HIKMAH puasa
tak pernah bisa dihitung siapa pun, bahkan oleh banyaknya jumlah makhluk hidup
yang ada di muka bumi. Karena itu, ketika orang menulis soal manfaat, hikmah,
dan juga keutamaan ibadah puasa, banyak seperti terasa mengulang-ulang. Yang
diperbincangkan biasanya berhubungan dengan aspek kesehatan, besarnya pahala,
serta momentum untuk memperbaiki perilaku diri. Pendek kata, ibadah puasa
terasa seperti makhluk asing yang datang setahun sekali selama sebulan penuh
karena kehadirannya lebih banyak ditanggapi dengan pemaknaan yang formal.
Ibadah puasa
adalah ibadah yang tidak mementingkan aspek ritual formal. Laku puasa tak ada
yang bisa mendeteksi kecuali kita dan Tuhan saja yang tahu apakah hari itu kita
berpuasa atau tidak. Bahkan lebih jauh dari itu, jika dibaca lebih dalam
tentang syarat-syarat ibadah puasa secara fiqiyah, didapati begitu banyak
perangkap yang dapat menjadikan seseorang itu batal puasanya. Misalnya, tak
bisa menahan pikiran untuk selalu negative thinking ke orang lain, tak
mampu menahan mata untuk melihat hal-hal yang dilarang, serta tetap berbohong
kepada orang lain dan diri sendiri. Kita tahu pada hari itu ada aturan yang
kita langgar, tetapi kita tetap saja berpuasa seolah-oleh Tuhan tidak tahu.
Salah arah
antena puasa
Kesalahan
fundamental umat Islam dalam menjalankan puasa saat ini ialah tak tepatnya
antena tujuan berpuasa diarahkan. Antena hati dan pikiran lebih banyak ke arah
konsumtif dan duniawi, seperti mengingat saat berbuka dan sahur, yang
dibesarkan ialah jenis makanannya. Persiapan mudik Lebaran, seoalah-olah itu
ialah persyaratan berpuasa yang tak boleh ditinggalkan. Semua orang
berbondong-bondong menuju mal dan pusat-pusat perbelanjaan hanya demi membela
keinginan ragawi untuk dirinya, anak-anaknya, serta orangtua dan kerabatnya. Antena
tujuan berpuasa yang sudah salah arah sejak awal ini menjadi semakin akut dari
hari ke hari hingga tahun ke tahun.
Posisi antena
berpuasa kita setiap tahun tak pernah berubah karena antena diikat kesemuan
duniawi yang lama-lama menjadi karat dan susah untuk digerakkan kembali agar
arahnya berubah. Jika kesenangan duniawi bisa diinflitrasi pengetahuan dan juga
keterampilan yang seolah-olah telah menuntun kita ke arah yang benar, kita lupa
bahwa dalam setiap perilaku ternyata bukan hanya dipengaruhi pengetahuan dan
keterampilan yang kita butuhkan, melainkan juga niat yang laksana antena, tak
pernah diubah sama sekali arahnya. Padahal, niat ialah pangkal perilaku yang
sebenarnya, yang seharusnya bisa diubah setiap saat melalui kesadaran diri.
Jika perilaku
sudah berduri, niat pun akan ditumbuhi duri yang sama.
Begitulah
kira-kira jika puasa kita hanya tertuju dan berpangkal pada pikiran semata.
Perihal perilaku berduri, ada metafor yang sangat baik dari Jalaluddin Rumi
dalam salah satu puisinya di Matsnawi (1240-1246).
'Ingatlah
rumpun berduri itu setiap kebiasaan burukmu
Berulang kali
tusukannya menyobekkan kakimu
Berulangkali
kamu terluka oleh akhlakmu yang keji
Kamu tak punya
perasaan, bebal dan keras hati
Jika terhadap
luka yang kamu torehkan pada orang
Yang semua dari
watakmu yang garang
Kamu tak
peduli, paling tidak pedulikan lukamu sendiri
Kamu menjadi
bencana bagi semua orang dan diri sendiri
Ambillah kapak
dan tebas layaknya lelaki
Runtuhkan
benteng Khaibar, laksana Ali'
Puisi Jalaludin
Rumi di atas sesungguhnya berkisah tentang seorang penduduk Konya yang punya
kebiasaan aneh. Ia suka menanam duri di pinggir jalan. Setiap hari kerjanya
menanam duri. Lama kelamaan, pohon duri yang ia tanam menjadi besar. Awalnya
orang-orang yang lewat jalan itu tidak merasa terganggu oleh duri-duri. Mereka
baru mulai protes setelah duri itu mulai bercabang dan mempersempit jalan yang
dilalui mereka. Hampir setiap orang pernah tertusuk duri itu. Yang menarik
lagi, bukan orang lain saja yang terkena tusukan duri. Si penanamnya pun
berulang kali tertusuk duri tanaman yang ia pelihara.
Petugas kota
Konya lalu datang menegur orang itu dan memintanya agar menyingkirkan tanaman
berduri dari jalan. Si penanam enggan untuk menebang tanamannya. Namun, setelah
banyak orang yang protes, akhirnya ia berjanji menebang tanaman itu keesokan
harinya. Namun, ternyata pada hari berikutnya, ia menunda pekerjaannya.
Demikian pula hari berikutnya. Hal itu berlangsung terus-menerus hingga
akhirnya orang itu sudah menjadi sangat tua dan tanaman berduri itu sudah
menjadi pohon yang sangat kukuh. Orang tua itu sudah tak sanggup lagi untuk
mencabut pohon berduri yang ia tanam.
Dalam bahasa
sederhana, Jalaludin Rumi sesungguhnya sedang menasihati kita, "Kalian,
wahai orang-orang yang malang, adalah penanam duri. Tanaman berduri itu adalah
kebiasaan dan sifat buruk kalian, perilaku tercela yang selalu kalian pelihara
dan sirami. Karena perilaku buruk itu, banyak sudah yang menjadi korban dan
korban yang paling menderita adalah kalian sendiri. Karena itu, jangan menunda
menebang duri itu. Ambillah kapak dan tebang duri-duri itu sekarang agar orang
bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu olehmu."
Marilah kita
arahkan sekarang juga antena berpuasa kita untuk menebang tanaman berduri di
dalam diri kita untuk meminimalkan nafsu jahat kita, perilaku binatang kita,
dan perbuatan-perbuatan kotor lainnya, tanpa sedikit pun melihat unsur
keduniawian dalam berpuasa. Puasa benar-benar bertujuan mengarahkan kembali
harkat kemanusiaan kita yang sesungguhnya mudah untuk terintimidasi oleh
kesenangan duniawi.
Mencabut akar
berduri dalam diri hanya bisa dilakukan laku puasa yang benar, yang tak
berharap pada banyaknya pahala, tetapi berniat untuk mengubah orientasi
kehidupan ini menjadi lebih berarti bagi diri sendiri dan orang lain. Seperti
kata Allah, "Puasa itu untuk-Ku, dan hanya Aku yang paling tahu apakah
seseorang itu berpuasa karena Aku atau bukan."
Wallahualambissawab.
oleh Ahmad Baedowi
disadur dari Media Indonesia, Senin, 20 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar