"Power tends to corrupt, absolute power corrupts
absolutely"
Ungkapan Lord Acton di atas menjadi relevan ketika
terjadi berbagai macam bentuk mafia peradilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Memang antara kekuasaan dengan penyalahgunaannya merupakan dua sisi yang tidak
saling menegasikan. Karena itu, pembatasan terhadapnya merupakan suatu
keniscayaan.
Timbulnya gagasan Trias Politika dilatarbelakangi
terjadinya kekuasaan terpusat. Ketika itu raja sebagai episentrum, memiliki
kekuasaan di semua sisi kehidupan politik: sebagai pembuat, pelaksana hukum,
dan pengadil sekaligus.
Kesadaran memberikan pembatasan timbul setelah terjadinya
tirani kekuasaan, kekuasaan tidak dapat dibiarkan tanpa pembatasan. Semenjak
itu, ajaran pemisahan kekuasaan diterapkan di pelbagai negara dengan berbagai
variasinya, tetapi dengan tujuan agar tidak terjadi absolutisme kekuasaan.
Kekuasaan yudisial di Indonesia sebelum reformasi
menunjukkan ciri yang ambivalen: secara administratif merupakan bagian
kekuasaan eksekutif dan secara yudisial berada di bawah Mahkamah Agung (MA)
pada sisi lain. Praktis, kedudukan seperti itu menimbulkan pelbagai tudingan,
bahkan cibiran.
Dengan penyatuatapan kekuasaan kehakiman di bawah MA
diharapkan berbagai bentuk intervensi maupun tirani kekuasaan dapat diakhiri.
Meskipun harus dipahami bahwa pemberian kekuasaan yang penuh pada satu lembaga
memiliki risiko terjadinya penyalahgunaan kekuasaan di lembaga itu, dan oleh
karena itu pengawasan menjadi kebutuhan tak terelakkan. Pembentukan Komisi
Yudisial (KY) merupakan gagasan agar kekuasaan yudisial tetap dalam batas-batas
yang ditetapkan dalam koridor konstitusi.
Meskipun harus dicatat pula bahwa optimisme masyarakat
pasca perubahan konstitusi tidak berlangsung lama. Mahkamah Konstitusi (MK)
pada 2006 telah mencabut kewenangan KY mengawasi hakim. Pada sisi lain,
berbagai rekomendasi yang disampaikan lembaga itu mayoritas belum direspons
oleh MA. Ke depan, diduga gelombang serangan yang dialamatkan ke KY akan terus
terjadi. Di sisi lain penyalahgunaan kekuasaan yudisial berpotensi akan terus terjadi.
Salah satu penguatan terhadap KY adalah adanya kewenangan
untuk mengeksekusi sendiri keputusan-keputusannya. Artinya, dalam hal institusi
negara itu menemukan adanya pelanggaran kode etik/perilaku hakim, lembaga itu
pula yang diberi kewenangan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarnya, tentu
setelah memberikan kesempatan seluas- luasnya bagi terlapor untuk melakukan
pembelaan diri.
Dalam ranah pengawasan maupun rekrutmen hakim dalam semua
tingkatan-termasuk juga promosi dan mutasi-harus dilakukan secara transparan,
khususnya oleh institusi eksternal yang memiliki otoritas menjalankan kekuasaan
itu. Apabila tidak demikian, tingkat subyektivitasnya begitu tinggi,
kelanjutannya patut diduga bahwa berbagai diskriminasi maupun
kesewenang-wenangan berpotensi terjadi.
UUD 1945 dengan tegas telah menyatakan kewenangan KY
untuk melakukan tugas-tugas itu semua. Akan tetapi, patut disayangkan,
kesepakatan ketatanegaraan yang telah diambil secara bulat justru menjadi
bumerang ketika kewenangan itu dijalankan. Telah berkali-kali kalangan internal
hakim mengajukan pengujian terhadap UU KY, padahal semenjak awal MA memberikan
dukungan sepenuhnya agar dibentuk suatu lembaga eksternal untuk mengawasi
kinerja mereka.
Ide demokratisasi di bidang peradilan ketika itu tengah
mencapai puncak keemasannya. Akan tetapi, romantisisme pun segera berlalu.
Kenyataan diamputasinya kewenangan KY untuk melakukan pengawasan, juga
peristiwa dua orang pemimpinnya dikriminalisasi, merupakan bukti bahwa upaya
untuk mewujudkan independence of
judiciary terus mengalami tantangan yang hebat. Di situlah penguatan
kewenangan KY sebagaimana digagas dalam RUU Jabatan Hakim merupakan upaya untuk
mengembalikan muruah lembaga itu ke dalam koridor konstitusional yang telah
ditentukan sebelumnya.
Persoalan
pembatasan
Kekuasaan peradilan hanya tunduk pada kekuasaan Tuhan
YME. Meski demikian, tidak ada kekuasaan apa pun dalam negara yang dapat
mengintervensinya.
Peradilan hanya ditujukan guna mewujudkan keadilan dan
kebenaran. Pembatasannya adalah hakim tidak boleh menyimpangi kewenangannya
dengan berlindung di balik kekuasaan absolut guna memberikan keadilan.
Pembatasan-pembatasan itu salah satunya ditetapkan oleh hukum itu sendiri.
Oliver Wendell Holmes, tokoh realisme Amerika Serikat,
menyatakan bahwa hukum pada hakikatnya merupakan ramalan-ramalan tentang apa
yang akan dilakukan oleh pengadilan dalam kenyataannya. Hal itu berarti bahwa
putusan hakim harus tunduk pada rambu-rambu yang ditentukan oleh undang-undang,
di samping adanya keyakinannya hakim sendiri untuk memberikan putusan yang
adil. Hukum pada hakikatnya merupakan norma abstrak yang, di tangan hakim, akan
mendapat bentuk yang konkret.
Ide pembatasan kekuasaan hakim, baik menyangkut masa
jabatan maupun kualitas putusan, harus diletakkan dalam bingkai untuk
sebesar-besarnya memberikan keadilan. Dalam sebuah negara demokratis, tidak ada
satu kekuasaan pun yang tidak ditentukan batas-batasnya kekuasaannya, termasuk
juga masa pengakhirannya.
Gagasan pembatasan kewenangan hendaklah dibaca dalam
konteks checks and balances system
yang tengah dibangun di tengah gelombang korupsi dan kolusi yang tengah melanda
lembaga peradilan saat ini guna terwujudnya peradilan yang berwibawa.
Kewibawaan lembaga peradilan hanya dapat dicapai jika prasyarat dilakukan pembatasan
kekuasaan, termasuk pengawasan yang efektif disertai mekanisme reward
danpunishment bagi siapa pun tanpa diskriminasi.
oleh M Ali Zaidan
disadur dari Kompas, Sabtu, 25 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar