Harapan
supaya harga daging sapi lebih terkendali menjelang Lebaran, sepertinya sulit
tercapai. Selain karena permintaan yang sedang tinggi-tingginya, keinginan
untuk membanjiri pasar dengan daging impor, ternyata tidak semudah membalikkan
tangan.
Demi
menekan harga daging sapi menjadi Rp80.000 per kg, pemerintah sebenarnya sudah
mengerahkan sejumlah BUMN yaitu Perum Bulog, PT Berdikari, PT Perusahaan
Perdagangan Indonesia, dan perusahaan BUMD milik DKI Jakarta, PD Darma Jaya untuk
melakukan importasi daging.
Bulog
ditugaskan untuk mengimpor daging jenis jeroan, daging industri, dan daging
variasi, yang harganya memang relatif murah sehingga memungkinkan dijual dengan
harga di bawah Rp80.000 per kilogram.
Di
sisi lain, PT Berdikari ditugaskan untuk mengimpor daging karkas dan daging
potongan sekunder yang harganya lebih mahal dan butuh waktu lebih panjang untuk
menyediakannya. Oleh karena itu, PT Berdikari menyiasati dengan menggelontorkan
stok sapi lokal terlebih dahulu.
Akan
tetapi sekitar dua minggu menjelang Lebaran, volume daging impor masih kecil.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis
hingga akhir pekan lalu, Bulog baru merealisasikan impor 2.050 daging dari
total izin impor 20.000 ton. Realisasi impor PT Berdikari yaitu 240 ton dari
keharusan realisasi 5.000 ton, PD Darma Jaya sebesar 40 ton dari izin 270 ton,
sedangkan PPI baru merealisasikan impor 4 ton daging dari izin 29.300 ton.
Akibat
dari rendahnya realisasi impor daging yang ditugaskan pada perusahaan-perusahaan
BUMN, harga daging memasuki pekan ketiga bulan suci Ramadan, masih bertengger
stabil di atas Rp110.000 per kg. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan
rerata harga daging di tingkat nasional masih Rp114.630 per kilogram, sedangkan
rerata harga di Jakarta Rp116.829 per kilogram.
Data
yang sama menunjukkan rerata harga daging di Jakarta tidak menunjukkan
pergerakan signifikan sejak awal Juni ini yaitu di level sekitar
Rp115.000-Rp116.000 meski impor daging dibuka dan pihak swasta dilibatkan untuk
mengguyur pasar dengan stok mereka.
IZIN IMPOR TELAT
Ketua
Asosiasi Importir Daging Sapi Indonesia (Aspidi) Thomas Sembiring menyebut
pemerintah cenderung lamban dalam mengeluarkan izin impor daging yang ditujukan
menurunkan harga komoditas itu selama bulan puasa.
Hal
tersebut menyebabkan lembaga yang ditugaskan untuk mengimpor daging sapi,
misalnya BUMN, kesulitan mencari pasokan. Belum lagi, di negara-negara pemasok
daging seperti Australia dan Selandia baru, di masa-masa tertentu memang sedang
tidak panen daging sapi.
“Ini
izinnya saja baru keluar Mei. Untuk dapat mencari daging dengan harga bagus itu
paling tidak izinnya maksimal 2 bulan sebelumnya, paling aman ya 4 bulan
sebelumnya,” ujar Thomas.
Dia
menjelaskan banyak prosedur yang harus ditempuh importir untuk dapat
merealisasikan impor daging, seperti penjajakan penyuplai hingga jadwal
keberangkatan kapal dari negara pengekspor. Untuk itu, diperlukan perencanaan
yang baik untuk dapat merealisasikan impor daging tepat waktu.
Ketua
Komisi Tetap Budidaya Peternakan dan Kemitraan Kadin Yudi Guntara Noor menilai
seharusnya pemerintah mengantisipasi daging sapi untuk memenuhi kebutuhan
Ramadan dengan terlebih dulu menggemukkan sapi bakalan impor minimal 4
bulan setelah karantina.
"Jadi
semestinya pemerintah melakukan penggemukan pada kuartal I/2016 lalu, jadi
harga bisa stabil," ujarnya di Bandung, Jumat (17/6).
Sementara
itu, Menteri Pertanian Amran Sulaiman kian intens mendekati kalangan swasta
untuk dapat memasok daging baik melalui operasi pasar maupun bekerjasama dengan
Toko Tani Indonesia yang dikoordinatori pemerintah.
Menteri
Pertanian Amran Sulaiman memastikan total 8.110 ton daging sapi akan siap
dipasok swasta ke pasar melalui operasi pasar. Angka itu setara dengan 47.000
ekor sapi.
Apakah
harga daging sapi menjelang Lebaran bisa dikendalikan, apalagi hingga Rp80.000
per kg sebagaimana diinginkan Presiden Jokowi? Rasa-rasanya harapan itu sulit
tercapai.
disadur
dari Bisnis, Selasa, 21 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar