Editors Picks

Minggu, 26 Juni 2016

Paradoks Intelijen Kemenhan



Langkah taktis Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya yang membubarkan 10 lembaga nonstruktural (akan ditambah 40 lembaga nonstruktural lain) dapat banyak apresiasi. Langkah tersebut, selain menghemat anggaran, juga merampingkan birokrasi yang pada ujungnya membuat pelayanan kepada rakyat menjadi lebih mudah, cepat, dan baik.

Namun, seiring berjalannya waktu, semangat tersebut mulai mengendur dengan lahirnya beberapa institusi baru yang mubazir dan menjadi paradoks dengan kebijakan sebelumnya. Salah satunya adalah kebijakan baru Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang akan membentuk Badan Intelijen Pertahanan. Dalam logika  Menhan, badan ini dibentuk untuk mendapatkan berbagai informasi sebagai landasan pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan strategis.

Kebijakan vs operasional
Jika merujuk pada tugas Kementerian Pertahanan, acuan utama adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pada Pasal 16 (Ayat 1 sampai 7) UU No 3/2002 itu, dengan jelas dinyatakan bahwa tugas utama Menteri Pertahanan adalah membuat kebijakan. Dengan demikian, terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan membuat kebijakan dan yang menyelenggarakan.

Dalam menghadapi ancaman militer, Menhan hanya sebagai pembuat kebijakan. Adapun penyelenggaranya atau operasionalnya dilakukan oleh  Panglima TNI. Sementara dalam menghadapi ancaman nonmiliter, Kemenhan hanya pembuat kebijakan, sedangkan penyelenggaranya atau operasionalnya dilakukan oleh lembaga atau kementerian terkait sesuai dengan bentuk ancaman.

Maka, sejak berlakunya UU ini, berakhir pula jabatan Menhankam/Pangab yang sebelumnya memegang kewenangan sebagai pembuat kebijakan dan penyelenggara atau operasionalnya. Atas dasar ini pula, turunannya-termasuk peran intelijennya-disesuaikan dengan kewenangan Menhan, yaitu hanya sebagai "analis" informasi untuk kemudian dijadikan kebijakan pertahanan negara. Informasi yang dibutuhkan oleh para analis ini tidak dicari sendiri, tetapi diminta dan disuplai dari badan intelijen yang ada, yakni dari para operator lapangan, di antarnya Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais), dan Atase Pertahanan (Athan).

Oleh karena "intelijen" di Kemenhan itu hanya berupa analis, organisasinya bernama Direktorat Jenderal Strategi Pertahanan (Dirstrahan). Jangan karena tim di direktorat ini kering alias kesulitan mendapatkan pasokan suplai informasi lantas Kemenhan berkeinginan melakukan tugas operasional dengan memiliki badan intelijen sendiri: itu sama saja telah keluar dari kodratnya sebagaimana yang diamanatkan oleh UU.

Menyadari bahwa sebagai pembuat kebijakan tidak mungkin memiliki badan intelijen sendiri, dibuatlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2015  tentang Kementerian Pertahanan. Pada perpres ini, tugas Menhan atau Kemenhan yang sebelumnya sebagai pembuat kebijakan diubah menjadi "operasional" menyelenggarakan pertahanan negara.

Pada Pasal 2 perpres tersebut berbunyi: "Kementerian Pertahanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara."  Atas dasar inilah, Kemenhan mempunyai dasar atau legitimasi untuk menjalankan tugas melakukan intelijen sehingga akan melahirkan Badan Intelijen Pertahanan.

Namun, amat disayangkan, lahirnya Perpres No 58/2015 menimbulkan konsekuensi serius. Pertama, tabrakan kewenangan antara Kemenhan dan TNI. Sebagai sesama 'operator' atau penyelenggara pertahanan negara, TNI yang mendapatkan mandat berdasar UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) merasa punya hak yang sama dengan Kemenhan.

Tidak hanya dalam hal operasional, dalam penganggaran pun akan menyebabkan benturan. UU No 34/2004 mewajibkan anggaran belanja TNI disalurkan dan diurus oleh Kemenhan. Namun, dalam Perpres No 58/2015 tidak ada satu pasal pun yang memberikan kewenangan kepada Kemenhan untuk menentukan anggaran belanja TNI.

Jika kemudian Presiden mendiamkan benturan aturan ini, pada dasarnya kita kembali ke era Menhankam/Pangab karena Menhan telah menjadi penyelenggara dan operasional. Dengan demikian, TNI tunduk kepada Menhan. Padahal, TNI harus dipimpin oleh jenderal aktif.

Kedua, benturan tak hanya dengan TNI, tetapi juga dengan kementerian atau lembaga lainnya. Kalimat "menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan" menjadi multitafsir karena Kemenhan bisa menafsirkan sendiri makna tugas ini. Akibatnya, tabrakan dengan lembaga atau kementerian lainnya pun akan terjadi, termasuk di dalamnya tabrakan di bidang intelijen. Tentunya ini sangat berbahaya.

Ketiga, terjadinya pemborosan uang negara. Pada saat pemerintah sedang berupaya merasionalisasikan pegawai negeri agar tidak membebani negara, lahirnya badan baru pasti menimbulkan biaya yang tidak sedikit.

Harmonisasi
Dari fakta di atas, langkah yang paling tepat adalah berjalan pada rel konstitusi. Merujuk UU No 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan, dinyatakan bahwa kedudukan hukum UU adalah lebih tinggi daripada peraturan presiden. Oleh karena itu, mengingat Perpres No 58/2015 kedudukannya lebih rendah daripada UU, perlu harmonisasi terhadap aturan yang ada.

Mengingat tugas dan peran intelijen yang sangat khas, jangan hanya melihat tugas ini hanya dalam perspektif yang sempit. Munculnya tabrakan antarintelijen akan menimbulkan dampak yang begitu dahsyat. Jangan sampai musuh akan bertepuk tangan kegirangan melihat adegan aneh ini.

oleh Soleman B Ponto
disadur dari Kompas, Senin, 20 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar