Dalam
arti tertentu, kemenangan kubu Brexit
tak terlalu mengejutkan. Pergulatan masyarakat Inggris Raya menjelang
referendum terlihat mencemaskan, bahkan cenderung menuju pertarungan hidup dan
mati. Puncaknya, penembakan Jo Cox, anggota parlemen Partai Buruh, saat
kampanye anti Brexit.
Tak
hanya rakyat jelata, politisi serta media pun terbelah dengan kekuatan yang
relatif berimbang. Keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (UE) disokong media
besar, seperti The Sun, The Sunday Times, The Sunday Telegraph, dan The
Telegraph. Sementara sebagian besar media ekonomi, seperti The Financial Times,
dan media umum terkemuka, seperti The Observer dan Mail on Sunday, gencar
menyuarakan agar menolak Brexit.
Implikasi ekonomi
Akhirnya,
kubu Brexit menang tipis (sekitar
51,9%) terhadap kubu pendukung tetap (48,1%). Dan, proses politik masih akan
berlanjut, baik di lingkungan Inggris sendiri maupun Uni Eropa. Diskusi
dipastikan akan panjang dan aneka mitigasi pasti akan diupayakan.
Meski
opsi keluar tak terhindarkan, integrasi adalah soal derajat. Mengendur belum
tentu putus. Mungkin saja keluar secara politik, tetapi format integrasi
ekonomi masih tetap dipertahankan. Paling tidak dalam jangka pendek ini upaya
untuk menambal "kebocoran" kekuatan Uni Eropa akan terus dilakukan,
bahkan dengan dukungan global.
Risikonya,
jika dinamika ekonomi semakin tak mendukung, bisa jadi kekuatan politik pun
turut melemah. Dan, kalaupun tak sampai mengguncang keberadaan Uni Eropa, Brexit sangat mungkin menjadi guncangan
bagi blok perdagangan 28 negara anggota Uni Eropa. Dan, fakta itu bisa jadi
pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan Uni Eropa yang dibangun sangat panjang
dari debu Perang Dunia II.
Bisa
diduga, dampak paling cepat dari fenomena Brexit
adalah guncangan pasar keuangan yang berlanjut dengan ketidakpastian global.
Mata uang poundsterling merosot sangat tajam mencapai nadir terendahnya selama
31 tahun terakhir terhadap mata uang euro dan mata uang utama lainnya.
Sementara itu, mata uang euro juga tertekan terhadap dollar Amerika Serikat.
Sebaliknya
bagi perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek negatif,
khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Jika ekspor turun, pertumbuhan
ekonomi juga akan melambat. Itulah mengapa Janet Yallen tidak jadi menaikkan
suku bunga The Fed pada awal Juni lalu.
Implikasi
Brexit akan menjadi sumber keresahan
baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan tak pasti, sementara
pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika neraca perusahaan yang
melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke bawah dan terjadi migrasi
kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator makroekonomi.
Lingkaran
setan persoalan tengah melilit negara maju. Jika negara maju melemah,
perekonomian global pun akan tertekan. Bisa jadi, revisi Bank Dunia atas
pertumbuhan global dari 2,9 persen menjadi 2,4 persen masih akan berlanjut.
Efek berikutnya, jika pertumbuhan global meredup, dampaknya akan menerpa
negara-negara berkembang juga.
Bagi
perekonomian kita, ditilik dari jalur keuangan, bisa jadi kita termasuk salah
satu negara yang diuntungkan. Keluarnya modal dari negara maju akan mencari
tempat baru di negara berkembang. Mengingat perbedaan suku bunga dan imbal
hasil investasi di pasar keuangan kita dengan sebagian besar negara maju masih
begitu besar, likuiditas bisa jadi akan mengalir ke pasar keuangan kita.
Namun,
dari jalur perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan baru
ini. Meski tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur perdagangan
dengan Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek globalnya, di mana
permintaan global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita ke beberapa negara
maju yang mulai pulih akan kembali surut.
Sementara
dari jalur investasi, dengan perkembangan dunia yang semakin gloomy, suram, arus investasi asing
swasta juga akan menurun. Paket kebijakan I hingga XII berisiko tak memberikan
efek signifikan. Bukan karena salah arah kebijakannya, melainkan memang
dilakukan di saat yang tak tepat.
Melemahnya integrasi
Majalah
terkemuka The Economist edisi seminggu sebelum referendum menulis kolom khusus
cukup panjang tentang Uni Eropa. Dijelaskan, pendirian Uni Eropa itu melibatkan
proses panjang dan rumit yang tak bisa dibayangkan, bahkan oleh para
pendukungnya, apalagi pengkritiknya. Tersirat ingin menyampaikan, terlalu naif
membiarkan proses panjang pendirian Eropa diruntuhkan oleh proses yang begitu
singkat. Referendum merupakan proses paling demokratis, tetapi di sisi lain
juga bisa jadi paling tidak rasional. Pilihan mereka dipengaruhi faktor
emosional dan situasi sesaat saja.
Keputusan
para pemilih dalam referendum tentu saja tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan terkini di kawasan Eropa. Perkembangan isu imigran tentu menjadi
pemicu penting, terutama bagi kelompok tua. Mereka tidak rela tanah air
leluhurnya dibanjiri pendatang. Sementara generasi muda jauh lebih fleksibel melihat
isu sosial seperti ini.
Situasinya
mirip tatkala mata uang euro akan dirilis. Generasi tua cenderung resisten
dengan argumen sentimental, tak ingin memori masa lalunya lenyap bersama
hilangnya simbol kebanggaan yang ada di mata uang setiap negara.
Berlarutnya
krisis ekonomi di kawasan Eropa juga menjadi faktor penting. Sejak krisis
2007/2008, negara di kawasan Uni Eropa tak lagi merasa senasib, saling menuding
sebagai sumber kekacauan ekonomi. Dalam konteks referendum, Inggris merasa
salah satu faktor yang membuat mereka tak segera pulih adalah dinamika kawasan
yang sulit dikendalikan. Belum lagi fakta, neraca perdagangan Inggris makin
besar defisitnya terhadap Jerman.
Tak
simetrisnya relasi ekonomi antar-anggota Uni Eropa menjadi salah satu ganjalan
serius. Tak hanya Inggris; Yunani, Portugal, dan Italia pun mengeluh soal
dominasi ekonomi Jerman di tengah keterpurukan perekonomian negara lain di satu
kawasan. Secara umum, negara Eropa bagian selatan merasa defisit neraca
perdagangan mereka terjadi di tengah membesarnya surplus negara Eropa bagian
utara, khususnya Jerman.
Berangkat
dari fakta ini, keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan menimbulkan implikasi
panjang, bukan saja di sektor keuangan, melainkan juga perdagangan dan ekonomi,
baik kawasan maupun global. Fakta empiris ini bisa pula memunculkan minat
akademis untuk mempersoalkan regionalisasi, kebebasan ekonomi kawasan, hingga
unifikasi politik.
Format
integrasi penuh seperti Uni Eropa sepertinya tak lagi populer. Selain ekonomi,
mereka juga mengintegrasikan politik dan hukum sehingga markas Uni Eropa di
Brussel menjadi otoritas paling penting di kawasan tersebut. Belum lagi Bank
Sentral Eropa yang dinilai terlalu bias kepentingan Jerman. Sementara kelompok
masyarakat lain mengkhawatirkan integrasi kekuatan militer.
Arah
pengembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN semakin sulit menuju pada integrasi
menyeluruh. Penyatuan mata uang yang tadinya sempat dipikirkan terasa tak
relevan lagi. Akibatnya, kebijakan menyesuaikan besaran nilai mata uang kita
dengan negara tetangga (redenominasi) menjadi kehilangan relevansinya.
Bagi
perekonomian domestik kita, efek jangka pendeknya diyakini tak banyak. Bahkan,
banyak asumsi yang cenderung positif dengan masuknya modal di pasar keuangan
kita. Namun, sejatinya dampak jangka menengahnya lebih serius, di mana
pertumbuhan global cenderung surut, disertai turunnya aktivitas perdagangan dan
investasi.
oleh A
Prasetyantoko
disadur
dari Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar