APA yang
diharapkan DPR dengan melarang Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
Rini Soemarno ke DPR? Pertanyaan ini pantas diajukan karena sejak Desember 2015
hingga hari ini, tak sekali pun Menteri BUMN bisa menginjakkan kakinya ke DPR.
Padahal, sebagai pembantu Presiden Jokowi, Rini harusnya melakukan banyak
rapat-kerja dengan DPR, terutama dengan Komisi VI yang menjadi mitra kerjanya.
Terakhir,
beberapa hari lalu, karena larangan masih berlaku, pembahasan anggaran
Kementerian BUMN untuk tahun anggaran 2017 terpaksa diwakili oleh Menteri
Keuangan Bambang Brodjonegoro. Padahal, pembahasan seharusnya dilakukan oleh
menteri yang bersangkutan karena sudah masuk ke pembahasan dengan komisi.
Ikhwal larangan
terhadap Rini tersebut tertuang dalam surat yang ditandatangani Ketua DPR
sementara Fadli Zon setelah paripurna DPR menerima rekomendasi Panitia Khusus
(Pansus) Pelindo II agar Presiden Jokowi memberhentikan Menteri BUMN. Bahasa
yang dipakai saat itu, "...pansus sangat merekomendasikan kepada
Presiden RI untuk menggunakan hak prerogatifnya memberhentikan Rini Soemarno
sebagai Meneg BUMN." Alasannya, Pansus Pelindo II menemukan
fakta bahwa Menteri BUMN dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap tindakan
yang melanggar peraturan perundang-undangan.
Paripurna DPR
Desember lalu sesungguhnya tidak pernah memutuskan pelarangan rapat kerja
terhadap Menteri BUMN. Hal tersebut 'disusupkan' Pansus Pelindo II yang
diketuai politikus PDIP, Rieke Dyah Pitaloka, setelah paripurna melalui tangan
Ketua DPR sementara Fadli Zon. Saat itu Ketua DPR Setya Novanto sedang disidang
Majelis Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus yang dikenal dengan 'papa minta
saham'.
Tujuannya
jelas, untuk menekan Presiden Jokowi agar memberhentikan Rini Soemarno.
Tak bisa
dimungkiri, yang paling getol memelopori pembentukan Pansus Pelindo II ialah
PDIP. Partai ini pula yang paling getol mendorong agar Menteri BUMN
diberhentikan. Bahkan, sebelum Pansus Pelindo II dibentuk dan bekerja, suara
untuk memberhentikan Rini sudah terdengar nyaring. Menjelang reshuffle jilid
pertama, terdengar kencang istilah 'Trio Macan', yang terdiri atas Luhut Binsar
Pandjaitan, Andi Widjajanto, dan Rini Soemarno.
Sudah menjadi
rahasia umum, ketiga orang ini paling tidak disukai PDIP.
Salah satu
analisis yang bisa dikemukakan, ketiganya memiliki hubungan renggang dengan
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ketiganya juga dinilai menghalangi
akses PDIP ke Presiden Jokowi, terutama Luhut dan Andi yang memang menjadi
pejabat di ring Istana. Luhut sebagai Kepala Staf Presiden, jabatan yang
tampaknya memang diadakan untuk Luhut, dan Andi menjabat sebagai Sekretaris
Kabinet.
Dalam reshuffle
gelombang pertama, Andi tersingkir dan Luhut tergeser menjadi Menteri Politik
Hukum dan Keamanan. Andi hilang sama sekali, salah satunya karena rekaman yang
disebarkan--lagi-lagi--politisi PDIP, bahwa ada bawahan Presiden Jokowi yang
diduga telah menghina sang presiden. Orang tersebut ditengarai Andi Widjajanto.
Adapun Luhut tergeser ke jabatan yang lebih tinggi sesungguhnya, tetapi tidak
di ring Istana lagi.
Rini Soemarno,
satu dari 'Trio Macan', masih bertahan di posisinya sebagai menteri BUMN.
Berbeda dengan Luhut dan Andi, Rini bukan dianggap menghalangi akses ke
Presiden Jokowi, karena memang tidak berada di ring Istana, melainkan karena
hubungan yang memburuk dengan Megawati. Padahal, sebelumnya, Rini sangat dekat
dengan Megawati. Salah satu spekulasi menyatakan bahwa buruknya hubungan
tersebut karena dipicu dicoretnya Budi Gunawan (BG) sebagai salah seorang calon
menteri Jokowi. Sebagai Ketua Tim Transisi, Rini dianggap bertanggung jawab
sehingga BG dicoret.
Jadi, sejak
awal, keberadaan Menteri Rini memang tidak direstui kalangan PDIP, lebih
spesifik lagi Teuku Umar. Berbagai upaya dilakukan untuk menurunkan Rini, mulai
dari isu Trio Macan hingga Pansus Pelindo II, tetapi upaya itu belum membuahkan
hasil. Pelarangan Menteri Rini ke DPR dapat dinilai sebagai upaya 'menekan'
Presiden Jokowi. Walaupun bahasa yang digunakan terkesan 'halus', menggunakan
hak prerogatif, yang dimaui PDIP jelas bahwa Presiden harus memberhentikan
Rini. Bila tidak, selamanya Rini tidak boleh datang ke DPR.
Mau apa?
Sudah hampir
enam bulan berselang, Rini ternyata tetap berada di posisinya sebagai Menteri
BUMN. Presiden Jokowi tidak memberhentikannya. Bahkan sebaliknya terlihat,
semakin ditekan, Presiden Jokowi justru semakin tidak mau mengikuti kemauan
pihak-pihak yang menekan. Gaya Solo sang presiden, kendati terlihat lembut,
ternyata sangat keras dan kukuh dengan apa yang diputuskan.
Watak Jokowi
yang 'lembut tapi keras' itu sesungguhnya sudah terlihat ketika tahun lalu
tidak melantik BG sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Serangan bergelombang datang dari semua jurusan untuk menyudutkan Presiden,
bahwa melantik BG ialah sebuah keharusan. Tidak hanya PDIP yang menyerang,
tetapi juga hampir semua partai yang ada di DPR, terutama partai pendukung yang
saat itu tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Partai-partai yang
berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP) justru bersikap lunak, termasuk
Gerindra.
Tidak itu saja,
putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang kontroversial, yang
memenangkan BG, juga turut menekan. Demikian pula opini-opini yang sengaja
dibangun para ahli, pengamat purnawirawan polisi, dan beberapa anggota DPR dari
Komisi III, semuanya menyudutkan Jokowi. Semuanya menyatakan bahwa melantik BG
adalah wajib. Presiden bisa dimakzulkan bila tidak melantik BG.
Nyatanya,
Presiden tetap tidak melantik dan akhirnya memilih mengajukan Jenderal Badrodin
Haiti sebagai Kapolri.
Bila tahun lalu
saja, ketika hampir semua kekuatan politik dan nonpolitik mendukung pelantikan
BG dan Jokowi tidak melakukannya, apalagi saat ini ketika hampir semua kekuatan
politik berada di belakang Presiden Jokowi. Sekarang KMP sudah bubar.
Partai-partai yang dulu berada dalam perahu KMP sudah mendukung Jokowi.
Dukungan PPP sudah bulat, tidak lagi separuh. PAN juga mendukung setelah tampuk
kekuasaan berada di tangan Ketua MPR, Zulkifli Hasan. Terakhir, Partai Golkar
ikut dalam barisan setelah Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munuslub) di Bali
beberapa waktu lalu berlangsung sukses dan mendudukkan Setya Novanto sebagai
Ketua Umum Golkar.
Apa yang akan
dilakukan DPR, atau tepatnya PDIP, bila Jokowi tetap tidak memberhentikan Rini
Soemarno sebagai menteri BUMN? Apakah PDIP akan menggalang hak menyatakan
pendapat (HMP) untuk memberhentikan Jokowi, yang notabene presiden yang mereka
dukung sendiri dalam Pilpres 2014? Penggalangan HMP menjadi logis dan
konstitusional bila DPR menganggap bahwa Jokowi telah mengabaikan rekomendasi
DPR. Kendati dalam konteks ini, saya pernah menyatakan bahwa rekomendasi DPR
tersebut cacat hukum. Soalnya, hingga saat ini, Pansus Pelindo II belum
menyelesaikan tugasnya. Belum ada keputusan apakah DPR menerima atau menolak
hasil akhir pansus.
Ketika
pertanyaan tersebut saya lontarkan kepada Ketua Pansus Pelindo II Rieke Dyah
Pitaloka dalam debat di Metro TV, 16 Juni lalu, dia tidak mampu menjawab. Malah
Rieke menyatakan agar saya jangan 'mengompori'. Padahal, pertanyaan ini sangat
logis karena tidak mungkin pelarangan tersebut menjadi permanen. Padahal, Rini
pembantu presiden. Seorang menteri datang ke DPR bukan atas kehendak
pribadinya, melainkan atas kuasa Presiden. Menolak seorang menteri sama artinya
menolak Presiden. Tidak heran bila Saldi Isra menilai DPR kebablasan dalam soal
pelarangan tersebut (Media Indonesia, 17/6/2016).
Secara
teoretis, dalam konteks dukungan terhadap Presiden Jokowi menguat, PDIP tidak
mungkin melangkah lebih jauh. Sesungguhnya memang PDIP tidak mungkin melangkah
lebih jauh dari sejak awal.
Menggalang
pemakzulan terhadap Jokowi sama saja tindakan kamikaze, politik bunuh diri.
Jadi, memberhentikan Rini adalah tujuan akhir dari pembentukan Pansus Pelindo
II versi PDIP.
Kalangan DPR
lainnya mungkin memiliki kepentingan berbeda terhadap Pansus Pelindo II,
misalnya memburu rente dari upaya pembatalan kontrak yang sudah dibuat oleh RJ
Lino, direktur utama sebelumnya. Atau juga kepincut dengan dana segar di bank
sebesar Rp18 triliun. Itu semua menjadikan Pelindo II ibarat gadis cantik yang
banyak ditaksir pemuda.
Terlebih, bila
dikaitkan dengan kepentingan politik pada Pemilu 2019, yakni partai-partai
membutuhkan sumber-sumber dana untuk membiaya kegiatan kampanye yang tidak murah.
Politik berubah
Bagaimanapun
pelarangan seorang menteri untuk rapat kerja dengan DPR tidak boleh menjadi
modus untuk menekan presiden agar memberhentikan menteri yang bersangkutan.
Negara kita menganut sistem pemerintahan presidensial.
Mengangkat dan
memberhentikan menteri adalah kewenangan sepenuhnya presiden. Meskipun menteri
jabatan tinggi, dia hanyalah seorang pembantu. Dari sisi hukum, memberhentikan
menteri lebih mudah ketimbang memberhentikan PNS pangkat terendah sekalipun.
Memberhentikan
menteri tidak perlu memakai prosedur.
Harus ada jalan
keluar dari kemelut pelarangan ini. Dengan konstelasi politik hari ini,
Presiden Jokowi tinggal memberikan sinyal bahwa dia tidak akan memberhentikan
Menteri Rini bila memang tidak ingin memberhentikan. Kalangan DPR pasti lebih
mudah digerakkan dengan konstelasi politik hari ini. Partai-partai yang berada
di genggaman Jokowi sudah mayoritas di DPR. Kalau dulu PDIP mampu menggalang
KIH, hari ini sepertinya akan sulit mengharapkan koalisi tersebut. Terlebih KIH
sendiri tidak mayoritas di DPR.
Sebagai partai
pemenang Pemilu 2014 dan pendukung utama Presiden Jokowi, PDIP menunjukkan
anomali politik yang luar biasa. Kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan
personal di institusionalisasi menjadi kepentingan partai. Celakanya, hal
tersebut justru menyebabkan gesekan dengan presiden yang didukung sendiri.
Dalam gesekan
tersebut, terlihat justru posisi Presiden Jokowi yang menguat dari waktu ke
waktu. Bila tahun 2015, Teuku Umar yang terlihat memimpin KIH dan itu pun tidak
mayoritas di DPR, tahun 2016 Istana sendiri yang memimpin koalisi besar. Hampir
tidak ada lagi partai yang sekarang garang dengan Presiden Jokowi seperti di
awal-awal masa pemerintahannya.
Gerindra yang
paling garang pun kini lebih bersikap rasional meski tetap menjaga jarak.
Sementara PKS masih malu-malu untuk mendekat dan terlihat gamang bersikap,
tetapi jelas tidak keras lagi dalam beroposisi.
Selebihnya
partai-partai yang sudah dirangkul Jokowi, termasuk Golkar yang sekarang terlihat
'lebih PDIP ketimbang PDIP'.
Dalam
konstelasi politik yang sudah berubah tersebut, kini Presiden Jokowi terlihat
lebih percaya diri. Salah satu buktinya, nominasi Komjen Tito Karnavian sebagai
Kapolri. Jokowi tidak mengajukan BG, yang jelas-jelas dimaui Teuku Umar.
Dukungan terhadap pencalonan Tito dari segala penjuru seperti yang terlihat
saat ini, termasuk dari partai-partai yang dulu sangat gencar menyerang Jokowi
seperti Gerindra, harus dilihat sebagai dukungan terhadap Presiden Jokowi.
Politik sudah
berubah dan terus akan berubah. PDIP masih terlihat gagap dan gamang di tengah
arus perubahan tersebut. Pusat kekuasaan bukan di Teukur Umar (lagi), tetapi
sepenuhnya di Istana. Memang harusnya begitu. Dalam konteks ketatanegaraan,
tidak boleh pusat kekuasaan berada di tempat-tempat informal. Harus berada di
tempat yang formal, di Istana, sehingga lebih jelas bila harus menyikapi
kekuasaan.
Presiden yang
dipilih oleh rakyat Indonesia tidak boleh berada di bawah bayang-bayang ketua
umum sebuah partai politik kendati itu partai pendukung utama. Ketika seseorang
sudah menjadi presiden, ia menjadi presiden bagi seluruh rakyat, bukan presiden
partai tertentu saja. Fatsun politik seperti itu harus dimiliki oleh siapa pun
di Republik ini, tak terkecuali oleh mereka yang merasa paling berjasa
mengantarkan Jokowi ke altar Istana.
oleh Refly Harun
disadur dari Media Indonesia, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar