Editors Picks

Minggu, 26 Juni 2016

Mengantisipasi Dampak Brexit



Hasil referendum Inggris pada 23 Juni yang menunjukkan kemenangan kubu Brexit memastikan keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa.

Sudah banyak analisis mengenai dampak keluarnya Inggris (Brexit) dari UE. Konsensus global sejauh ini adalah dalam jangka pendek Brexit berpotensi memunculkan turbulensi di pasar finansial dan dampak ke ekonomi dunia. Namun, dalam jangka lebih panjang, terjadi stabilisasi.

Prediksi reaksi global paling ekstrem adalah perkiraan bakal terjadinya kejatuhan tajam harga saham di bursa global pada Jumat pekan ini (Black Friday) yang lebih buruk dari peristiwa Black Wednesday 1992, yakni ketika Pemerintah Inggris dipaksa mendevaluasi mata uangnya hingga 15 persen dan keluar dari Mekanisme Nilai Tukar Eropa (embrio mata uang tunggal Eropa saat ini).

Poundsterling sempat anjlok ke titik terendah dalam tiga dekade terakhir, terdepresiasi hingga 10 persen terhadap dollar AS pada Jumat pagi, jauh lebih tajam dari kejatuhan poundsterling pada Black Wednesday 1992. Bukan kebetulan, prediksi Black Friday dilontarkan George Soros, fund manager terkemuka yang juga berperan penting dalam kejatuhan poundsterling pada peristiwa Black Wednesday.

Sebagai bagian dari ekonomi global dan emerging markets, Indonesia memang rentan dan tak terlepas dari dampak gejolak ekonomi dan politik global, terutama jika gejolak tersebut berpotensi memicu aksi eksodus investor untuk menyelamatkan nilai investasinya (flight to safety).

Namun, konsensus yang ada sejauh ini, dampak ke Indonesia akan sangat terbatas dan sementara sehingga pemerintah dan BI tak merasa perlu menyiapkan strategi khusus untuk memitigasi kemungkinan dampak Brexit.

IHSG dan rupiah sempat sedikit melemah pekan ini, sejalan melemahnya bursa dan mata uang Asia lain. Namun, pelemahan ini diyakini hanya sementara. Salah satu alasannya, harga saham di Indonesia saat ini umumnya undervalued sehingga murah dan menarik bagi investor, serta berpeluang menguat. Meski demikian, posisi asing yang signifikan di bursa membuat kita tetap perlu mengantisipasi.

Isu Brexit barangkali lebih merupakan isu Inggris dan UE karena yang paling terkena dampaknya secara langsung adalah Inggris dan UE sendiri, khususnya terkait relasi ekonomi, perdagangan, investasi, keamanan, dan lainnya antarkeduanya, atau hubungan Inggris dengan negara lain. Kekhawatiran Brexit akan memicu eksodus dan bangkitnya sentimen nasionalisme di negara-negara anggota EU lain yang tak puas terhadap birokrasi UE di Brussels, juga menyeruak dan memunculkan krisis eksistensial baru UE beserta pasar tunggal dan mata uang tunggal Eropa-nya.

Untuk Indonesia, kombinasi stabilitas makroekonomi, langkah reformasi struktural ekonomi lewat serangkaian paket kebijakan, serta kebijakan pelonggaran moneter dan makroprudensial BI, untuk saat ini diyakini akan mampu membentengi dampak Brexit. Dalam beberapa tahun terakhir, kondisi makroekonomi cukup teruji dan relatif terjaga kendati terjadi gejolak pada ekonomi global.

disadur dari Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar