Sesungguhnya sering dilontarkan
peringatan tentang risiko perubahan iklim dan kemungkinan terjadinya bencana di
Tanah Air. Akan tetapi, entah karena apa, kita cenderung kurang responsif atau
bahkan mengabaikannya, dan baru sadar tatkala bencana tiba-tiba datang
menyergap.
Belum kering air mata keluarga
korban bencana dan belum usai pula upaya penanganan bencana yang terjadi di
Provinsi Jawa Tengah, kini kembali kita dikejutkan oleh kejadian bencana yang
terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Manado, Sulawesi Utara.
Bencana banjir dan tanah longsor
yang terjadi di Sulawesi Utara dan Jawa Tengah ini bukan saja tidak terduga
karena terjadi menjelang memasuki musim kemarau, melainkan juga memprihatinkan
karena dilaporkan ada sejumlah korban tewas. Badan SAR Nasional (Basarnas)
merilis data sementara jumlah korban tewas akibat banjir dan tanah longsor di
Sangihe berjumlah empat orang. Sementara di Jawa Tengah, korban bencana
tercatat sebanyak 40 jiwa tewas dan minimal enam orang luka-luka akibat terkena
longsoran, serta sembilan warga belum ditemukan alias masih hilang. Artinya,
tidak mustahil jumlah korban tewas akan bertambah lagi karena hingga saat ini
pencarian dan evakuasi terhadap korban bencana terus dilakukan.
Faktor penyebab
Faktor penyebab terjadinya banjir
dan tanah longsor seperti yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia sudah
barang tentu sangat kompleks. Akan tetapi, dari berbagai faktor penyebab yang
bisa diidentifikasi, anomali cuaca dan perubahan iklim dunia yang terjadi
sesungguhnya adalah biang kerok yang seharusnya paling bertanggung jawab
terhadap kejadian bencana di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Tanah
Air.
Ada sejumlah faktor penyebab
terjadinya bencana di Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan beberapa daerah lain di
Indonesia. Pertama, perubahan iklim selain dapat meningkatkan siklus air
sehingga mengubah aliran sungai di berbagai belahan dunia dalam hal jumlah,
waktu, distribusi musiman, kualitas air, dan ekosistem, yang tak kalah
mencemaskan perubahan iklim juga menyebabkan terjadinya banjir karena kenaikan
permukaan air laut dan luapan sungai.
Dalam salah satu penelitian di
Inggris ditemukan bahwa perubahan iklim berdampak pada meningkatnya risiko
banjir. Dari data 1998-2012, tingginya curah hujan menyebabkan banjir, juga
tanah longsor, yang pada akhirnya menyebabkan puluhan korban meninggal dunia.
Klaim asuransi meningkat hingga 500 juta poundsterling. Kerugian tercatat
hingga 5,5 miliar poundsterling. Puluhan ribu rumah dan ribuan bisnis terkena
banjir, serta rusaknya fasilitas jembatan, dan area pertanian (Hannaford,
2015).
Kedua, perubahan iklim dapat
berdampak pada ketersediaan pangan dan naiknya harga bahan makanan karena
menurunnya hasil panenan. Bila cuaca ekstrem seperti kekeringan dan gelombang
panas semakin sering terjadi, diperkirakan terjadi kenaikan harga hingga 30
persen. Diperkirakan secara global terjadi penurunan produksi jagung, gandum, dan
beras masing-masing sebesar 10, 7, dan 6 persen. Dalam kondisi terbatasnya air,
biasanya petani cenderung memperluas lahan atau mengganti tanamannya dengan
komoditas berharga jual lebih tinggi (Ignaciuk & Mason-D-Croz, 2014).
Sebaliknya, ketika iklim yang
berlangsung termasuk kemarau basah, maka hujan yang berkepanjangan niscaya juga
akan menyebabkan banyak lahan terendam air, kebanjiran, sehingga hasil panenan
yang dipetik pun tidak seperti yang diharapkan. Hukum ekonomi yang berlaku,
ketika komoditas pangan berkurang, harga bahan makanan pun pelan-pelan akan
merayap naik.
Ketiga, dengan meningkatnya banjir
dan kekeringan, masyarakat kelas bawah di daerah urban juga dapat terdampak,
minimal dalam hal ketersediaan air bersih dan sanitasi, sehingga meningkatkan
tekanan akan kebutuhan air bersih. Masyarakat miskin dikhawatirkan paling
terdampak perubahan iklim karena tinggal di area yang ekologisnya rawan, dan
sangat bergantung pada sumber daya alam dan sektor yang rentan terhadap
perubahan iklim. Misalnya bagi penduduk yang tinggal di wilayah yang tandus,
tetapi rawan banjir. Dalam konteks ini, turunnya pasokan air tidak mustahil
akan dapat memicu timbulnya konflik alokasi antara pertanian dan peternakan
sehingga juga dapat mengurangi kebutuhan buruh, yang pada akhirnya
mengakibatkan pengangguran (Heath dkk, 2012).
Prakarsa lokal
Ketika bencana yang terjadi semakin
meluas dan tak terbendung, salah satu jalan keluar yang utama adalah melakukan
adaptasi. Proses adaptasi merupakan rangkaian usaha manusia untuk menyesuaikan
diri atau memberi respons terhadap kejadian yang mengancam kelangsungan hidup
organisme, termasuk manusia. Dalam menghadapi ancaman dan dampak terjadinya
bencana, masyarakat diharapkan mampu mengembangkan pola adaptasi yang berbentuk
pola tingkah laku yang mengikuti dan menyiasati perubahan iklim agar dampak
yang ditimbulkan dapat diminimalisasi.
Adaptasi masyarakat terhadap
perubahan iklim ini perlu dilakukan karena dampaknya selama ini telah
dirasakan dan terjadi di sejumlah daerah, seperti ancaman kekeringan,
terjadinya banjir, tanah longsor, dan berbagai bencana lainnya. Selain itu,
telah disadari bahwa keterlambatan dalam merespons dan beradaptasi terhadap
perubahan iklim bisa berisiko dan menyebabkan kerugian ekonomi yang besar.
Akibat banjir, misalnya, setiap tahun diperkirakan jutaan hektar lahan terendam
air dan gagal panen, yang kemudian berpotensi mengganggu ketahanan pangan kita.
Sebagai bagian dari perubahan iklim
global, terjadinya bencana harus diakui memang sulit diprediksi, apalagi
ditiadakan. Kemungkinan munculnya bencana banjir dan tanah longsor sebagaimana
yang terjadi di Jawa Tengah, misalnya, sering kali terjadi tanpa bisa diduga.
Seperti mimpi buruk yang tiba-tiba hadir, terjadinya bencana banjir dan tanah longsor
sering kali berlangsung cepat, dan tidak terduga. Hanya saja, bedanya, jika
mimpi buruk hilang begitu saja ketika kita terbangun, yang namanya bencana
justru dampaknya baru dirasakan ketika kita telah sadar: rumah rusak, lahan
terendam, dan bahkan tidak sedikit warga masyarakat yang kehilangan anggota
keluarganya akibat terjadinya bencana.
Untuk menyiasati agar efek
terjadinya bencana tidak menimbulkan kerugian yang besar bagi masyarakat, tentu
saja dibutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak dan peran aktif pemerintah
untuk membangun berbagai infrastruktur yang fungsional untuk menahan banjir,
mencegah tanah longsor, atau menyediakan pompa air untuk menyiasati ancaman
kekeringan. Namun, yang tak kalah penting adalah bagaimana mendorong pengembangan
inisiatif atau prakarsa masyarakat lokal, baik inisiatif di tingkat individu
maupun prakarsa komunitas, untuk melakukan berbagai langkah pencegahan dan
penyiasatan terhadap dampak bencana akibat perubahan iklim.
Berbagai prakarsa lokal yang sudah
dikembangkan di sebagian masyarakat, dan penting untuk dikembangkan pula di
komunitas yang tinggal di daerah rawan bencana, antara lain, adalah
pembuatan sumur resapan, penanaman pohon, kerja bakti membersihkan
sungai, dan mengumpulkan air tadah hujan. Di tengah keterbatasan dana
pembangunan yang dimiliki pemerintah, munculnya berbagai prakarsa masyarakat
lokal untuk ikut berpartisipasi menyiasati perubahan iklim, bukan saja sangat
strategis dilakukan, melainkan juga akan dapat menjamin kontinuitas jangka panjang
pelaksanaan berbagai prakarsa yang kemungkinan justru lebih efektif mencegah
efek bola salju terjadinya bencana.
oleh Bagong Suyanto
disadur dari Kompas, 23 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar