Salah satu asumsi politik adalah bahwa sumber-sumber yang
ada di masyarakat itu terbatas. Adalah tugas pemerintah membuat alokasi dan
distribusi serta realokasi dan redistribusi sumber-sumber yang terbatas itu
secara adil.
Tugas pemerintah itu setiap tahun termanifestasi ke dalam
bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Melalui APBN, pemerintah
mengalokasikan anggaran itu untuk berbagai sektor dan mendistribusikannya ke
daerah atau kelompok mana saja. Manakala dijumpai adanya ketimpangan
antarsektor, daerah, dan kelompok-kelompok, pemerintah biasanya membuat
kebijakan realokasi dan redistribusi.
Ketika sumber-sumber (pendapatan) yang terbatas itu
relatif lancar perjalanannya, kebijakan realokasi dan distribusi serta
realokasi dan redistribusi bisa lebih leluasa dilakukan. Akan tetapi, manakala
sumber-sumber itu seret, kebijakan semacam itu tidak mudah dilakukan.
Alokasi dan
distribusi
Hal inilah yang terjadi pada tahun-tahun belakangan.
Implikasi kelesuan ekonomi dunia dan dalam negeri telah berpengaruh pada
berkurangnya pendapatan negara, baik dari pajak maupun nonpajak. Berkurangnya
pendapatan itu sudah terasa sejak tahun lalu dan lebih terasa tahun ini, yang
memaksa pemerintah melakukan perubahan asumsi di dalam penyusunan APBN
Perubahan (APBN-P).
Pendapatan dari sektor pajak, misalnya, dipatok turun Rp
19,6 triliun dan pendapatan negara bukan pajak dipatok turun Rp 68,4 triliun
(Kementerian Keuangan, 2016). Konsekuensinya, terdapat perubahan makna dari
perubahan tersebut. Kalau pada tahun-tahun sebelumnya perubahan bermakna akan
adanya penambahan anggaran, tahun ini bermakna pada pengurangan anggaran
sebesar Rp 50 triliun, dan belakangan dilakukan pemotongan jadi Rp 70 triliun.
Sebagai konsekuensi dari perubahan semacam itu, terdapat
dua isu pokok di dalam APBN-P tahun ini. Pertama, berkaitan dengan kebijakan
alokasi dan distribusi serta realokasi dan redistribusi, apakah sesuai dengan
janji-janji pemerintah yang berfokus pada Nawacita? Kedua, terkait isu defisit
anggaran, yang mengalami kenaikan dari 2,15 persen menjadi 2,48 persen dari
produk domestik bruto (PDB).
Mengingat sumber pendapatan negara bertambah terbatas,
pertimbangan pokok pemerintah dalam membuat kebijakan alokasi dan distribusi
serta realokasi dan redistribusi adalah melakukan prioritasisasi terhadap
program-program yang dibuat.
Sejak awal memasuki gelanggang pemerintahan, pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menyadari semakin terbatasnya sumber-sumber itu.
Karena itu, ada dua skenario pokok yang dicanangkan. Pertama, melakukan
restrukturisasi kementerian dan lembaga pemerintahan. Kedua, menggunakan
prinsip money follows programs/activities
di dalam menentukan kebijakan alokasi dan distribusi serta kebijakan
realokasi dan redistribusi.
Skenario pertama tak berhasil lantaran restrukturisasi
kementerian mati suri karena kebutuhan menampung pendukung politik lebih besar.
Sementara itu, pembubaran lembaga-lembaga yang tumpang tindih juga belum cukup
memuaskan. Implikasinya, penganggaran yang mempertimbangkan eksistensi
kementerian dan lembaga juga tetap tidak bisa dihindari.
Skenario kedua dicoba untuk lebih konsisten. Sebagaimana
tercermin di dalam APBN-P, terdapat pemotongan besar-besaran program-program
yang bernuansa pemborosan. Sebutlah seperti perjalanan dinas dan
kegiatan-kegiatan yang diperkirakan tidak memiliki impak yang jelas. Selain
itu, juga terdapat upaya prioritasisasi program, seperti untuk pembangunan
infrastruktur, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), dan pembangunan
pedesaan melalui dana desa.
Meski demikian, prioritasisasi program-program
pembangunan yang ada dalam APBN-P 2016 ini juga sulit optimal karena tetap
tersandera oleh struktur kementerian/lembaga yang masih cukup gemuk tersebut.
Selain itu, cara menentukan prioritasisasi juga terlihat tidak sepenuhnya
didasarkan prioritas nasional secara menyeluruh, melainkan juga didasarkan pada
prioritas kementerian/lembaga yang terkait. Hal ini, misalnya, terlihat dari
cara pemotongan yang lebih menggunakan jalan 'sama rata' dan bukan pada
kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak.
Tantangan defisit
Usulan defisit dalam APBN-P sebesar 2,48 persen dari PDB secara sepintas tak mengandung tantangan. Defisit ini masih di bawah ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam penjelasan Ayat 3 Pasal 12 UU ini dikatakan, "defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto."
Usulan defisit dalam APBN-P sebesar 2,48 persen dari PDB secara sepintas tak mengandung tantangan. Defisit ini masih di bawah ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam penjelasan Ayat 3 Pasal 12 UU ini dikatakan, "defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto."
Meski demikian, rencana itu perlu dilaksanakan secara
hati-hati mengingat asumsi penerimaan pendapatan negara, pajak maupun bukan
pajak pajak, belum tentu terealisasi secara baik. Sampai akhir Mei 2016,
misalnya, penerimaan pajak baru mencapai Rp 364,1 triliun atau 26,8 persen dari
yang ditargetkan.
Dalam usulan APBN-P 2016 memang dicantumkan adanya
penerimaan pendapatan dari pengampunan pajak sebesar Rp 165 triliun. Penerimaan
ini, kalau bisa diwujudkan, bisa jadi penyegar di dalam penerimaan negara saat
ini dan penerimaan pajak untuk tahun-tahun mendatang. Namun, target ini oleh
sejumlah ekonom dipandang terlalu tinggi dan karena itu pula akan sangat berat
untuk direalisasi.
Melalui asumsi bahwa target penerimaan negara belum tentu
dapat direalisasi dan pengeluaran dapat dilakukan secara maksimal, terdapat
kemungkinan pembengkakan defisit anggaran. Pengalaman 2015 telah menjadi
pelajaran berharga. Ketika itu, defisit anggaran yang dipatok di APBN-P 2015
sebesar 1,9 persen. Tetapi, mengingat realisasi anggaran baru 91,2 persen dan
penerimaan negara tak sesuai target, telah membuat defisit itu membengkak
menjadi 2,8 persen.
Berangkat dari pengalaman dan asumsi seperti itu, defisit
anggaran 2016 bisa berpotensi membengkak di atas 3 persen. Sekiranya hal
demikian yang terjadi, itu akan berpotensi melahirkan kegaduhan politik baru. Presiden
bisa dianggap melanggar UU tentang Keuangan Negara, yakni tidak mampu
mengendalikan defisit anggaran.
Memang, saat ini peta politik di DPR telah bergeser.
Mayoritas partai-partai di DPR telah mendukung pemerintah sehingga pemerintah
bisa lebih leluasa mengendalikan politisi di Senayan. Akan tetapi, ketika
pelanggaran itu terjadi, situasinya bisa menjadi lain. Banyak pihak akan
menggorengnya.
Kita semua juga tahu bahwa pasca reformasi, politik tidak
hanya di Senayan. Politik juga ada di dalam masyarakat. Isu pelanggaran UU akan
menjadi isu yang mematuk perbincangan publik yang sangat besar, dan pada
akhirnya kegaduhan politik juga akan menjalar ke masyarakat.
Menyadari hal seperti itu, tidak ada jalan lain,
pemerintah harus melakukan pengetatan pengeluaran. Di antaranya adalah
prioritasisasi pembangunan harus benar-benar dilakukan secara lebih sistematis,
melalui perevisian-perevisian anggaran, misalnya, ketika APBN-P telah disahkan.
Pengetatan seperti itu memang tidak mengenakkan. Akan tetapi, itu lebih baik
daripada kegaduhan politik akibat pelanggaran UU Keuangan Negara mengenai
defisit anggaran. Semoga!
oleh Kacung Marijan
disadur dari Kompas, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar