Komisi Pemberantasan
Korupsi menduga potensi korupsi dalam pengelolaan dana desa sangat besar
(Kompas, 13/5/2016). Meskipun argumen yang dibangun cacat tautologis, tetapi
gagasan untuk menjernihkan aparat pemerintah perlu didukung melalui telisik
pola korupsi (di) desa.
Tautologi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) ditunjukkan oleh analogi korupsi program nasional
pemberdayaan masyarakat (PNPM) masa lalu terhadap transfer dana desa masa kini.
PNPM dikelola kelompok masyarakat dan pendamping, sehingga korupsi hanya mungkin
dilakukan keduanya. PNPM justru mengharamkan aparat desa pada semua tahapan
kegiatan. Namun, mengherankan bila KPK menyodorkan pendamping guna mengawasi
dan menghilangkan korupsi dana desa.
Menggali akar politik
korupsi desa sejak abad ke-17, sejarawan Ong Hok Ham mencatat, raja meminjamkan
tanahlungguh (duduk, akar kata kedudukan), tetapi tanpa kepastian gaji aparat.
Kepala desa menggalang rakyat bekerja bakti mengolah lahan. Buah pemanenan
menjadi upeti raja, adapun kelebihan panen halal dikuasai kepala desa. Semakin
tinggi keuntungannya, kepala desa dinilai piawai mengapitalisasi kedudukannya.
Namun, interpretasi
kehalalan runtuh sejak gaji bulanan birokrasi diterapkan Deandels pada 1808.
Kelebihan hasil bumi di luar gaji menjadi haram dan jatuh sebagai kasus
korupsi.
Dialektika interpretasi
korupsi atau kapitalisasi kedudukan terus berlangsung hingga era UU Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa. Alokasi dana desa (ADD) dan dana desa menyediakan
sumber daya bagi pemerintah kabupaten guna mengucurkan penghasilan tetap
seluruh aparat pemerintahan desa. Kepala desa hingga ketua rukun tetangga
mengenggam gaji dan tunjangan bulanan, dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.
Surat edaran dari Kemendagri membatasi penghasilan tetap ini maksimal 30 persen
ADD.
Hampir tidak pernah
dijumpai kasus korupsi penghasilan tetap aparat desa karena aturan dan
pelaporannya telah pasti dan kaku. Penghasilan tetap itu hanya mungkin dipungli
oleh aparat kabupaten atau kecamatan.
Laporan korupsi hampir
semuanya mencuat dari ranah pembangunan, lantaran diinterpretasi sebagai lahan
kapitalisasi kedudukan kepala desa. Pemahaman serupa menggiring wartawan
gadungan, LSM palsu, dan oknum birokrasi di atas desa menakut-nakuti kepala
desa seraya berharap remah recehan.
Sejak krisis moneter
hingga 2014, program-program pemberdayaan mengubah aliran dana dari aparat desa
kepada kelompok masyarakat dan pendamping. Tidak mengherankan, lahir
kasus-kasus pelarian dana oleh pendamping, serta penggelapan uang oleh pengurus
unit pengelola keuangan di kecamatan dan kelompok masyarakat di desa. Tercatat
pula kasus pembentukan kelompok fiktif.
Dua pencegahan
Berkaca dari PNPM, KPK
memberi contoh korupsi sampai Rp 200 juta pada satu desa. Dibandingkan
rata-rata aliran pembangunan sebesar Rp 250 juta, nilainya fantastis setara 80
persen. Sebenarnya, PNPM hanya melaporkan penyalahgunaan dana 0,3 persen, walau
nilainya tetap menjulang, Rp 63 miliar selama 2007-2012.
Luput terdeteksi, butir
pendapatan asli desa (PAD) yang rendah dalam anggaran pendapatan dan belanja
desa (APBDes) kerap menyembunyikan lubang korupsi. Jasa layanan administrasi,
retribusi pasar dan perdagangan, jual beli lahan, bahan galian hingga mineral
pertambangan seharusnya tercatat sebagai PAD. Sayangnya, kuasa interpretasi
kapitalisasi kedudukan membelokkan dana ke saku aparat pemerintah desa.
Sangkaan korupsi kepada
aparat desa mudah merembet kepada aparat kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga
pusat. Modusnya pungutan liar dan korupsi berjemaah. Yang lebih rumit diatasi
berupa sinyalemen lubang korupsi yang tercipta melalui pasal-pasal peraturan
dari pusat hingga kabupaten.
Pemerintah pusat dan
kabupaten meresponsnya dengan menambah rinci aturan pelaporan anggaran.
Tujuannya kian mempersempit celah kapitalisasi kedudukan, dan mendeteksi
secepat mungkin tindakan koruptif melalui butir-butir laporan.
Di lapangan, strategi
pertama ini melahirkan kelemahan, manakala aturan yang rinci dan seragam
berlawanan dari keragaman kebutuhan belanja pemerintah desa atau munculnya
kejadian luar biasa (KLB). Dalam setahun terakhir, adanya penghasilan tetap aparat
desa menggerakkan kehadiran kerja mereka rutin tiap hari, tetapi pembangunan
kantor desa baru tergolong pelanggaran anggaran. Anggaran KLB bencana atau
penyakit menular lazim dicadangkan rendah, sehingga tidak pernah cukup kala
musibah benar- benar terjadi dalam skala besar.
Strategi kedua
menekankan transparansi dan akuntabilitas keuangan. Di Kabupaten Serang,
Banten, perencanaan anggaran tiap desa disusun dalam musyawarah desa,
ditetapkan dalam peraturan desa, kemudian diumumkan secara lisan dan tertulis.
Di akhir tahun, pemerintah desa mempresentasikan laporan keuangan dalam
musyawarah desa kembali.
Setelah melalui
perdebatan, keputusan akhir penerimaan laporan keuangan dituangkan pula dalam
peraturan desa. Pada awal tahun anggaran berikutnya, inspektorat kabupaten
mengecek laporan desa sekaligus memberikan bimbingan teknis perbaikan untuk
laporan tahun berikutnya.
Strategi kedua lebih
mungkin mencegah korupsi di desa secara berkelanjutan. Daripada sinyalemen
korupsi berkembang politis hingga mengganggu proses pelayanan warga, lebih baik
lawan politik kepala desa, wartawan gadungan, LSM palsu, aparat inspektorat
kabupaten, hingga BKPK beradu argumentasi dalam musyawarah desa.
oleh Ivanovich Agusta
disadur dari Kompas, Selasa, 21 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar