Tulisan
Prof Irfan Ridwan Maksum berjudul "Darurat Desentralisasi Fungsional"
(Kompas, 7/6/2016) menarik didiskusikan karena khusus mengangkat Pulau Batam
sebagai fakta unik dalam pengelolaan daerah otonom di negeri ini.
Bahkan
boleh jadi pengelolaan kawasan "hinter
land Singapura" itu satu-satunya wilayah administrasi pemerintahan di
dunia yang tak berdaya berhadapan dengan badan negara berwatak korporasi (Badan
Pengusahaan, BP, Batam; sebelumnya Badan Otorita), dalam posisi yang tumpang
tindih baik kewenangan maupun wilayah cakupan.
Pihak
pemerintah daerah (pemda) sendiri tampak gamang menghadapi situasi konflik
kewenangan seperti itu. Dampaknya, antara lain, seperti yang dikatakan Gubernur
Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun, bahwa pihak investor kebingungan dengan
status Batam sekarang ini (Kompas, 6/7/2016). Suasana ketaknyamanan para
pejabat pemda seperti itu sebenarnya sudah lama terjadi, termasuk dikeluhkan
pada saat kunjungan bersama di Kepri antara Komisi II DPR, Ombudsman RI, dan
Kementerian Agraria/BPN, beberapa minggu lalu.
Dimensi psikologis
Sikap
gamang itu sangat beralasan karena Pemkot Batam merasa terus berada dalam
kendali BP Batam sehingga tak otonom dalam merencanakan pembangunan wilayah
administrasinya sendiri beserta seluruh potensi sumber daya ekonomi yang ada di
dalamnya. Implikasinya, pelayanan pemkot terhadap masyarakatnya terganggu.
Untuk membangun kantor-kantor pemerintah dalam rangka pelayanan publik pun tak
bisa langsung direalisasikan karena kewenangan pemanfaatan lahan ada di bawah
Otorita atau BP Batam.
Prof
Irfan Ridwan sangat tepat memberi istilah "cacat bawaan" kebijakan
pengelolaan Batam sehingga menjadikan persoalan ketegangan kedua lembaga itu
terus berkepanjangan hingga sekarang ini. Benar bahwa pengelolaan Batam
sekarang produk kebijakan di era pemerintah Orde Baru yang sentralistik,
militeristik, dan otoriter. Juga karena tidak dilakukan perubahan, penyesuaian
atau sinkronisasi di era reformasi ini, utamanya setelah Kota Batam resmi jadi
pemda otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 53/1999. Seandainya tidak beralih
status dari kota administratif jadi kota definitif-otonom, barangkali
persoalannya tidak serumit seperti sekarang ini.
Meski
demikian, yang luput dibahas oleh Prof Irfan Ridwan adalah dimensi psikologis
kelembagaan BP Batam yang sudah jauh lebih mapan ketimbang Pemkot Batam. BP
Batam sudah memiliki sejarah perjalanan panjang dalam mengelola Batam. Dimulai
sejak dekade awal Orde Baru, yakni melalui Keppres No 74/1971 tentang
Pengembangan Pembangunan Pulau Batam; diperkuat lagi dengan Keppres No 41/1973
tentang Daerah Industri Pulau Batam; SK Mendagri No 43/1977 tentang Pengelolaan
dan Penggunaan Tanah di Daerah industri Pulau Batam; Keppres No 41/1978 tentang
Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse; Keppres No 56/1984
tentang Penambahan Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan
Penetapannya sebagai Wilayah Bonded
Warehouse; Keppres No 28/1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja
Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan
Berikat; SK BPN No 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah
Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-pulau Sekitarnya.
Di era
pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, posisi BP Batam diperkuat lagi dengan
UU No 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Posisi
hukum kelembagaan BP Batam seperti itu semakin diperkuat oleh pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan beberapa peraturan
pemerintah (PP) dan keppres terkait. Posisi BP Batam semakin dimapankan oleh
pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dikeluarkannya Keppres No 8/2016
tentang Komite Ekonomi dan Industri Nasional (sekaligus pengangkatan susunan
keanggotaan pengelolaan BP Batam).
Sejarah
panjang dan posisi hukum yang kuat Badan Otorita atau (sekarang) BP Batam itu
memiliki beberapa implikasi kelembagaan. Pertama, sudah menjadi bagian dari
bisnis atau urusan pemerintah pusat yang tidak bisa dihilangkan begitu saja.
Setiap rezim pemerintahan, mulai dari Orde Baru hingga era reformasi, tetap
menjadikan Batam sebagai bagian dari garapan empuk baik bagi para pejabat
politik maupun pebisnis.
Oleh
karena itu, bisa dipahami jika "gugatan" Pemprov Kepri atau Pemkot
Batam selalu saja diabaikan, termasuk di dalamnya tidak dilakukannya
sinkronisasi setelah Pemkot Batam menjadi daerah otonomi. Karena jika Pemkot
Batam diperkuat kewenangannya sebagaimana daerah otonomi lainnya di Indonesia,
niscaya secara langsung akan menghilangkan "lahan empuk" para pihak
dari pusat yang selama ini jadi penikmatnya.
Kedua,
semua pihak yang berurusan di Batam, utamanya kalangan pebisnis atau investor
baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sudah menganggap Badan Otorita atau
BP Batam sebagai satu-satunya wadah yang dijamin oleh UU dan berbagai peraturan
pemerintah untuk mewujudkan rencana bisnis mereka. Setidaknya para pebisnis
sudah tahu cara berurusan dengan badan pemerintah yang berwatak korporasi,
termasuk karakter para pengelolanya, kendati tidak sedikit juga selama ini
merasa dikecewakan akibat pelayanan yang terkadang tidak berkepastian.
Ketiga,
pemapanan posisi Badan Otorita atau BP Batam barangkali juga tak bisa
dilepaskan dengan keraguan pemerintah terhadap kemampuan pemda (provinsi atau
kota) untuk mengambil alih semua urusan investasi untuk pengembangan atau
pembangunan wilayah Batam. Hal ini terkait dengan karakter pemerintah daerah
selama ini yang umumnya larut dalam agenda-agenda pragmatis jangka pendek di
tengah pertempuran kepentingan politik lokal yang begitu kuat (periode lima
tahunan). Jika diserahkan atau menjadikan BP Batam di bawah kendali pemda,
misalnya, maka diragukan akan selalu terpengaruh dengan guncangan dalam
pertempuran politik lokal; sesuatu yang tidak sehat dalam kaitan dengan bisnis
dan investasi.
Beri otonomi khusus
Apa
yang mau dikatakan di sini bahwa Badan Otorita atau BP Batam eksis seolah
menyubordinasi pemkot setempat lebih karena sebuah produk sejarah panjang
pengembangan wilayah, di mana pemerintah di negeri ini dulu pernah bermimpi bagaimana
memanfaatkan posisi strategis Batam untuk memberi warna pembangunan berwatak
modernisme guna menyaingi Singapura. Hanya saja, kebijakan politik di era
reformasi tidak konsisten untuk terus mengawal agar mimpi pemerintahan era
Soeharto (di mana BJ Habibie sebagai pemikir dan sekaligus pendorong
kebijakannya) bisa terwujud.
Model
pengembangan ekonomi kawasan seperti yang dilakukan melalui Badan Otorita atau
BP Batam sebenarnya sangat diperlukan untuk mengembangkan wilayah-wilayah
terdepan atau potensial lainnya di negeri ini. Tentu saja dengan tidak membuat
kesalahan yang sama seperti sekarang ini terjadi di Batam sehingga sekaligus
menghindari keraguan Prof Irfan Ridwan akan adanya "virus Batam"
merambah daerah-daerah otonomi lainnya di Nusantara ini.
Terhadap
disharmoni kewenangan antara Pemkot Batam dan BP Batam sendiri, kita semua
tentu sepakat agar hal itu segera diakhiri. Jika tidak, yang dirugikan adalah
masyarakat Kota Batam khususnya dan Kepri pada umumnya, selain juga para
pemangku kepentingan terkait lainnya. Tepatnya, dalam kasus seperti ini negara
harus hadir dalam membenahi kejanggalan pengelolaan daerah/wilayah yang
berimplikasi negatif itu.
Dalam
kaitan itu, barangkali pemerintah perlu mengambil salah satu dari dua langkah
kebijakan. Pertama, jadikan Batam sebagai daerah otonomi khusus (otsus) untuk
pembangunan ekonomi perbatasan dengan pengaturan posisi BP Batam berada dalam
bingkai otsus itu. Atau, kedua, segera pastikan zonasi kewenangan yang
memastikan batas-batas kawasan yang menjadi wilayah kewenangan Pemkot Batam dan
BP Batam.
oleh
Laode Ida
disadur dari Kompas, Selasa, 21 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar