Bagi negara yang masih mengandalkan bahan bakar migas
sebagai sumber energi utama, seperti Indonesia, keberadaan kilang sangat
penting. Jalan terbaik untuk mendapatkan bahan bakar migas dengan harga yang
ekonomis adalah dengan mengolah sendiri minyak mentah yang dihasilkan dari
sumur minyak dalam negeri ataupun dari impor, dengan menggunakan kilang minyak
milik sendiri.
Kilang minyak (oil
refinery) adalah fasilitas industri yang mengolah minyak mentah menjadi
produk petroleum yang bisa langsung digunakan, ataupun produk-produk lain yang
menjadi bahan baku bagi industri petrokimia. Kilang minyak menghasilkan
produk-produk, antara lain, minyak nafta, bensin (gasoline), solar (Automotive
Diesel Oil), minyak tanah (kerosene),
dan elpiji. Kilang minyak merupakan fasilitas industri yang sangat kompleks
dengan berbagai jenis peralatan dan fasilitas pendukung. Semakin tinggi
kualifikasi produk yang dihasilkan, semakin rumit proses pengadaannya, semisal aviation kerosene (avtur) dan aviation
gasolineyang menjadi bahan bakar pesawat jet yang diproduksi dengan standar
ketat. Kegiatan kilang meliputi penyulingan (destilasi), pengubahan struktur
(konversi), pengolahan (treatment),
serta formulasi dan pencampuran (blending).
Kilang minyak merupakan salah satu bagian hilir (down stream) paling penting pada industri migas (Leffler WL, 1984).
Hingga saat ini, Indonesia masih sangat bergantung kepada
bahan bakar migas. Untuk tahun ini saja, konsumsi bahan bakar minyak dalam
negeri sudah di atas 1,5 juta barrel per hari (bph), sementara produksinya di
bawah 800.000 bph. Untuk menutupi kebutuhan itu, negara menghabiskan 150 juta
dollar AS atau Rp 1,95 triliun per hari untuk impor BBM. Berdasarkan analisis
proyeksi Kementerian ESDM, kebutuhan BBM (tidak termasuk biofuel) diproyeksikan
justru akan terus meningkat rata-rata 3,18 persen per tahun selama periode
2006-2030. Konsumsi bensin dan solar tumbuh rata-rata 5,68 persen dan 2,18
persen per tahun, sedangkan konsumsi minyak tanah turun rata-rata 2,97 persen
per tahun.
Dari sisi pengguna, sektor transportasi tumbuh rata-rata
5 persen per tahun dan sektor pertanian, konstruksi, dan pertambangan) tumbuh
rata-rata 5,31 persen per tahun. Peningkatan itu juga dipengaruhi pertambahan
penduduk dan perkembangan industri. Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah
melakukan percepatan pembangunan kilang di dalam negeri, dengan skenario
pembangunan kilang baru dan pengembangan yang sudah ada.
Indonesia dengan luas wilayah 1.990.250 kilometer persegi
dan jumlah penduduk 254,9 juta jiwa, saat ini telah menjadi importir neto
karena ketergantungan yang sangat tinggi terhadap bahan bakar migas. Indonesia
hanya memiliki tujuh kilang, yakni Kilang Pangkalan Brandan dengan kapasitas
5.000 bph, yang ditutup sejak awal 2007; Kilang Dumai dan Sei Pakning (127.000
bph dan 50.000 bph), Kilang Plaju (145.000 bph), Kilang Cilacap (548.000 bph),
Kilang Balikpapan (266.000 bph), Kilang Balongan (125.000 bph), Kilang
Pusdiklat Migas Cepu Jawa Tengah (45.000 bph), dan Kilang Sorong Papua Barat
(10.000 bph). Jumlah ini tentu belum cukup. Masih diperlukan banyak kilang dan
tentu tak seluruhnya dapat dipenuhi oleh negara. Diperlukan partisipasi swasta.
Posisi pemerintah
Sekalipun agak terlambat, baru pada pemerintahan Joko
Widodo disadari betapa pentingnya membangun kilang. Terlihat berbagai upaya
serius ke arah pemenuhan kebutuhan migas yang efisien dilakukan, di antaranya
menerbitkan Perpres Nomor 146 Tahun 2015 tentang Pembangunan Kilang, yang
menempatkan PT Pertamina (Persero) sebagai penanggung jawab kegiatan dan
pengawasan pembangunan.
Berdasarkan ketentuan itu pula, pembangunan kilang kini
terbuka untuk swasta dengan pola kerja sama yang sebagian atau seluruhnya
menggunakan sumber daya swasta dengan memperhatikan pembagian risiko di antara
para pihak. Saat ini, pemerintah juga tengah menggodok peraturan tentang usaha
"kilang mini" dengan kapasitas maksimal 20.000 bph.
Pemerintah juga
giat mengajak perusahaan luar untuk berinvestasi membangun kilang di Indonesia.
Seperti untuk Kilang Tuban Jawa Timur, pemerintah/Pertamina berhasil
menggandeng Rosneft, perusahaan minyak Rusia penghasil minyak mentah terbesar
di dunia, yang berkomitmen berinvestasi hingga 13 miliar dollar AS. Harapannya,
selain kilang terbangun, juga terjamin pasokan bahan baku minyak mentah bagi
kilang.
Pilihan Indonesia untuk membuka diri dan menggiatkan
pembangunan kilang adalah pilihan yang wajar. Pilihan itu diambil di tengah
situasi ekonomi sulit dengan pertumbuhan ekonomi di kuartal I- 2016 tercatat
4,92 persen atau tidak sampai 5 persen. Hal itu salah satunya diakibatkan oleh
penurunan harga minyak dunia sehingga dalam APBN Perubahan 2016 pemerintah
merevisi target Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA Migas dari Rp
78,6 triliun menjadi Rp 28,4 triliun, padahal migas merupakan andalan untuk
mendongkrak produk domestik bruto (PDB). Selain itu, faktor pelambatan ekonomi
yang terjadi di Tiongkok dalam tiga tahun terakhir juga berpengaruh bagi
Indonesia, sebagaimana terlihat di antaranya dari ambruknya pertambangan batubara
akibat sepinya permintaan dan rendahnya harga serta rontoknya industri
pelayaran nasional.
Meski demikian, pembangunan kilang harus memperhatikan
segi peraturan dasar dan segi kontinuitas pasokan. Dari segi peraturan dasar,
kita menentukan bahwa migas adalah komoditas vital yang menguasai hajat hidup
orang banyak, begitu pun pengolahannya termasuk dalam kategori cabang produksi
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka harus
dikuasai oleh negara. Sekalipun pembangunan kilang kini terbuka untuk swasta
dan syarat impor menurut Peraturan Menteri Perdagangan No 3/M-DAG/PER/1-2015
juga dipermudah, pemerintah harus berpegang pada prinsip utama bahwa penguasaan
dan penggunaan bahan bakar migas harus tetap dalam kendali negara, bukan
diserahkan kepada mekanisme pasar. Salah satu penerapan "pengendalian
negara" tersebut juga harus tecermin dari mekanisme kontrol hasil produksi
dan kepemilikan saham yang menempatkan negara/BUMN memegang saham mayoritas.
Segi lainnya, bisnis kilang sangat bergantung pasokan
bahan baku berupa minyak mentah. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk
menjalin kerja sama dengan negara-negara penghasil migas, seperti Iran, yang
memiliki cadangan minyak melimpah dan baru saja bebas dari embargo ekonomi oleh
Barat, untuk memasok minyak mentah sekaligus berinvestasi membangun kilang di
Indonesia. Cara itu akan menjamin keberlangsungan pasokan minyak mentah dalam
jangka panjang, selain tentu akan mendapatkan harga murah karena tanpa perlu
melalui trader dari Singapura yang
selama ini menjadi benalu dalam pengadaan migas.
Pengalaman kilang
swasta
Sungguh tidak mudah bagi swasta membangun kilang di
Indonesia. Selain biaya investasi yang tinggi, juga karena kompleksitas
regulasi dan hambatan dari mafia migas yang selama ini menikmati skema
pengadaan migas negara dari impor. Selain itu, untuk menjamin keberlangsungan
produksi jangka panjang, pembangunan kilang juga akan menghadapi problem utama
berupa ketidakpastian pasokan bahan baku.
Sebagai contoh kilang PT Trans Pacific Petrochemical
Indotama (TPPI) di Tuban yang saat ini diseret ke ranah hukum korupsi. Jika
dilihat dari gambaran kompleksitas di atas, inisiatif TPPI membangun kompleks
petrokimia terpadu yang terdiri dari Kilang Olefin dan Kilang Aromatic pada 1995
merupakan inisiatif berani di tengah kebijakan pengelolaan migas dan kuasa
pertambangan migas yang dimonopoli Pertamina. Negara seharusnya berkepentingan
terhadap langkah swasta itu dan menunjukkan keberpihakannya.
Kilang TPPI memerlukan bahan baku berupa kondensat asal
dalam negeri. Kondensat adalah produk sampingan yang dihasilkan dari
ladang-ladang gas di dalam negeri. Saat itu proyek dibangun dengan biaya 800
juta dollar AS (377 juta dollar AS modal sendiri, 248 juta dollar AS dari JGC,
dan 175 juta dollar AS dari Stone&Webster). Sekalipun kilang dibangun
dengan utang, tidak ada dana negara di situ dan kilang dapat berdiri dan
berproduksi.
Situasi menjadi berbalik ketika terjadi krisis ekonomi
1998 dan melahirkan UU migas baru, yakni UU No 22/2001 yang mencabut kuasa
pertambangan dari Pertamina dan diserahkan kepada BP Migas, kemudian mayoritas
saham TPPI juga diambil alih negara. Untuk selanjutnya TPPI seperti
"pelanduk" dalam perang dingin antara Pertamina dan BP Migas. Bahan
baku berupa kondensat hanya bisa didapat TPPI dari BP Migas sebagai penguasa
hulu, sementara untuk menjual hasil olahannya berupa bahan bakar migas, TPPI
hanya bisa melalui BPH Migas/Pertamina sebagai penguasa hilir, pemegang mandat public service obligation (PSO) dari
negara.
Sekalipun kepemilikan TPPI saat itu mayoritas di tangan
negara (Tuban Petro/Depkeu 59,5 persen, Pertamina 15 persen)-bahkan pemerintah
dan Pertamina menempatkan orangnya di kepengurusan TPPI, ditambah upaya
pemerintah mempertemukan "segi tiga" pengusaha, penguasa hulu dan
penguasa hilir dalam rapat di Istana Wapres, 21 Mei 2008, dengan tujuan
menyelamatkan TPPI agar negara dapat manfaat dari kilang yang berkapasitas
besar dan strategis bagi negara tersebut-tetapi berbagai upaya penyelamatan itu
tetap gagal karena perbedaan perspektif dan berdampak pada ketiadaan pasokan
bahan baku dan sulitnya pemasaran.
Kasus TPPI memberi pelajaran bagi swasta bahwa membangun
kilang di Indonesia tanpa perlindungan nyata dari negara akan sia-sia, karena
membangun kilang adalah investasi jangka panjang yang memproduksi komoditas
yang langsung di bawah kendali negara. Selain menghadapi risiko ekonomi, juga
menghadapi risiko politik dan perubahan regulasi. Oleh karena itu, sekalipun
saat ini negara menawarkan kemudahan, bahkan insentif kepada pengusaha kilang
swasta, sebaliknya pengusaha swasta tetap waspada. Yang diperlukan oleh swasta
adalah komitmen nyata negara berupa jaminan mendapatkan pasokan bahan baku atau
diizinkan impor sendiri dengan pengawasan negara, serta pemasaran yang
terjamin. Jika tidak, kilang swasta hanya akan menjadi bangunan megah tanpa
makna, sekalipun sebenarnya negara sangat membutuhkannya.
oleh Junaidi Albab Setiawan
disadur dari Kompas, Jum’at 24 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar