Konferensi tahunan ILO, awal Juni 2016,
sedikit memanas dengan dimasukkannya agenda pekerjaan layak dalam industri
rantai pemasok global (global supply
chains/GSCs) Masalahnya, selama ini GSCs-lah agen utama sistem kerja
fleksibilitas.
Dalam
dekade terakhir, diakui GSCs telah memainkan peran signifikan dalam pertumbuhan
perdagangan internasional. Selain telah menarik pekerja dari sektor produktif
rendah pertanian ke sektor yang lebih produktif (manufaktur, tambang,
perkebunan dan jasa), GSCs juga menyumbang terjadinya transfer teknologi dan
pengetahuan ke pekerja dan pengusaha lokal.
Ketimpangan tata kelola
Namun,
gugatan terjadi saat muncul kecenderungan terjadinya defisit dalam upaya
penciptaan pekerjaan layak. Peran tradisional pemerintah yang seharusnya bertanggung
jawab atas kesejahteraan buruh memudar mengingat para agen pemasok perusahaan
multinasional (MNCs) telah menetapkan harga, jangka waktu, dan kualitas produk
mereka. Alhasil, pemerintah dipaksa hanya punya posisi to take or to leave.
Inilah
suara negara-negara Afrika dan diikuti sebagian negara Amerika Latin:
"Kami sebenarnya berkomitmen meningkatkan pekerja layak, tetapi kaum
pemilik modal negara Utara telah memaksa kami harus menerima syarat-syarat
mereka sehingga kami tidak memiliki ruang menaikkan upah layak dan menekan jam
kerja panjang. Syarat perundangan yang kami minta akan membuat GSCs mengalihkan
investasinya ke negara lain yang bisa menerima syarat kerja yang mungkin lebih
buruk."
Persaingan
negara berkembang mendapatkan investasi GSCs memunculkan perlombaan minimalis (race to the bottom). Negara yang
menawarkan syarat investasi murah dengan hambatan paling kecil jadi destinasi
investasi favorit. Misalnya, banyak negara yang menawarkan penyediaan kawasan
ekonomi khusus, yang pengaturannya diatur khusus, berbeda dengan UU nasional.
Ini, misalnya, dilakukan Filipina, Sri Lanka, dan Meksiko. Bagaimana mungkin
negara berdaulat diatur oleh dua sistem perundangan demi investasi asing? Ada
juga negara menawarkan fasilitas investasi bebas pajak sampai puluhan tahun dan
tanpa aturan soal lingkungan, seperti dilakukan Vietnam dan Kamboja.
Masalahnya,
bila tata kelola ekonomi global berlangsung seperti ini, bagaimana tujuan
pembangunan berkelanjutan (SDGs) akan dicapai? Seperti diketahui, dari 17 target
global SDGs tahun 2030, efek GSCs berkorelasi terhadap tujuan nomor 8 tentang
mempromosikan pertumbuhan ekonomi bekelanjutan dan pekerjaan produktif;
pembangunan industri yang inklusif dan berkesinambungan (tujuan nomor 9);
penurunan ketimpangan (nomor 10), kesinambungan produksi dan konsumsi (nomor
12).
Bila
MNCs berlomba mencari negara yang menawarkan kewajiban pajak longgar, dari
manakah sumber pembiayaan pembangunan? Yang harus dijaga adalah bagaimana peran
pemerintah tetap sebagai regulator perundangan dan bertanggung jawab atas
kesejahteraan rakyat tak boleh digantikan oleh kekuatan korporasi
internasional.
Inilah
yang disinyalir konferensi ILO sebagai bentuk ketimpangan tata kelola (governance gap) saat sebuah praktik
bisnis bisa berjalan tanpa kontrol pemerintah nasional dan global. Yang
dipersoalkan di sini bukan sistem fleksibilitas kerja, melainkan praktik
negatifnya. Dalam banyak studi ditemukan kecenderungan GSCs hanya fokus pada
keuntungan, tetapi kecil tanggung jawabnya pada perbaikan kondisi kerja,
pemenuhan hak normatif buruh, jaminan sosial, termasuk hambatan untuk
pengorganisasian buruh dan pembuatan perjanjian kerja bersama.
Hal
yang paling disoroti masalah upah dan jam kerja. Biaya produk per unit dan
jangka waktu penyelesaian pemborongan kerja sudah ditetapkan antara pembeli dan
pemasok global. Jadi, apabila pemerintah menaikkan upah minimum melebihi labor cost' yang sudah ditetapkan
pemasok global, yang sering terjadi pengemplangan upah minimum atau aksi
relokasi pabrik. Begitu juga masalah jam kerja, walau UU sudah menetapkan 42
jam per minggu, demi mengejar target buruh terpaksa harus bekerja melebihi
aturan. Praktik inilah yang disebut sebagai "perbudakan modern".
Dunia
memang tak akan pernah sama lagi. Bila dulu negara-negara bergantung pada
penanaman modal langsung (FDI), selanjutnya industri GSCs akan jadi sumber
pendanaan penting negara-negara Selatan. GSCs telah jadi cara umum dalam
mengorganisasi investasi, produksi, dan perdagangan global. Negara berkembang,
khususnya, menjadikan GSCs sebagai andalan untuk penciptaan lapangan kerja.
Seperti yang dilansir Organisasi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD, saat
ini diperkirakan 80 persen perdagangan global untuk kategori ekspor dilakukan
MNCs melalui GSCs).
Pilihan untuk Indonesia
Pengaturan
fleksibilitas kerja di sejumlah negara berbeda satu sama lain, tergantung
kondisi ekonomi, pasar kerja, dan cakupan jaminan sosial. Di Jepang dan Korea
Selatan, alih daya hanya untuk 26 jenis pekerjaan. Namun, tahun 2015 Jepang
merevisi aturannya. Pekerja alih daya berlaku untuk semua jenis pekerjaan,
kecuali untuk jenis pekerjaan berbahaya, tetapi dengan syarat alih daya harus
dikonsultasikan dengan serikat buruh tingkat perusahaan. Di Australia, alih
daya dibebaskan dengan syarat upah diberikan 25 persen lebih tinggi sebagai
kompensasi karena tak dapat pesangon, bonus, dan tunjangan masa kerja.
Indonesia
tak terlalu jelas dalam pengaturan alih daya. Selain membingungkan, terlalu
banyak penyimpangan dengan modus beragam. Indonesia sebenarnya bisa memilih
jalan sederhana. Pertama, bisa melalui pemberian upah yang lebih tinggi kepada
alih daya. Jumlahnya harus sepadan dengan kompensasi pesangon per bulan. Untuk
Indonesia sekitar 8,3 persen per bulan.
Kedua,
menetapkan jumlah pekerjaan yang bisa dialih daya, seperti Korea Selatan. Untuk
mengatasi kemungkinan adanya jenis pekerjaan yang sulit dikategorikan sebagai
pekerjaan bisnis utama atau pendukung, perlu ada aturan ketenagakerjaan yang
menetapkan adanya konsultasi bipartit di tingkat perusahaan. Perkembangan
industri akan terus berkembang dan makin rumit, UU pasti akan terlambat
mengadaptasi. Di sinilah perlunya melibatkan dialog bipartit. Seperti apa yang
dialami Jepang, awalnya hanya menetapkan 18 jenis pekerjaan yang boleh dialih
daya, direvisi menjadi 26 jenis, terakhir direvisi lagi menjadi hanya sebatas
kesepakatan bipartit. Ketimpangan tata kelola harus ditutup dengan menempatkan
perundangan nasional sebagai acuan berbisnis. Selanjutnya, harus ada tata
kelola global untuk mengatur etika berbisnis menjauh dari model persaingan
dengan syarat terburuk. Melahirkan konvensi ILO baru untuk mengatur akan hal
ini jadi sangat penting. Indonesia sebaiknya memilih jadi pendukung lahirnya
konvensi baru ini nantinya.
Sebagai
negara penerima GSCs, sudah layaknya Indonesia setuju adanya pengaturan global
tentang GSCs. Sebab, secara matematis justru negara pemilik MNCs yang akan
merasa "dirugikan" dengan pengaturan ini. Jangan mengikuti kilah
negara Uni Eropa yang menyatakan tidak perlu lagi ada aturan baru karena sudah
ada pengaturan etika global untuk berbisnis yang dibuat Badan PBB tahun 2000 (The United Nations Guiding Principles on
Business and Human Rights). Sebab, faktanya instrumen ini tak efektif.
Selain tidak mengikat, perjanjian ini hanya diikuti 10 persen MNCs dari ribuan
MNCs di dunia. Ada juga instrumen yang hampir sama yang dibuat negara OECD, ada
deklarasi ILO tentang panduan berbisnis untuk MNCs, dan ada aturan yang dibuat
anak perusahaan bank dunia, tetapi semua aturan ini tidak mengikat, jadi tidak
memiliki kekuatan. Internasional perlu melahirkan aturan yang bersifat mengikat
agar ketimpangan ekonomi global tidak semakin melebar.
oleh Rekson
Silaban
disadur
dari Kompas, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar