Terjadinya pembongkaran ikan impor
asal China di Pelabuhan Tanjung Priok pertengahan Juni 2016 menimbulkan tanda
tanya besar bagi publik. Pasalnya, pemerintah Indonesia lewat Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) mengklaim bahwa sumber daya ikan di perairan kita
saat ini melimpah ruah. Ini berlangsung pasca KKP memoratorium kapal ikan eks
asing dan transhipment di tengah laut, melarang penggunaan alat tangkap pukat
hela dan pukat tarik.
Ironisnya, ikan impor itu jenisnya
tuna sirip kuning (Thunnus albacores) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang
kerap ditangkap nelayan di Indonesia. Mesti dicek, jangan sampai ikan impor
asal China ini hasil illegal fishing di Indonesia yang diangkut dari
proses transhipment? Muncul pertanyaan, mengapa keran impor dibuka?
Beragam argumentasinya. Mulai dari minimnya rantai pasok dingin dan kapal
pengangkut ikan dari sentra penangkapan ikan, hingga minimnya pasokan bahan
baku industri perikanan. Apa masalahnya demikian?
Kebijakan KKP
Soal kekurangan bahan baku
berlangsung semenjak 2001 yang hanya dipasok secara nasional 67%. Sisanya
impor. Kebijakan KKP memoratorium kapal ikan eks asing dan transhipment di
tengah laut, melarang penggunaan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik dan
lainnya, tak lain bertujuan menjaga kedaulatan nasional atas sumber daya ikan.
Menjamin keberlanjutannya sehingga berujung mensejahterakan rakyat (terutama
nelayan).
Imbasnya perikanan melimpah dan
mengurangi ketergantungan impor. Dampaknya; pertama, merosotnya kejahatan
pencurian ikan di perairan Indonesia dan ekspor ilegal yang merugikan negara
triliunan rupiah. Kasus ekspor ilegal saja dalam publikasi riset Pramod et all
(2011) mencatat ekspor Indonesia ke AS rata-rata setiap tahunnya mencapai
20%-30% dibandingkan yang resmi. Jenis ikannya, tuna (20%-35%), kepiting
(20%-45%) dan ikan kakap (35%-50%). Dapat dibayangkan berapa kerugian negara
dari kejahatan perikanan semacam ini. Baru pada 2014, KKP mulai bertindak tegas
terhadap pelaku kejahatan perikanan ini lewat penenggelaman kapal pencuri ikan.
Kedua, meningkatkan kelimpahan ikan
pasca moratorium eks kapal asing yang ditandai dengan membaiknya daerah
penangkapan ikan. Faktanya, ikan kian mendekati garis pantai dan memasuki
perairan beberapa teluk, misalnya ikan tuna kian mudah ditangkap nelayan di
Teluk Ambon dan Teluk Tomini. Bahkan hiu paus jenis ikan yang sensitif terhadap
kondisi ekosistem ekstrem--pun beruaya (migrasi) di Teluk Jakarta dan Teluk
Ambon. Artinya, secara teori biologi laut makanan ikan terutama plankton
melimpah dan siklus metabolisme alam di perairan mengalami pemulihan.
Amat berbeda dengan satu dekade
sebelumnya, menemukan fenomena semacam ini. Mengapa? Karena, perilaku ikan
berupaya ke perairan pesisir, memasuki teluk maupun selat untuk mencari makan
dan bermigrasi dihadang kapal-kapal ikan ilegal dan eks asing yang
menangkapinya, termasuk yang berukuran kecil.
Ketiga, porsi investasi domestik
dalam bidang perikanan (PMDM) dalam dua tahun terakhir berangsur-angsur
meningkatsignifikan. Jika pada 2014 investasi PMA 94,21% turun menjadi 86,74%,
sementara PMDN meningkat dari 6,79% pada 2014 menjadi 14,28% pada 2015
(BKPM/PK2PM, 2015). Artinya, investasi domestik dalam bidang perikanan berkembang
pesat.
Keempat, laporan Bank Indonesia 2015
mencatat bahwa pasokan bahan baku perikanan cenderung meningkat semenjak
berlakunya kebijakan KKP awal 2015. Kala triwulan IV 2014, nilainya mencapai
81,84%. Lalu, memasuki triwulan I 2015 anjlok jadi 61,75 %. Namun, memasuki
triwulan II, III dan IV melonjak signifikan masing-masing 76,93%, 74,44%, dan
74,50% (BI, 2015). Berarti pasokan bahan baku industri perikanan sejatinya
mencukupi. KKP mencatat juga bahwa produksi perikanan pada 2015 terus meningkat
dari triwulan I (4,3 juta ton), triwulan II (9,20 juta ton) dan triwulan III
menjadi 15,35 juta ton) (KKP, 2015).
Kelima, neraca perdagangan sektor
perikanan mengalami surplus US$3,01 miliar tahun 2015. Sementara triwulan I
2016 sudah surplus US$621.256.218. Artinya, kebijakan-kebijakan radikal KKP
berdampak positif bagi neraca perdagangan sektor perikanan sehingga mendongkrak
kontribusi PDB-nya terhadap PDB Nasional. Tercatat, triwulan III-2014 6,8% naik
menjadi 8,37% pada triwulan III-2015 dan akhir 2015 mencapai 8,9% sehingga
melampaui rata-rata PDB nasional 2014-2015 (KKP, 2015).
Keenam, kebijakan KKP menurunkan
ekspor ikan negara-negara ASEAN yang kerap kali mencuri ikan di perairan
Indonesia. Periode Januari-September 2015 ekspor tuna Thailand ke USA merosot
17,36% dan dari Pilipina 32,59% dibandingkan periode yang sama 2014.
Sebaliknya, ekspor Indonesia justru meningkat drastis yaitu periode
Januari-Agustus 2015 melonjak 7,73% dibandingkan periode sama 2014
(US-Comtrade, 2015).
Ketujuh, meningkatnya persentasi
stok sumber daya ikan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP), antara lain Selat
Malaka dan Laut Andaman (pelagis besar 19,61 % dan udang 25,16 %), Samudera
Hindia Sumatra, dan Selat Sunda (udang 69%), Selat Karimata, Laut Natuna dan
Laut Cina Selatan (pelagis besar 72,06% dan udang 11,44%). Lalu Samudra Hindia
selatan Jawa hingga selatan NTT, Laut sawu dan Laut Timor bagian barat (pelagis
besar 9,28% dan udang 100%). Serta Teluk Aru, laut Arafura, dan Laut Timor
bagian utara (pelagis kecil 16,54%, dan udang 34,60%).
Merujuk fakta empiris di atas,
membuktikan kebijakan KKP selama ini berimbas signifikan dalam mengelola dan
memulihkan sumber daya perikanan secara berkelanjutan, hingga berkontribusi
bagi perekonomian nasional. Menjadi anomali di tengah membaiknya pengelolaan
sumber daya ikan, tiba-tiba pemerintah membuka keran impor ikan. Apakah
data-data empiris ini benar adanya atau hanya tertulis di atas kertas?
Langkah pemerintah
Langkah pemerintah lewat KKP dan
Kementerien Perdagangan (Kemendag) yang mesti dilakukan terkait kebijakan impor
ikan, pertama, memastikan betul akar masalah struktural dan kulturalnya yang
membuat kran impor dibuka saat ini. Apakah problemnya memang rantai pasok
dingin (logistik), minimnya kapal pengangkut ikan atau pasokan bahan baku
industri memang kurang? Ataukah, problem data supply and demand ikan
yang karut marut hingga akurasinya rendah.
Kedua, KKP dan instansi terkait
mesti melacak, apakah ada problem ekonomi politik yang beraroma mendelegitimasi
kebijakan KKP hingga memaksanya mengimpor ikan? Umpamanya, melacak market
inteligent kita terkait data ekspor-impor ikan. Sebab, jangan sampai
keterpaksaan mengimpor ikan akibat terlalu mengenjot ekspor yang secara
konstitusional melanggar perintah UU Perikanan No 45/2009. Sebab, UU ini
memerintahkan untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan konsumsi nasional
dahulu baru ekspor (Pasal 25B ayat 2).
Ketiga, dalam kasus ini, pemerintah
(KKP dan Kemendag) memastikan jenis ikan, asal negara, jumlah dan nilainya,
serta batasan waktu membuka kran impor hingga menutupnya kembali. Apakah
kebijakan impor bersifat inkremental atau selamanya? Jika KKP tidak melakukan
langkah-langkah ini secara objektif dan jujur, bakal menimbulkan polemik dan
kegaduhan baru di ruang publik yang mendelegitimasi kebijakan-kebijakannya yang
sudah berada pada rel yang tepat.
oleh Muhamad Karim
disadur dari Media Indonesia, Sabtu, 18 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar