalam negeri.
Peraturan Pemerintah No 4/2016 itu
merupakan salah satu paket kebijakan ekonomi IX yang ditandatangani oleh
Presiden Joko Widodo pada 8 Maret 2016. Namun, kebijakan ini telah direspons
masyarakat peternakan sapi, khususnya di Malang, Jawa Timur, dan Jakarta, pada
17 Maret 2016. Mereka menolak kehadiran daging sapi dari India di pasar
tradisional.
Dalam pengantar yang disampaikan
Menko Perekonomian, dijelaskan bahwa secara khusus kebijakan itu mengarah
kepada pembukaan impor ternak dan produk ternak berdasarkan zona (zona base), bukan lagi mengacu negara (country base). Pemerintah hanya membuka
impor dalam bentuk daging saja untuk mengurangi risiko dari penyakit mulut dan
kuku (PMK).
Langkah pembukaan keran impor
daging, diambil untuk mengendalikan harga yang kerap tidak stabil. Kebijakan
ini merupakan amanat sebagai produk turunan dari UU No 41/2014 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), atas dasar hal tersebut keberadaannya sah
secara yuridis. Selain itu, dalam batang tubuh PP tersebut materinya pun berisi
pengaturan pelaksanaan importasi daging dan sapi yang berasal dari negara
berdasarkan zona yang dilaksanakan oleh BUMN/BUMD.
Apabila kita kaji lebih dalam dari
pengantar Menko Perekonomian, jelas-jelas bahwa kebijakan ini bisa kita sebut
sebagai "sesat pikir pemerintah". Pasalnya, kebijakan ini
sesungguhnya lebih merupakan kebijakan teknis pemasukan ternak sapi/daging yang
tak memiliki pengaruh langsung dan bukannya kebijakan penurunan harga daging
sapi.
Aspek
yuridis
Jika dicermati dari aspek yuridis
terbitnya perpres ini, di mana cantolannya UU No 41/2014 tentang PKH yang
sejatinya masih dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, dalam
implementasinya, tentu akan atau masih harus menunggu keputusan MK.
Seperti diketahui, frasa zona base
yang diuji pada Pasal 59 UU No 18/2009 tentang PKH pada 2009, MK telah memutus
melalui Keputusan Nomor 137/PUU- VII/2009, bahwa materi pasal tersebut
bertentangan dengan UUD 1945. Materi yang sama muncul kembali dalam UU No
41/2014 tentang PKH pada Pasal 36, yang sedang dalam proses uji materi ulang di
MK. Jika saja MK mengabulkan permohonan uji materi tersebut, dengan sendirinya
PP ini tidak akan berlaku.
Selanjutnya, secara sosiologis dan
teknis materi dari batang tubuh PP ini, ternyata hanya mengatur dari aspek
teknis tata cara masuknya komoditas sapi/ daging sapi serta proses
distribusinya diatur oleh kelembagaan yang diserahkan kepada BUMN/BUMD. Apabila
materi ini dianalisis, penulis sangat yakin kebijakan tersebut tidak akan
memberikan dampak langsung atau pengaruh terhadap perubahan harga daging sapi.
Pasalnya, harga daging sapi dapat
terbentuk atas tiga hal pokok. Pertama, dalam situasi pasar persaingan
sempurna, harga terbentuk melalui mekanisme pasar, di mana kekuatannya
tergantung kepada ketersediaan dan kemampuan daya beli konsumen.
Kedua, harga dapat dikendalikan atas
dasar intervensi kebijakan pemerintah. Jika kebijakan kedua ini akan digunakan
sebagai pengendali harga daging, seharusnya PP tersebut mengatur dengan jelas
mengenai pola intervensinya.
Ketiga, bahwa harga dapat dibentuk
dengan kekuatan penentuan kebijakan pemerintah, seperti contoh kebijakan
Pemerintah Malaysia yang membuat harga daging sapi murah, yang selama ini diacu
Presiden Jokowi. Kenyataannya, harga daging sapi di Indonesia sepenuhnya
diserahkan kepada mekanisme pasar.
Kebijakan
impor
Apabila dilihat materi distribusi
selanjutnya terhadap upaya impor daging, hal ini ternyata akan terkendala oleh
kebijakan impor daging yang telah ada, yaitu bahwa importasi daging hanya untuk
daging industri yang boleh masuk ke pangsa pasar hotel, restoran, dan katering
(horeka) dan industri daging, sementara pasar tradisional yang merupakan pasar
konsumen rumah tangga dilindungi Permendag No 46/2013 Pasal 17.
Sesungguhnya, kebijakan perlindungan
pasar becek bagi pangsa pasar daging lokal sudah tepat. Jika kebijakan itu
diintervensi tentu yang akan dirugikan adalah peternak sapi potong rakyat. Hal
inilah yang mengundang respons negatif dari para peternak sapi potong rakyat,
yang merasa khawatir bahwa pangsa pasarnya akan didistorsi oleh kebijakan impor
tersebut.
Sesungguhnya kebijakan penurunan
harga daging sapi, harus dimulai dengan upaya peningkatan produksi dalam
negeri, bukannya hanya mengutak-atik kebijakan importasi. Kebijakan ini harus
dituangkan melalui grand strategy
yang jelas terukur direalisasikan dalam program operasional yang terstruktur
dan komprehensif.
Selain itu, akar masalah karut-marut
kebijakan pengembangan sapi selama ini sesungguhnya berawal dari data yang
tidak akurat, karenanya perlu pendekatan metodologi analisis yang mampu
mengeliminasi kelemahan data tersebut. Dengan demikian, kebijakan yang
dilahirkan sesuai dengan harapan dan tujuan pembangunan. Semoga.
oleh Rochadi Tawaf
Kompas edisi 28 Maret 2016, di
halaman 7 dengan judul "Sesat Pikir Kebijakan Sapi".
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar