Neraca
perdagangan periode Januari hingga Mei tahun ini memang masih mencatatkan
surplus US$2,69 miliar dan US$375,6 juta untuk periode Mei. Namun pemerintah
perlu mewaspadai tren penurunan ekspor maupun impor sepanjang lima tahun
terakhir.
Berdasarkan
data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor dan impor periode Januari-Mei pada
tahun ini ternyata membukukan nilai terendah dalam lima tahun
terakhir. Sejak 2012, BPS mencatat nilai ekspor dan impor ternyata terus
merosot.
Ekspor
migas pada periode Januari-Mei, misalnya, pada tahun ini membukukan nilai
US$5,31 miliar melorot 69,04% di bandingkan dengan periode sama 2012 sebesar
US$17,15 miliar.
Pada
Mei tahun ini, sektor migas kembali membukukan defisit
perdagangan—berturut-turut sejak Januari—senilai US$710,7 juta atau tertinggi
sejak awal tahun.
Kepala
BPS Suryamin menyebutkan surplus neraca perdagangan secara akumulatif pada awal
tahun hingga Mei 2016 senilai US$2,69 miliar belum dapat menyamai capaian
periode sama tahun lalu sebesar US$3,75 miliar.
“Sebenarnya
potensi migas cukup besar untuk menutup surplus, karena kebutuhannya banyak, lifting menurun terus,
jadi pasti impor,” ujarnya, Rabu (15/6).
Dia
mengakui nilai ekspor Mei 2016 dibandingkan dengan periode sama tahun lalu
masih tergerus dengan turun hingga 9,75%. Total nilai ekspor Mei tercatat
US$11,51 miliar, sedikit lebih tinggi dari bulan sebelumnya US$11,47 miliar.
Suryamin
menyatakan peningkatan ekspor Mei 2016 didorong oleh naiknya ekspor migas
sebesar 7,42% menjadi US$957,9 juta, sedangkan ekspor nonmigas turun 0,28%
menjadi US$10,53 mi liar.
Peningkatan
ekspor migas didorong oleh meningkatnya ekspor minyak mentah sebesar 30,23%,
sementara ekspor hasil minyak turun 17,16% dan ekspor gas turun 4,40%.
“Harga
minyak mentah Indonesia di pasar dunia naik dari US$37,2 per barel pada April
2016 menjadi US$44,68 per barel pada Mei 2016,” katanya.
Nilai
impor Mei 2016 justru naik 2,98% dibandingkan dengan April 2016, tetapi turun
4,12% terhadap Mei 2015. “Kalau secara akumulatif, impor barang konsumsi Januari-Mei
2016 secara year on year
naik 14,15%. Ini dugaannya antisipasi pua sa dan lebaran,” ucapnya.
Menteri
Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution menilai perlambatan
perekonomian global menyebabkan nilai ekspor terus melorot.
Dia
mengatakan neraca perdagangan yang mengalami surplus US$375,6 juta menyimpan
sisi negatif karena baik nilai ekspor maupun nilai impor mengalami penurunan.
Surplus terjadi karena tingkat penurunan impor lebih besar daripada laju
penurunan ekspor.
“Bagusnya
dia surplus, Yang tidak bagusnya itu dia ekspornya turun impornya juga turun,”
katanya , kemarin.
Senior
Economic Analyst Kenta Institute Eric Alexander Sugandi mengatakan penurunan
ekspor secara year-on-year
karena adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor
Indonesia, terutama di China dan Amerika Serikat.
Ekspor
ke China pada Mei 2016 turun 6,18% dengan total US$64,7 juta dan Amerika
Serikat turun 4,68% dengan total US$62,8 juta. Penurunan ekspor tertinggi ke
negara tujuan India yang turun 9,06% dengan total US$72,4 juta.
“Sementara
ekspor migas naik secara month
to month lebih karena faktor kenaikan harga walau kenaikan harga
ini ter batas,” katanya.
Di
sisi lain, turunnya nilai impor secara tahunan disebabkan oleh investasi di
dalam negeri yang cenderung melambat.
Secara
keseluruhan, dia menilai surplus pada neraca perdagangan (year to date) lebih
didorong oleh penurunan im por ketimbang perbaikan kinerja ekspor secara
signifikan.
Kebijakan Impor
Direktur
Penelitian Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal
menilai kebijakan impor pemerintah jelas berpengaruh terhadap performa neraca
perdagangan. “Tentu saja dampaknya negatif apalagi impornya bahan pangan,
barang konsumsi basis sementara impor yang produktif malah turun,” tuturnya.
Menurutnya,
pola ini tak sehat untuk perekonomian dalam negeri. Terlebih, dia melihat
ketergantungan impor semakin tinggi. Dia memandang pemerintah harus mengubah
kebijakan dalam menghadapi gejolak pangan agar hal serupa tak terulang
terus-menerus dan memberatkan kinerja ekspor-impor.
Senada,
peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas
Indonesia I Kadek Dian Sutrisna menilai secara keseluruhan tren menunjukkan
impor bahan baku dan modal memang menurun. “Ini mengindikasikan bahwa investasi
dan industri belum menunjukkan perkembangan yang berarti,” tuturnya.
Terkait
hal tersebut, menurutnya, keberhasilan implementasi paket kebijakan pemerintah
akan sangat berperan dalam mendorong investasi yang pada gilirannya menggenjot
ekspor sehingga neraca perdagangan membaik.
Ketua
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Benny Soetrisno menilai pelaku usaha
membutuhkan serangkaian insentif, termasuk insentif fiskal dan ekspor sehingga
ekspor manufaktur dengan nilai tambah tinggi bisa terpantik.
Namun,
hingga kini pengusaha belum merasakan perbaikan di bidang industri manufaktur.
“Masih belum dirasakan. Belum ada kebijakan yang berpihak,” katanya.
disadur
dari Bisnis, Kamis, 16 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar