Hujan lebat pertengahan Juni 2016 yang mengakibatkan
banjir dan tanah longsor di wilayah Jawa Tengah, jelas merupakan penyimpangan
kondisi cuaca, iklim, dan perairan.
Angin kencang, petir, pasang air laut yang tinggi, dan
hujan intensitas tinggi adalah hal yang tidak biasa pada Juni. Layaknya, jelang
pertengahan tahun adalah cuaca dengan curah hujan berkurang dan dengan kegiatan
petir yang minimum pula.
Seharusnya, cuaca didominasi kondisi kurang hujan, karena
masuk musim kemarau, dengan tiupan angin musim timur yang kencang di atas
wilayah selatan ekuator, peristiwa lunar pun seharusnya hanya berlangsung
beberapa hari.
Kenyataannya, terjadi kerancuan kondisi cuaca dan iklim
yang berlanjut dengan naiknya paras muka air laut, baik dari kondisi pasang
yang secara astronomis terjadi setiap Januari dan Juni, dengan posisi pasang
tertinggi. Dalam tulisan sebelumnya (Kompas, 10/5), saya telah mengingatkan
bahwa keragaman cuaca dan iklim akan terus berlangsung ke depan. Itulah yang
kemudian terjadi.
Interaksi anomali
Interaksi semua anomali itu, membuat kondisi udara dan
perairan yang biasanya bersahabat menjadi kurang bersahabat. Hadirlah hujan
berintensitas tinggi yang berlanjut dengan bencana banjir dan longsor. Fenomena
ini terjadi di hampir semua kawasan Indonesia.
Pasang naik diikuti dengan angin timur yang kencang,
menyebabkan gelombang pasang yang terjadi mulai dari Pantai Kuta, Bali, hingga
pantai selatan Jawa selama Juni 2016. Sepertinya hal ini masih berlanjut hingga
beberapa bulan ke depan, di pantai-pantai wilayah Indonesia bagian barat dan
tengah.
Data kondisi cuaca dari Badan Meteorologi, Klimatologi,
dan Geofisika menunjukkan bahwa semua ini terkait dengan munculnya gejala alam
global La Nina. La Nina adalah kondisi suhu laut kawasan ekuator Samudra
Pasifik timur yang turun dari nilai rerata bulanan dan kondisi suhu laut
kawasan Benua Maritim Indonesia yang hangat atau naik dari nilai rerata
bulanan. La Nina adalah kebalikan gejala alam El Nino yang berdampak
kekeringan.
La Nina didukung indeks dipole mode negatif. Artinya
kondisi suhu muka laut kawasan regional Samudra Pasifik timur sekitar wilayah
Indonesia naik/hangat dan suhu muka laut Samudra Pasifik barat dekat Benua
Afrika turun/dingin. Hal ini seiring dengan giatnya osilasi Madden-Julian,
suatu gerakan angin barat sepanjang ekuator, diikuti dengan kegiatan awan
konveksi yang bergerak dari kawasan Samudra Hindia di sepanjang ekuator ke arah
Timur.
Aspek lain yang luput dari penjelasan adalah lingkup
regional dengan belum hadirnya badai tropis di kawasan tergiat kegiatan badai
tropis, yaitu di kawasan utara wilayah Indonesia, di perairan Samudra Pasifik
barat-utara wilayah Indonesia hingga Filipina. Hal lain adalah tekanan tinggi
Benua Australia yang masih belum aktif.
Kedua kondisi regional di atas menyebabkan angin muson
atau angin musim timur tenggara enggan bertiup dan masih rendahnya tekanan
udara di kawasan Indonesia. Nilai tekanan rendah hampir homogen selama Mei
hingga awal Juni yang menjadi pemicu pertumbuhan awan menjulang tinggi atau
awan konveksi. Awan konveksi menghasilkan badai guntur, angin kencang, dan
hujan lebat.
Rendahnya tekanan dan melemahnya angin timur di wilayah
Indonesia memicu terkumpulnya massa air laut sehingga bila tergoyang tiupan
angin kencang dari arah timur-selatan di perairan Samudra Indonesia, memicu
munculnya gelombang pasang di sepanjang pantai selatan, dari Kuta hingga
selatan Jawa.
Adanya limpasan banjir rob di pantai utara Jawa atau
sekitar pantura, adalah konsekuensi dari posisi pasang tertinggi pada setiap
Juni, saat berlangsung musim angin timur.
Muka laut naik
Dari pengamatan tinggi muka laut yang dikeluarkan Pusat
Informasi Iklim Badan Atmosfer dan Kelautan Amerika Serikat, diketahui sejak
awal Mei 2016 hingga awal Juni 2016 muka laut naik dari nilai rerata di sekitar
pantai Sumatera dan Jawa, atau penyimpangan positif. Bandingkan dengan tahun
2015, saat nilai paras muka laut negatif.
Kondisi 2016 sejalan dengan pandangan bahwa saat terjadi
gejala El Nino tahun lalu, nilai pasang muka laut lebih rendah dari ketinggian
rerata/normalnya. Gejala alam El Nino dengan suhu muka laut dingin mendukung
kondisi tekanan Indonesia menjadi lebih tinggi dari kondisi tekanan
rerata/normal untuk bulanan maupun tahunan.
Sebaliknya, dengan kondisi gejala alam La Nina yang kini
mulai muncul, indikasi perkembangan April 2016 menunjukkan nilai simpangan
tekanan 0. Artinya dalam kondisi netral dan sepertinya Mei 2016 bernilai
positif untuk simpangan pasang muka laut, dan simpangan negatif untuk tekanan
udara.
Hal itu mengindikasikan bahwa antara April hingga Juni
adalah periode adanya perubahan dari gejala alam El Nino menuju ke gejala alam
La Nina untuk perspektif global. Untuk perspektif regional, beberapa
penyimpangan memicu kegiatan awan hujan menjulang tinggi atau awan konveksi
penghasil hujan lebat hingga Juni.
Kini perlahan-lahan tekanan tinggi daratan Australia
mulai naik. Kenaikan di kawasan Samudra Hindia barat wilayah Australia ini
sepertinya akan berlangsung hingga beberapa bulan mendatang seiring pengaruh
aktivitas gejala alam La Nina.
Posisi tekanan tinggi di selatan Jawa ini mendorong
giatnya entakan angin dari arah timur- tenggara. Meski demikian, dari
pertengahan Juni hingga beberapa minggu pada Juli, di kawasan pantai selatan
Bali hingga Jawa-dan nanti pindah ke pantai barat Sumatera-akan ada
kecenderungan gelombang pasang. Hal ini didukung oleh tiupan tegak lurus pantai
untuk angin tenggara-selatan di pantai selatan Bali dan Jawa, serta angin dari
selatan-barat daya untuk pantai barat Sumatera.
Bagaimana kecenderungan kondisi mendatang? Yang pasti
gejala alam La Nina masih akan giat dan mantap. Namun, tiupan angin musim
timuran yang masih lemah karena gradasi tekanan udara, akan giat bila ada
aktivitas bintik hitam di Matahari.
Sayangnya, kegiatan sang surya masih lemah, sehingga
situasi akan anomali atau keragaman kondisi cuaca dan iklim, akan berdampak
pada kondisi perairan akan berlanjut. Masyarakat sebaiknya melakukan mitigasi
untuk meminimalkan kerugian moril dan materiil.
Turunnya tekanan udara di perairan Indonesia akan menarik
udara di daratan silih berganti. Rendahnya gradien tekanan udara di perairan
Indonesia akan menimbulkan badai tropis yang minim kegiatan di wilayah
Indonesia. Melemahnya tiupan angin menambah berbagai penyimpangan yang
konsekuensinya pada kerancuan dan keragaman cuaca.
oleh Paulus Agus Winarso
disadur dari Kompas, Jum’at, 24 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar