Hasil
referendum Inggris pada 23 Juni yang menunjukkan kemenangan kubu Brexit memastikan keluarnya Inggris dari
keanggotaan Uni Eropa.
Sudah banyak
analisis mengenai dampak keluarnya Inggris (Brexit)
dari UE. Konsensus global sejauh ini adalah dalam jangka pendek Brexit berpotensi memunculkan turbulensi
di pasar finansial dan dampak ke ekonomi dunia. Namun, dalam jangka lebih
panjang, terjadi stabilisasi.
Prediksi
reaksi global paling ekstrem adalah perkiraan bakal terjadinya kejatuhan tajam
harga saham di bursa global pada Jumat pekan ini (Black Friday) yang lebih buruk dari peristiwa Black Wednesday 1992,
yakni ketika Pemerintah Inggris dipaksa mendevaluasi mata uangnya hingga 15
persen dan keluar dari Mekanisme Nilai Tukar Eropa (embrio mata uang tunggal
Eropa saat ini).
Poundsterling
sempat anjlok ke titik terendah dalam tiga dekade terakhir, terdepresiasi
hingga 10 persen terhadap dollar AS pada Jumat pagi, jauh lebih tajam dari
kejatuhan poundsterling pada Black
Wednesday 1992. Bukan kebetulan, prediksi Black Friday dilontarkan George Soros, fund manager terkemuka yang juga berperan penting dalam kejatuhan
poundsterling pada peristiwa Black Wednesday.
Sebagai
bagian dari ekonomi global dan emerging
markets, Indonesia memang rentan dan tak terlepas dari dampak gejolak
ekonomi dan politik global, terutama jika gejolak tersebut berpotensi memicu
aksi eksodus investor untuk menyelamatkan nilai investasinya (flight to safety).
Namun,
konsensus yang ada sejauh ini, dampak ke Indonesia akan sangat terbatas dan
sementara sehingga pemerintah dan BI tak merasa perlu menyiapkan strategi
khusus untuk memitigasi kemungkinan dampak Brexit.
IHSG
dan rupiah sempat sedikit melemah pekan ini, sejalan melemahnya bursa dan mata
uang Asia lain. Namun, pelemahan ini diyakini hanya sementara. Salah satu
alasannya, harga saham di Indonesia saat ini umumnya undervalued sehingga murah
dan menarik bagi investor, serta berpeluang menguat. Meski demikian, posisi
asing yang signifikan di bursa membuat kita tetap perlu mengantisipasi.
Isu Brexit barangkali lebih merupakan isu
Inggris dan UE karena yang paling terkena dampaknya secara langsung adalah
Inggris dan UE sendiri, khususnya terkait relasi ekonomi, perdagangan,
investasi, keamanan, dan lainnya antarkeduanya, atau hubungan Inggris dengan
negara lain. Kekhawatiran Brexit akan
memicu eksodus dan bangkitnya sentimen nasionalisme di negara-negara anggota EU
lain yang tak puas terhadap birokrasi UE di Brussels, juga menyeruak dan
memunculkan krisis eksistensial baru UE beserta pasar tunggal dan mata uang
tunggal Eropa-nya.
Untuk
Indonesia, kombinasi stabilitas makroekonomi, langkah reformasi struktural
ekonomi lewat serangkaian paket kebijakan, serta kebijakan pelonggaran moneter
dan makroprudensial BI, untuk saat ini diyakini akan mampu membentengi dampak Brexit. Dalam beberapa tahun terakhir,
kondisi makroekonomi cukup teruji dan relatif terjaga kendati terjadi gejolak
pada ekonomi global.
disadur
dari Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar