Galibnya, beriman itu hanya kepada Tuhan, dzat mutlak
yang wajib disembah dan dimintai pertolongan. Namun, ada kecenderungan lain
pada orang-orang modern: beriman pada yang selain Tuhan, baik yang bersifat
bendawi (tangible) maupun tak bendawi
(intangible).
"Beriman" kepada benda, misalnya menyembah
konsumerisme. Adapun beriman pada tak benda, salah satunya adalah mengabdi pada
hiburan demi keuntungan. Lihatlah tayangan di televisi swasta selama bulan
Ramadhan. Hampir 90 persen didominasi hiburan, baik lawak, sinetron, variety show, kuis, maupun musik yang
digeber dari magrib hingga sahur (subuh). Sisanya berupa pengajian, dakwah, dan
features bernuansa agama.
Mereka yang punya sikap kritis pasti lelah dan bosan pada
tayangan hiburan itu, yang intinya cuma guyon atau mengeksploitasi kedangkalan.
Jika ada yang berbeda dari guyonan sebelum Ramadhan, hanyalah pada kostum yang
digunakan para artis yang kini lebihbrukut (rapat, tertutup dengan aksesori
formal-agamis). Padahal, sebelum Ramadhan, dandanan dan gaya berkostum mereka
cenderung tak seronok, mengumbar sensualitas.
Industri hiburan harus luwes, fleksibel, dan kompromis
pada tuntutan pasar. Maka, para penghibur pun wajib meniru sifat bunglon, mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Ketika pasar menghendaki berbagai
citraan bernuansa "religius", industri hiburan pun harus
"religius" meskipun semua itu tak ada hubungannya dengan religiositas
dalam makna yang sesungguhnya. Mereka sekadar patuh memenuhi selera pasar demi
meraup keuntungan. Bagi para saudagar, apa pun harus bisa dijual.
Tentu saja euforia hiburan di televisi swasta yang
memanfaatkan Ramadhan itu menjadi ironi yang menyedihkan ketika hal itu
dikaitkan dengan spirit puasa Ramadhan yang menekankan asketisme, pengendalian
diri, refleksi, evaluasi spiritual, dan mesu budi(penajaman akal budi dan
batin). Industri hiburan di televisi swasta justru mereproduksi berbagai sajian
yang berlawanan dengan spirit puasa Ramadhan. Ibaratnya, di tengah orang-orang
yang sedang "bertapa" dan bertafakur, mereka justru menghadirkan
teater kebodohan atas nama kepentingan kuasa modal dan keuntungan.
Kenapa dunia hiburan di televisi swasta tidak memberi
ruang pada produser dan desainer program yang cerdas, visioner, serta mau
sedikit kerja keras untuk membuat paket acara yang lebih bermutu? Ukuran acara
bermutu tentu saja berbasis pada etika, estetika, dan logika.
Pertanyaan yang serupa juga berlaku pada produsen, para
pemasang iklan. Apakah dari mereka tidak ada yang punya pandangan ideal tentang
publik? Bahwa, publik itu layak diberi asupan gizi intelektual, emosional, dan
spiritual melalui berbagai sajian yang mencerminkan nilai-nilai budaya dan keadaban.
Tidak tunggal
Sejak era analog hingga digital, problem dunia hiburan di
negeri ini masih klasik. Yakni, pandangan tunggal dari pemilik modal dan
kreator yang menganggap publik selalu berselera dan punya cita rasa rendah.
Implikasi pandangan ini adalah: (1) ketakutan memproduksi karya bermutu karena
khawatir tidak laku; dan (2) menyerah pada selera massa dengan memproduksi
karya-karya kurang bermutu.
Yang perlu diyakini adalah publik penonton televisi tidak
tunggal, karena itu selera dan cita rasa mereka juga beragam. Karya bermutu pun
selalu mendapat ruang dan apresiasi publik. Ada banyak contoh acara televisi
yang bermutu sekaligus laku, sebut saja misalnya Si Doel Anak Sekolahan (karya
sutradara Rano Karno dengan skenario Harry Tjahyono), Bajai Bajuri, lawak
Srimulat, film televisi Anak Seribu Pulau(Garin Nugroho, dkk) serta sinetron
religius Para Pencari Tuhan (Deddy Mizwar, dkk).
Setiap kreator selalu dituntut untuk menjawab tantangan
kreatif karena mereka adalah anak zaman. Di negeri ini selalu lahir para
kreator baru, muda, dan segar serta memiliki cara pandang yang berbeda dengan
generasi sebelumnya. Pertanyaannya, apakah mereka mendapatkan ruang ekspresi
atau tidak?
Media televisi memiliki posisi dan makna strategis di
dalam memperkuat civil society. Media ini hadir setiap detik di ranah publik,
bukan sekadar jadi wahana penyampai pesan, melainkan sudah menjadi pesan itu
sendiri.
Posisi televisi kini sudah menjadi mentor, guru
masyarakat. Kita tidak bisa membayangkan mutu produk didikannya jika sang
mentor hanya mengeksploitasi kedangkalan alias selera rendah. Mestinya, media
televisi menjadi bagian penting untuk dimasukkan di dalam RUU Kebudayaan
sehingga ada regulasi baginya. Mutu peradaban bangsa kita, salah satunya,
ditentukan oleh televisi.
oleh Indra Tranggono
disadur dari Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar