Editors Picks

Kamis, 16 Juni 2016

Transaksi Dagang Anjlok



Neraca perdagangan periode Januari hingga Mei tahun ini memang masih mencatatkan surplus US$2,69 miliar dan US$375,6 juta untuk periode Mei. Namun pemerintah perlu mewaspadai tren penurunan ekspor maupun impor sepanjang lima tahun terakhir.


Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor dan impor periode Januari-Mei pada tahun ini ternyata membukukan nilai terendah dalam lima tahun terakhir. Sejak 2012, BPS mencatat nilai ekspor dan impor ternyata terus merosot.

Ekspor migas pada periode Januari-Mei, misalnya, pada tahun ini membukukan nilai US$5,31 miliar melorot 69,04% di bandingkan dengan periode sama 2012 sebesar US$17,15 miliar.

Pada Mei tahun ini, sektor migas kembali membukukan defisit perdagangan—berturut-turut sejak Januari—senilai US$710,7 juta atau tertinggi sejak awal tahun.

Kepala BPS Suryamin menyebutkan surplus neraca perdagangan secara akumulatif pada awal tahun hingga Mei 2016 senilai US$2,69 miliar belum dapat menyamai capaian periode sama tahun lalu sebesar US$3,75 miliar.

“Sebenarnya potensi migas cukup besar untuk menutup surplus, karena kebutuhannya banyak, lifting menurun terus, jadi pasti impor,” ujarnya, Rabu (15/6).

Dia mengakui nilai ekspor Mei 2016 dibandingkan dengan periode sama tahun lalu masih tergerus dengan turun hingga 9,75%. Total nilai ekspor Mei tercatat US$11,51 miliar, sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya US$11,47 miliar.

Suryamin menyatakan peningkatan ekspor Mei 2016 didorong oleh naiknya ekspor migas sebesar 7,42% menjadi US$957,9 juta, sedangkan ekspor nonmigas turun 0,28% menjadi US$10,53 mi liar.

Peningkatan ekspor migas didorong oleh meningkatnya ekspor minyak mentah sebesar 30,23%, sementara ekspor hasil minyak turun 17,16% dan ekspor gas turun 4,40%.

“Harga minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari US$37,2 per barel pada April 2016 menjadi US$44,68 per barel pada Mei 2016,” katanya.

Nilai impor Mei 2016 justru naik 2,98% dibandingkan dengan April 2016, tetapi turun 4,12% terhadap Mei 2015. “Kalau secara akumulatif, impor barang konsumsi Januari-Mei 2016 secara year on year naik 14,15%. Ini dugaannya antisipasi pua sa dan lebaran,” ucapnya.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai perlambatan perekonomian global menyebabkan nilai ekspor terus melorot.

Dia mengatakan neraca perdagangan yang mengalami surplus US$375,6 juta menyimpan sisi negatif karena baik nilai ekspor maupun nilai impor mengalami penurunan. Surplus terjadi karena tingkat penurunan impor lebih besar daripada laju penurunan ekspor.

“Bagusnya dia surplus, Yang tidak bagusnya itu dia ekspornya turun impornya juga turun,” katanya , kemarin.

Senior Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi mengatakan penurunan ekspor secara year-on-year karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor Indonesia, terutama di China dan Amerika Serikat.

Ekspor ke China pada Mei 2016 turun 6,18% dengan total US$64,7 juta dan Amerika Serikat turun 4,68% dengan total US$62,8 juta. Penurunan ekspor tertinggi ke negara tujuan India yang turun 9,06% dengan total US$72,4 juta.

“Sementara ekspor migas naik secara month to month lebih karena faktor kenaikan harga walau kenaikan harga ini ter batas,” katanya.

Di sisi lain, turunnya nilai impor secara tahunan disebabkan oleh investasi di dalam negeri yang cenderung melambat.

Secara keseluruhan, dia menilai surplus pada neraca perdagangan (year to date) lebih didorong oleh penurunan im por ketimbang perbaikan kinerja ekspor secara signifikan.

Kebijakan Impor
Direktur Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai kebijakan impor pemerintah jelas berpengaruh terhadap performa neraca perdagangan. “Tentu saja dampaknya negatif apalagi impornya bahan pangan, barang konsumsi basis sementara impor yang produktif malah turun,” tuturnya.

Menurutnya, pola ini tak sehat untuk perekonomian dalam negeri. Terlebih, dia melihat ketergantungan impor semakin tinggi. Dia memandang pemerintah harus mengubah kebijakan dalam menghadapi gejolak pangan agar hal serupa tak terulang terus-menerus dan memberatkan kinerja ekspor-impor.

Senada, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia I Kadek Dian Sutrisna menilai secara keseluruhan tren menunjukkan impor bahan baku dan modal memang menurun. “Ini mengindikasikan bahwa investasi dan industri belum menunjukkan perkembangan yang berarti,” tuturnya.

Terkait hal tersebut, menurutnya, keberhasilan implementasi paket kebijakan pemerintah akan sangat berperan dalam mendorong investasi yang pada gilirannya menggenjot ekspor sehingga neraca perdagangan membaik.
 
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menilai pelaku usaha membutuhkan serangkaian insentif, termasuk insentif fiskal dan ekspor sehingga ekspor manufaktur dengan nilai tambah tinggi bisa terpantik.

Namun, hingga kini pengusaha belum merasakan perbaikan di bidang industri manufaktur. “Masih belum dirasakan. Belum ada kebijakan yang berpihak,” katanya.

disadur dari Bisnis, Kamis, 16 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar