Editors Picks

Selasa, 21 Juni 2016

Badan Otorita dan Otonomi Abu-abu

Tulisan Prof Irfan Ridwan Maksum berjudul "Darurat Desentralisasi Fungsional" (Kompas, 7/6/2016) menarik didiskusikan karena khusus mengangkat Pulau Batam sebagai fakta unik dalam pengelolaan daerah otonom di negeri ini.

Bahkan boleh jadi pengelolaan kawasan "hinter land Singapura" itu satu-satunya wilayah administrasi pemerintahan di dunia yang tak berdaya berhadapan dengan badan negara berwatak korporasi (Badan Pengusahaan, BP, Batam; sebelumnya Badan Otorita), dalam posisi yang tumpang tindih baik kewenangan maupun wilayah cakupan.

Pihak pemerintah daerah (pemda) sendiri tampak gamang menghadapi situasi konflik kewenangan seperti itu. Dampaknya, antara lain, seperti yang dikatakan Gubernur Kepulauan Riau (Kepri) Nurdin Basirun, bahwa pihak investor kebingungan dengan status Batam sekarang ini (Kompas, 6/7/2016). Suasana ketaknyamanan para pejabat pemda seperti itu sebenarnya sudah lama terjadi, termasuk dikeluhkan pada saat kunjungan bersama di Kepri antara Komisi II DPR, Ombudsman RI, dan Kementerian Agraria/BPN, beberapa minggu lalu.

Dimensi psikologis
Sikap gamang itu sangat beralasan karena Pemkot Batam merasa terus berada dalam kendali BP Batam sehingga tak otonom dalam merencanakan pembangunan wilayah administrasinya sendiri beserta seluruh potensi sumber daya ekonomi yang ada di dalamnya. Implikasinya, pelayanan pemkot terhadap masyarakatnya terganggu. Untuk membangun kantor-kantor pemerintah dalam rangka pelayanan publik pun tak bisa langsung direalisasikan karena kewenangan pemanfaatan lahan ada di bawah Otorita atau BP Batam.

Prof Irfan Ridwan sangat tepat memberi istilah "cacat bawaan" kebijakan pengelolaan Batam sehingga menjadikan persoalan ketegangan kedua lembaga itu terus berkepanjangan hingga sekarang ini. Benar bahwa pengelolaan Batam sekarang produk kebijakan di era pemerintah Orde Baru yang sentralistik, militeristik, dan otoriter. Juga karena tidak dilakukan perubahan, penyesuaian atau sinkronisasi di era reformasi ini, utamanya setelah Kota Batam resmi jadi pemda otonom berdasarkan Undang-Undang Nomor 53/1999. Seandainya tidak beralih status dari kota administratif jadi kota definitif-otonom, barangkali persoalannya tidak serumit seperti sekarang ini.

Meski demikian, yang luput dibahas oleh Prof Irfan Ridwan adalah dimensi psikologis kelembagaan BP Batam yang sudah jauh lebih mapan ketimbang Pemkot Batam. BP Batam sudah memiliki sejarah perjalanan panjang dalam mengelola Batam. Dimulai sejak dekade awal Orde Baru, yakni melalui Keppres No 74/1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam; diperkuat lagi dengan Keppres No 41/1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam; SK Mendagri No 43/1977 tentang Pengelolaan dan Penggunaan Tanah di Daerah industri Pulau Batam; Keppres No 41/1978 tentang Penetapan Seluruh Daerah Industri Pulau Batam sebagai Wilayah Usaha Bonded Warehouse; Keppres No 56/1984 tentang Penambahan Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Bonded Warehouse; Keppres No 28/1992 tentang Penambahan Wilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan Penetapannya sebagai Wilayah Usaha Kawasan Berikat; SK BPN No 9-VIII-1993 tentang Pengelolaan dan Pengurusan Tanah Industri Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau-pulau Sekitarnya.

Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, posisi BP Batam diperkuat lagi dengan UU No 36/2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Posisi hukum kelembagaan BP Batam seperti itu semakin diperkuat oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan beberapa peraturan pemerintah (PP) dan keppres terkait. Posisi BP Batam semakin dimapankan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan dikeluarkannya Keppres No 8/2016 tentang Komite Ekonomi dan Industri Nasional (sekaligus pengangkatan susunan keanggotaan pengelolaan BP Batam).

Sejarah panjang dan posisi hukum yang kuat Badan Otorita atau (sekarang) BP Batam itu memiliki beberapa implikasi kelembagaan. Pertama, sudah menjadi bagian dari bisnis atau urusan pemerintah pusat yang tidak bisa dihilangkan begitu saja. Setiap rezim pemerintahan, mulai dari Orde Baru hingga era reformasi, tetap menjadikan Batam sebagai bagian dari garapan empuk baik bagi para pejabat politik maupun pebisnis.

Oleh karena itu, bisa dipahami jika "gugatan" Pemprov Kepri atau Pemkot Batam selalu saja diabaikan, termasuk di dalamnya tidak dilakukannya sinkronisasi setelah Pemkot Batam menjadi daerah otonomi. Karena jika Pemkot Batam diperkuat kewenangannya sebagaimana daerah otonomi lainnya di Indonesia, niscaya secara langsung akan menghilangkan "lahan empuk" para pihak dari pusat yang selama ini jadi penikmatnya.

Kedua, semua pihak yang berurusan di Batam, utamanya kalangan pebisnis atau investor baik dari dalam negeri maupun luar negeri, sudah menganggap Badan Otorita atau BP Batam sebagai satu-satunya wadah yang dijamin oleh UU dan berbagai peraturan pemerintah untuk mewujudkan rencana bisnis mereka. Setidaknya para pebisnis sudah tahu cara berurusan dengan badan pemerintah yang berwatak korporasi, termasuk karakter para pengelolanya, kendati tidak sedikit juga selama ini merasa dikecewakan akibat pelayanan yang terkadang tidak berkepastian.

Ketiga, pemapanan posisi Badan Otorita atau BP Batam barangkali juga tak bisa dilepaskan dengan keraguan pemerintah terhadap kemampuan pemda (provinsi atau kota) untuk mengambil alih semua urusan investasi untuk pengembangan atau pembangunan wilayah Batam. Hal ini terkait dengan karakter pemerintah daerah selama ini yang umumnya larut dalam agenda-agenda pragmatis jangka pendek di tengah pertempuran kepentingan politik lokal yang begitu kuat (periode lima tahunan). Jika diserahkan atau menjadikan BP Batam di bawah kendali pemda, misalnya, maka diragukan akan selalu terpengaruh dengan guncangan dalam pertempuran politik lokal; sesuatu yang tidak sehat dalam kaitan dengan bisnis dan investasi.

Beri otonomi khusus
Apa yang mau dikatakan di sini bahwa Badan Otorita atau BP Batam eksis seolah menyubordinasi pemkot setempat lebih karena sebuah produk sejarah panjang pengembangan wilayah, di mana pemerintah di negeri ini dulu pernah bermimpi bagaimana memanfaatkan posisi strategis Batam untuk memberi warna pembangunan berwatak modernisme guna menyaingi Singapura. Hanya saja, kebijakan politik di era reformasi tidak konsisten untuk terus mengawal agar mimpi pemerintahan era Soeharto (di mana BJ Habibie sebagai pemikir dan sekaligus pendorong kebijakannya) bisa terwujud.

Model pengembangan ekonomi kawasan seperti yang dilakukan melalui Badan Otorita atau BP Batam sebenarnya sangat diperlukan untuk mengembangkan wilayah-wilayah terdepan atau potensial lainnya di negeri ini. Tentu saja dengan tidak membuat kesalahan yang sama seperti sekarang ini terjadi di Batam sehingga sekaligus menghindari keraguan Prof Irfan Ridwan akan adanya "virus Batam" merambah daerah-daerah otonomi lainnya di Nusantara ini.

Terhadap disharmoni kewenangan antara Pemkot Batam dan BP Batam sendiri, kita semua tentu sepakat agar hal itu segera diakhiri. Jika tidak, yang dirugikan adalah masyarakat Kota Batam khususnya dan Kepri pada umumnya, selain juga para pemangku kepentingan terkait lainnya. Tepatnya, dalam kasus seperti ini negara harus hadir dalam membenahi kejanggalan pengelolaan daerah/wilayah yang berimplikasi negatif itu.

Dalam kaitan itu, barangkali pemerintah perlu mengambil salah satu dari dua langkah kebijakan. Pertama, jadikan Batam sebagai daerah otonomi khusus (otsus) untuk pembangunan ekonomi perbatasan dengan pengaturan posisi BP Batam berada dalam bingkai otsus itu. Atau, kedua, segera pastikan zonasi kewenangan yang memastikan batas-batas kawasan yang menjadi wilayah kewenangan Pemkot Batam dan BP Batam.


oleh Laode Ida 
disadur dari Kompas, Selasa, 21 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar