Pemuda/pemudi
Indonesia yang tengah menempuh pendidikan master dan doktor, di luar dan dalam
negeri, sungguh menumbuhkan rasa optimistis tentang masa depan perguruan tinggi
dan meningkatnya mutu sumber daya manusia kita secara keseluruhan.
Mereka
itu khususnya para penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
dari Pemerintah RI melalui Kementerian Keuangan. Jumlahnya hingga awal 2016
sekitar 5.000 orang. Beberapa yang studi doktor di Belanda dan Jerman sudah di
tahun ke-3 meskipun usianya baru 27-28 tahun. Kebanyakan yang di tingkat master
usianya 20 tahunan. Jika setelah master langsung melanjutkan ke jenjang S-3,
mereka juga akan menjadi doktor di usia sekitar 30 tahun.
Artinya,
dalam waktu tidak terlalu lama lagi Indonesia akan memiliki ribuan doktor baru
setiap tahun dengan rata-rata masa produktif keilmuan jauh lebih panjang
daripada selama ini. Di Asia, "panen-raya" SDM terdidik Indonesia
nantinya hanya kalah dari Tiongkok. Sejak 10 tahun terakhir, Pemerintah
Tiongkok mengirimkan pemuda/pemudinya studi keluar negeri, yang pada jenjang
S-3 saja jumlahnya sekitar 6.000 orang per tahun.
Bagi
Indonesia, rasa optimistis itu makin kuat karena orang-orang muda yang dibiayai
negara itu bukan tipe generasi laissez-faire.
Mereka tidak memandang pendidikan semata-mata sebagai wahana mobilitas vertikal
individual. Juga bukan tipe "generasi tak-peduli" seperti analisis
pedagog Mochtar Buchori.
Dari
obrolan dengan sejumlah penerima beasiswa LPDP di Belanda dan Jerman, sangat
terasa komitmen dan kepedulian mereka terhadap pembangunan Indonesia. Aura
kompetensi, wawasan, ambisi, dan orientasi karier mereka menegaskan potensi
kolektif yang dahsyat bagi kemajuan Tanah Air di masa depan jika dikelola
dengan baik secara institusional.
Angin segar
Secara
khusus, kehadiran doktor-doktor muda itu merupakan angin segar bagi dunia
perguruan tinggi (PT) di Indonesia. Meski tak semua dari mereka akan/telah
berstatus dosen, penambahan secara signifikan jumlah doktor akan meningkatkan
daya kompetitif PT sebagai salah satu pilihan lapangan pekerjaan.
Sesuai
UU Guru dan Dosen, salah satu syarat menjadi dosen adalah berpendidikan minimal
S-2/master. Mereka yang berijazah doktor menikmati posisi istimewa karena
sampai sekarang masih tergolong langka. Hingga 2013, jumlah doktor di Indonesia
cuma sekitar 11 persen dari total 154.968 dosen tetap PT.
Di sisi
lain, dosen-dosen berijazah doktor itu banyak yang telah mendekati/melewati
usia 50 tahun. Produktivitasnya pun surut. Akibatnya, di berbagai tempat kita
jumpai dosen-dosen berijazah doktor, tetapi kinerjanya tidak berkontribusi
terlalu signifikan terhadap peningkatan daya saing PT-PT di Indonesia.
Dengan
hadirnya ribuan doktor muda beberapa tahun lagi, seleksi jadi dosen PT bisa
makin ketat. Seperti di Jerman, usia biologis seseorang, usia ijazah doktornya,
serta rata-rata jumlah publikasi berdasarkan perbandingan usia biologis dan
usia ijazah doktornya adalah faktor-faktor saling terkait yang menjadi dasar
pertimbangan dalam seleksi calon dosen. Tujuannya untuk memperoleh kandidat
dengan potensi, produktivitas, dan durasi masa kerja seoptimal mungkin.
Atmosfer
akademik di PT dipastikan juga semakin dinamis. Akan tiba saatnya ketika
berijazah doktor saja tidak cukup menjamin kualitas dan keahlian. Seorang
doktor dituntut punya riset-riset post-doktoral yang serius dan publikasi
secara berkelanjutan dan konsisten agar dapat bertahan secara keilmuan. Semua
ini niscaya menjadi atmosfer akademik dan praktik yang lumrah di PT-PT
Indonesia beberapa tahun ke depan.
Kepemimpinan kaum muda
Seluruh
peluang optimalisasi potensi kolektif para doktor muda akan hilang jika
lapangan pekerjaan, sistem karier, dan mekanisme imbal jasa di Indonesia kurang
kompetitif. Doktor-doktor kita akan mencari kesempatan yang lebih baik di
negara lain. Investasi pemerintah jadi sia-sia. Tantangan ini semakin besar
karena pasar bebas ASEAN dan Asia Pasifik memungkinkan migrasi sumber daya
manusia terdidik secara lebih terbuka.
Dunia
PT sebagai salah satu pilihan lapangan pekerjaan dapat kehilangan kesempatan
dari kehadiran doktor-doktor muda itu jika tidak segera melakukan pembenahan
internal. Selama ini yang dikeluhkan adalah minimnya fasilitas laboratorium,
perpustakaan, dan dana riset. Meskipun hal-hal ini krusial, saya kira akar
permasalahan ada pada stagnasi sistem dan iklim kerja akibat karakter
kepemimpinan PT yang secara umum tidak adaptif dan lambat merespons ide-ide
pembaruan.
Rata-rata
kepemimpinan PT di Indonesia saat ini berada di tangan kaum tua. Atmosfer
akademik juga ditentukan oleh sepak terjang politik kaum tua, yang
memain-mainkan kekuasaan apa pun yang tergenggam di lahan sempit birokrasi
kampus. Kasus-kasus di beberapa tempat menunjukkan semangat dan kemauan
dosen-dosen muda untuk maju dengan melakukan pengembangan riset dan aktivitas
akademik yang serius sering dihambat atau bahkan dimatikan oleh mentalitas
birokratis atasan atau seniornya sendiri, alih-alih diberi ruang, diarahkan,
dan dibimbing.
"Tua"
di sini tidak hanya dari segi usia biologis, tetapi juga perspektif
kepemimpinan dan orientasi pengembangan ilmu. Kepemimpinan kaum tua bisa saja
berisi orang-orang relatif muda usia, tetapi produk kerja akademik, khususnya
risetnya yang terakhir sudah 5-10 tahun lalu, bahkan lebih. Di antara mereka
ada yang sama sekali tidak memiliki pengalaman keilmuan internasional di
bidangnya. Entah bagaimana PT-PT dengan profil kepemimpinan demikian mewujudkan
misi "menjadi perguruan tinggi riset yang diakui dunia" yang telah
beramai-ramai mereka rumuskan sendiri.
Kehadiran
doktor-doktor muda dengan semangat dan perspektif baru berpotensi merevolusi
stagnasi atmosfer akademik dan membawa pembaruan kinerja secara radikal. Namun,
hal ini mustahil terjadi jika paradigma kepemimpinan PT tidak diubah agar siap
menerima kehadiran, kiprah, dan dinamika kerja kaum muda.
Karena
itu, alih-alih mewacanakan impor rektor yang malah memicu reaksi bernuansa xenofobis dan chauvinistik, Menristek dan Dikti Muhammad Nasir (dan juga Presiden
Jokowi!) lebih baik menyiapkan cetak biru paradigma baru kepemimpinan PT agar
dijiwai semangat dan sifat-sifat kaum muda. Di antaranya progresif-gesit,
terbuka pada perubahan, dan akomodatif terhadap kebutuhan dan pengembangan
potensi warga kampus. Selain itu, dengan 35 persen hak suara di tangannya pada
pemilihan rektor PT negeri di seluruh Indonesia, Menristek dan Dikti harus
mengembangkan di dalam dirinya paradigma baru kepemimpinan PT yang berorientasi
pada kaum muda.
Paradigma
kepemimpinan PT perlu dirombak agar PT-PT di Indonesia menjadi pilihan lapangan
pekerjaan yang menarik dan kompetitif bagi ribuan doktor baru yang segera
kembali ke Tanah Air dan siap berbakti. Jika doktor-doktor itu dikelola dengan
kepemimpinan yang dilandasi semangat dan jiwa zaman sehingga mereka punya ruang
untuk berkembang optimal, masa depan PT di Indonesia pasti cerah. Pada saat
itu, persoalan rendahnya peringkat PT dan minimnya publikasi ilmiah, yang tanpa
disadari telah menjadi dasar dan rujukan hampir semua kebijakan strategis
pengelolaan PT saat ini, akan terselesaikan dengan sendirinya oleh kinerja
dahsyat mereka.
oleh Agus
Suwignyo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar