Langkah taktis Presiden Joko Widodo
di awal pemerintahannya yang membubarkan 10 lembaga nonstruktural (akan
ditambah 40 lembaga nonstruktural lain) dapat banyak apresiasi. Langkah
tersebut, selain menghemat anggaran, juga merampingkan birokrasi yang pada
ujungnya membuat pelayanan kepada rakyat menjadi lebih mudah, cepat, dan baik.
Namun, seiring berjalannya waktu,
semangat tersebut mulai mengendur dengan lahirnya beberapa institusi baru yang
mubazir dan menjadi paradoks dengan kebijakan sebelumnya. Salah satunya adalah
kebijakan baru Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang akan
membentuk Badan Intelijen Pertahanan. Dalam logika Menhan, badan ini
dibentuk untuk mendapatkan berbagai informasi sebagai landasan pengambilan
keputusan dan pembuatan kebijakan strategis.
Kebijakan vs operasional
Jika merujuk pada tugas Kementerian
Pertahanan, acuan utama adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang
Pertahanan Negara. Pada Pasal 16 (Ayat 1 sampai 7) UU No 3/2002 itu, dengan
jelas dinyatakan bahwa tugas utama Menteri Pertahanan adalah membuat kebijakan.
Dengan demikian, terdapat pemisahan yang jelas antara kewenangan membuat
kebijakan dan yang menyelenggarakan.
Dalam menghadapi ancaman militer,
Menhan hanya sebagai pembuat kebijakan. Adapun penyelenggaranya atau
operasionalnya dilakukan oleh Panglima TNI. Sementara dalam menghadapi
ancaman nonmiliter, Kemenhan hanya pembuat kebijakan, sedangkan
penyelenggaranya atau operasionalnya dilakukan oleh lembaga atau kementerian
terkait sesuai dengan bentuk ancaman.
Maka, sejak berlakunya UU ini,
berakhir pula jabatan Menhankam/Pangab yang sebelumnya memegang kewenangan
sebagai pembuat kebijakan dan penyelenggara atau operasionalnya. Atas dasar ini
pula, turunannya-termasuk peran intelijennya-disesuaikan dengan kewenangan
Menhan, yaitu hanya sebagai "analis" informasi untuk kemudian
dijadikan kebijakan pertahanan negara. Informasi yang dibutuhkan oleh para
analis ini tidak dicari sendiri, tetapi diminta dan disuplai dari badan
intelijen yang ada, yakni dari para operator lapangan, di antarnya Badan
Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen Strategis (Bais), dan Atase Pertahanan
(Athan).
Oleh karena "intelijen" di
Kemenhan itu hanya berupa analis, organisasinya bernama Direktorat Jenderal
Strategi Pertahanan (Dirstrahan). Jangan karena tim di direktorat ini kering
alias kesulitan mendapatkan pasokan suplai informasi lantas Kemenhan
berkeinginan melakukan tugas operasional dengan memiliki badan intelijen
sendiri: itu sama saja telah keluar dari kodratnya sebagaimana yang diamanatkan
oleh UU.
Menyadari bahwa sebagai pembuat
kebijakan tidak mungkin memiliki badan intelijen sendiri, dibuatlah Peraturan
Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun 2015 tentang Kementerian Pertahanan.
Pada perpres ini, tugas Menhan atau Kemenhan yang sebelumnya sebagai pembuat
kebijakan diubah menjadi "operasional" menyelenggarakan pertahanan
negara.
Pada Pasal 2 perpres tersebut
berbunyi: "Kementerian Pertahanan mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang pertahanan untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara." Atas dasar inilah, Kemenhan
mempunyai dasar atau legitimasi untuk menjalankan tugas melakukan intelijen sehingga
akan melahirkan Badan Intelijen Pertahanan.
Namun, amat disayangkan, lahirnya
Perpres No 58/2015 menimbulkan konsekuensi serius. Pertama, tabrakan kewenangan
antara Kemenhan dan TNI. Sebagai sesama 'operator' atau penyelenggara
pertahanan negara, TNI yang mendapatkan mandat berdasar UU No 34/2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) merasa punya hak yang sama dengan Kemenhan.
Tidak hanya dalam hal operasional,
dalam penganggaran pun akan menyebabkan benturan. UU No 34/2004 mewajibkan
anggaran belanja TNI disalurkan dan diurus oleh Kemenhan. Namun, dalam Perpres
No 58/2015 tidak ada satu pasal pun yang memberikan kewenangan kepada Kemenhan
untuk menentukan anggaran belanja TNI.
Jika kemudian Presiden mendiamkan
benturan aturan ini, pada dasarnya kita kembali ke era Menhankam/Pangab karena
Menhan telah menjadi penyelenggara dan operasional. Dengan demikian, TNI tunduk
kepada Menhan. Padahal, TNI harus dipimpin oleh jenderal aktif.
Kedua, benturan tak hanya dengan
TNI, tetapi juga dengan kementerian atau lembaga lainnya. Kalimat
"menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan" menjadi
multitafsir karena Kemenhan bisa menafsirkan sendiri makna tugas ini.
Akibatnya, tabrakan dengan lembaga atau kementerian lainnya pun akan terjadi,
termasuk di dalamnya tabrakan di bidang intelijen. Tentunya ini sangat
berbahaya.
Ketiga, terjadinya pemborosan uang
negara. Pada saat pemerintah sedang berupaya merasionalisasikan pegawai negeri
agar tidak membebani negara, lahirnya badan baru pasti menimbulkan biaya yang
tidak sedikit.
Harmonisasi
Dari fakta di atas, langkah yang
paling tepat adalah berjalan pada rel konstitusi. Merujuk UU No 12/2011 tentang
Pembentukan Aturan Perundangan, dinyatakan bahwa kedudukan hukum UU adalah
lebih tinggi daripada peraturan presiden. Oleh karena itu, mengingat Perpres No
58/2015 kedudukannya lebih rendah daripada UU, perlu harmonisasi terhadap
aturan yang ada.
Mengingat tugas dan peran intelijen
yang sangat khas, jangan hanya melihat tugas ini hanya dalam perspektif yang
sempit. Munculnya tabrakan antarintelijen akan menimbulkan dampak yang begitu
dahsyat. Jangan sampai musuh akan bertepuk tangan kegirangan melihat adegan
aneh ini.
oleh Soleman B Ponto
disadur dari Kompas, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar