Efek domino penurunan harga minyak
internasional mulai terasa. Pemerintah daerah di kawasan penghasil migas mulai
terpukul karena penerimaan dana bagi hasil merosot drastis (Kompas, 28/5).
Rasionalisasi belanja daerah berupa
pemotongan dan penundaan program harus diterapkan agar sesuai kapasitas
keuangan daerah. Kondisi ini tentu menyulitkan pemda penghasil migas
melaksanakan pembangunan karena terbiasa dengan dana bagi hasil (DBH)
berlimpah. Beberapa kabupaten bahkan masih terjebak ketergantungan DBH lebih dari
70 persen, seperti Kabupaten Bengkalis 83,95%, Musi Banyuasin 86%, dan Kutai
Kartanegara 72,83% (Depkeu, 2014).
Hal ini sebenarnya tidak perlu
terjadi apabila pemda penghasil migas memiliki peta jalan (roadmap) pengelolaan sumber daya alam yang tidak terbarukan (unrenewable). Perlu perubahan paradigma
menuju pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan dalam roadmap. Pemda Bojonegoro memberikan contoh baik perubahan
paradigma ini.
Pemda Bojonegoro sadar, deposit
"emas hitam" di wilayahnya akan habis. Maka, Pemda Bojonegoro
menggulirkan serangkaian kebijakan inovatif pasca minyak dan gas bumi.
Kebijakan
inovatif
Amanah utama pemerintahan adalah
mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Dalam konteks ini,
berarti juga mengoptimalkan peninggalan masa lalu sebagai salah satu aset
kesejahteraan. Cara pandang inilah yang diwujudkan Pemda Bojonegoro melalui dua
kebijakan inovatifnya: pengembangan desa wisata minat khusus berbasis sumur
minyak tua di Desa Wonocolo dan pengembangan dana abadi dari pendapatan minyak
dan gas.
Akhir April 2016, Pemda Bojonegoro
bersama Pertamina dan masyarakat menjadikan Desa Wonocolo sebagai tujuan wisata
dengan ikon "little Teksas".
Ikon Teksas (bukan Texas) dipilih sebagai pengingat bahwa semangat
"Tekadnya Selalu Aman dan Sejahtera" telah menjadi kesepakatan
bersama antarpihak untuk kesejahteraan masyarakat.
Obyek utamanya adalah aktivitas
penambangan tradisional di sumur-sumur minyak tua peninggalan Belanda.
Wisatawan diajak menjadi bagian dari industri pengelolaan minyak bumi berbasis
masyarakat. Selain itu, edukasi perminyakan dipersiapkan sebagai bagian dari
pengalaman unik di Desa Wonocolo.
Peluang kesejahteraan dari industri
wisata ini cukup menjanjikan. Wisata kota tua pertambangan batubara di
Sawahlunto, misalnya, menjadi best
practice menghidupkan ekonomi dari sisa-sisa extractive menuju industri parisiwata. Pemda Bojonegoro juga mulai
menerapkan kebijakan dana abadi migas. Setiap tahun, Pemda Bojonegoro akan
mengalokasikan sejumlah dana dari APBD untuk masuk dalam rekening dana abadi
migas. Bunga dana abadi yang akan digunakan untuk peningkatan sumber daya
manusia dan penyelamat keuangan pemda ketika terjadi fluktuasi harga minyak
internasional.
Dua kebijakan itu menunjukkan
kreativitas Pemda Bojonogoro untuk menghubungkan masa lalu dengan masa depan
migas untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan berpihak kepada hak generasi
mendatang agar mendapatkan manfaat dari kekayaan sumber daya alam yang pernah
ada di tanah kelahirannya.
Melalui kebijakan tersebut, Pemda Bojonegoro
berupaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk keluar dari
ketergantungan pada sumber daya alam sebagai pilar utama pembangunan (natural resources based development).
Ubah
cara pandang
Inovasi kebijakan Pemda Bojonegoro
seharusnya menginspirasi cara pandang untuk membangun Indonesia. Sayangnya,
pemda yang kaya akan sumber daya alam lebih cenderung membangun bandara dan
gedung pemerintahan megah sebagai simbol kesuksesan pembangunan. Mereka lupa
bahwa semua karya pembangunan itu akan menjadi beban ketika industri ekstraktif
tidak mampu lagi menjadi energi penggerak ekonomi daerah.
Model pembangunan seperti ini
berorientasi jangka pendek dan mengingkari hak generasi mendatang mendapatkan
manfaat kekayaan sumber daya alam di tanah leluhurnya. Oleh karena itu,
perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam mendesak dilakukan, baik di
tingkat nasional maupun daerah.
Banyak negara dapat menjadi rujukan
penyusunan roadmap pembangunan dari extractive
industry ke knowledge industry,
salah satunya adalah Australia.
Pemerintah Australia baru saja
mengumumkan bahwa kontribusi industri pendidikan menyumbang hampir 20 miliar
dollar Australia atau 13 persen dari total ekspor industri pada 2015 (Afr,
2016). Industri pendidikan merupakan penyumbang pendapatan ketiga terbesar
setelah batubara dan biji besi. Kontribusi pendapatan dari sektor pendidikan
bersumber dari akumulasi pengeluaran siswa internasional baik untuk sekolah,
biaya hidup, dan rekreasi selama belajar di Australia. Besarnya kontribusi ekonomi
industri pendidikan di Australia merupakan hasil konsistensi kebijakan
pengembangan pendidikan.
Sebagian pendapatan dari sumber daya
alam dialokasikan untuk pengembangan pendidikan. Pemerintah Australia
mempersiapkan pendidikan untuk menopang struktur keuangan negara seiring
menurunnya kontribusi industri ekstraktif.
Pengembangan industri pendidikan
memiliki peluang multiplier effect
yang strategis terhadap sektor-sektor lainnya. Pertama, properti dan ritel yang
langsung menerima dampak positif geliat industri pendidikan. Komoditas kedua
sektor tersebut merupakan kebutuhan pokok siswa internasional selama menempuh
pendidikan.
Kedua, sektor teknologi dan lisensi
industri. Australia menjadi rujukan teknologi modern pertambangan
internasional. Selain itu, juga dominasi lisensi untuk berbagai sistem keamanan
pertambangan, misalnya standar alat pelindung diri (APD).
Menjadi
jembatan
Kebijakan inovatif Pemda Bojonegoro
dan pengalaman Australia dalam mengelola sumber daya alam patut menjadi
teladan. Kekayaan sumber daya alam di Indonesia adalah berkah yang harus dapat
dinikmati lintas generasi. Pemerintah pusat dan daerah harus mulai meninggalkan
paradigma extractive government,
khususnya untuk sumber daya alam tidak terbarukan. Paradigma ini terbukti tidak
menjamin keberlanjutan manfaat karena melihat sumber daya alam sebagai
komoditas sesaat.
Paradigma baru dalam bentuk bridging government perlu menjadi agenda
Nasional dalam pengelolaan sumber daya alam. Paradigma ini menekankan bahwa
peran pemerintah adalah sebagai institusi yang menjembatani kebermanfaatan
sumber daya alam untuk lintas-generasi. Sumber daya alam adalah sumber ilmu
pengetahuan yang memiliki nilai ekonomis secara berkelanjutan. Dengan demikian,
kelimpahan sumber daya alam di Indonesia tidak hanya menjadi narasi dalam buku
teks sejarah, tetapi juga menopang struktur ilmu pengetahuan dan keahlian
generasi mendatang.
oleh Bahruddin
disadur dari Kompas, Jum’at, 24 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar