ADA banyak hal yang dapat kita
diskusikan dari hasil referendum rakyat Inggris, Kamis (23/6), akhirnya
memutuskan keluar dari Uni Eropa (UE).
Dari sisi emosi, hampir semua pihak
khususnya yang memilih untuk remain (tetap di UE) terkejut dengan hasil yang
ada karena dalam dua minggu berturut-turut mayoritas lembaga poling
mengunggulkan kubu ini dibandingkan leave (meninggalkan UE). Rasa percaya diri
yang kuat juga menghinggapi para pemimpin Eropa yang dalam menit-menit
menjelang pemungutan suara, masih yakin bahwa Inggris tidak akan hengkang.
Kepanikan, kecewa dan kemarahan pun
memuncak ketika KPU Inggris mengumumkan pihak leave mencapai 51,9% dan remain
48,1%. Jumlah pemilih yang ikut referendum mencapai lebih dari 30 juta orang,
dan menurut BBC angka kepesertaan ini tertinggi dibandingkan pemilu-pemilu
Inggris sejak 1992. Inggris pun resmi keluar dari UE (Britain exit atau
Brexit).
Kegeraman para pemimpin Eropa tampak
dari pernyataan Presiden UE yang menyatakan kecewa. Dia menegaskan pembicaraan
Inggris keluar dari UE harus menunggu Perdana Menteri baru yang akan dipilih
pada Oktober nanti. Ia kesal karena negara-negara anggota UE tidak dapat segera
memutuskan langkah selanjutnya setelah hasil referendum, dan merasa seperti
disandera oleh konflik politik internal Inggris. Inggris dan UE harus segera
membahas pelaksanaan pasal 50, yang intinya bahwa keinginan dan proses
pengunduran diri dari EU harus segera dilakukan maksimal dalam dua tahun.
Negara-negara anggota EU mengkhawatirkan suasana yang tidak pasti selama masa
transisi, akan memperburuk dampak ekonomi negatif, tidak hanya kepada Inggris
tetapi juga negara-negara di sekitarnya. Secara eksternal, bagaimana dampaknya
untuk Indonesia?
UE dan variasi keanggotaan
Prinsip utama yang perlu kita yakini
bahwa tidak ada satu negara pun di dunia ini yang bisa berdiri sendiri termasuk
Inggris. Kita harus melihat Brexit sebagai keputusan politik rakyat Inggris
untuk menolak dominasi kepemimpinan UE, namun secara de facto ekonomi Inggris
tetap bagian dari Eropa secara umum dan khususnya UE. Walaupun sudah tidak
dominan lagi, ekspor Inggris paling besar diserap oleh pasar UE, kemudian
Amerika Serikat dan diikuti oleh sejumlah negara lain. Demikian pula UU, tidak
dapat mengabaikan Inggris begitu saja karena negara ini memiliki keunggulan
komparatif di sektor jasa, pendidikan dan pelayan publik. Yang lebih menjadi
pertanyaan, kerja sama apa yang akan dirintis oleh UE dan Inggris paska Brexit.
Kita juga perlu memahami bahwa
meskipun terlihat homogen, negara-negara di Eropa juga sangat heterogen dilihat
dari berbagai sisi. Misalnya, tidak semua negara di Eropa adalah anggota UE,
atau tidak semua negara UE memakai mata uang euro. Ada banyak format kerja sama
yang dapat dipilih oleh Inggris agar tetap terintegrasi dengan pasar dan
menjaga agar Eropa tetap menjadi pasar yang menyerap produk ekspornya. Model
kerja sama yang dikenal antara lain mulai format kerja sama European Economic
Area (EEA), European Free Trade Association (EFTA), EU Custom Union (EUCU)
hingga kerja sama bilateral.
Apa yang membedakan format tersebut
satu dengan format lain terutama dalam kesepakatan-kesepakatan seperti Free
Movement of Goods (FMG), Free Movement of Services (FMS), Free
Movement of Capitals (FMC), Free movement of Persons (FMP), Contribution
to EU Budgets, Application to EU Laws, EU Regulations dan Possibility of
Independently Negotiate trade aggreements within EU.
Format kerja sama
Beberapa negara Eropa yang tidak
menjadi anggota UE akan memilih format kerja sama sesuai dengan kepentingan
dalam negeri mereka masing-masing. Beberapa format yang dipilih kemudian
menjadi model kerja sama yang saat ini mungkin tengah dipertimbangkan oleh
Inggris.
Polandia dan kawan-kawan (2015)
menyebutkan setidaknya ada empat model kerja sama yang dapat dipilih oleh
Inggris untuk berhubungan dengan UE dan negara lain di dalam zona Eropa.
Pertama, adalah model Norwegia di mana Inggris dapat bekerja sama dengan UE
menggunakan format EEA dan EFTA. Dalam model ini, Inggris dan UE menjalankan
kesepakatan mulai dari FMS hingga kemungkinan melakukan negosiasi secara otonom
dengan UE seperti yang telah disebutkan di atas. Perbedaannya bahwa Inggris
hanya perlu menjalankan 350 peraturan yang terkait dibandingkan dengan 1.000an
peraturan yang harus dilakukan bila menjadi anggota UE. Beberapa peraturan yang
berpeluang dirundingkan terutama terkait dengan FMP atau imigrasi yang selama
ini memang menjadi pokok masalah.
Model kedua, adalah model Swiss
yaitu kerja sama yang dilakukan bersama UE hanya dilandasi kesepakatan EFTA dan
bilateral kedua pihak. Sampai saat ini, Swiss dan UE memiliki sekitar 120
perjanjian perdagangan bilateral. Dalam model ini, kesepakatan kerja sama
dengan model Norwegia, namun perbedaannya sebagai anggota EFTA, Inggris dapat
merundingkan aturan atau perjanjian apa saja di dalam UE yang dapat dijalankan
dan yang ditolak.
Model ketiga, adalah model Turki.
Dalam model ini, kesepakatan yang bisa dicapai terutama dalam soal FMG dan
tidak kerja sama lainnya.
Turki saat ini bisa bebas melakukan
ekspor-impor dengan tarif yang rendah namun dalam soal kebebasan warga negara
Turki untuk bekerja di negara UE masih dibatasi. Turki juga belum mendapatkan
kewajiban untuk melakukan iuran untuk UE; berbeda apabila ia menjadi anggota UE
atau tergabung dalam kerja sama EEA dan EFTA.
Keuntungan dari negara-negara yang
menjalankan model-model tersebut dibandingkan dengan menjadi anggota UE adalah
dalam hal kontrol atas sumber daya alam, agrikultur, dan masalah dalam negeri.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa agrikultur adalah sektor yang sangat
diproteksi oleh UE sehingga kebijakan dalam soal ini harus diputuskan secara
bersama oleh negara-negara anggota UE. Keluar dari EU, membuat Inggris bisa
menentukan kebijakan agrikulturnya sendiri.
Model-model tersebut juga ada
kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Model Norwegia walaupun relatif
independen dari intervensi Brussel (pusat pemerintahan UE) tetap dikritik
karena dalam kesepakatan hubungan perdagangan, Norwegia tetap didominasi oleh
EU. Tuntutan Norwegia untuk masuk ke UE sudah menjadi konsumsi debat politik
dalam negeri, namun dua kali referendum yang dilakukan (1972 dan 1994), rakyat
Norwegia tetap bahagia dalam format kerja sama yang mereka miliki dengan UE
selama ini.
Model Swiss juga dianggap tidak
terlalu cocok buat Inggris yang sektor ekonominya sangat variatif dibandingkan
dengan Swiss. Swiss punya banyak kesepakatan dengan UE, tetapi untuk urusan
keuangan mereka tidak punya kesepakatan yang membahagiakan. Sektor keuangan
Swiss masih dibebani oleh sejumlah tarif yang tidak menguntungkan buat investor
bila mereka ingin merebut pasar Eropa.
Selain itu, Swiss tidak punya
kebebasan untuk masuk ke pasar UE untuk bidang jasa keuangan. Padahal kita tahu
Inggris sangat besar dan terkemuka di sektor tersebut. Di sisi lain UE pernah
mengkritik model Swiss sebagai model gagal, karena Swiss menolak otoritas yang
lebih besar darinya padahal UE sangat ingin punya wewenang lebih atas
negara-negara anggotanya.
Sementara model Turki sangat tidak
cocok buat Inggris, dan dianggap kemunduran apabila Inggris tiba-tiba beralih
ke model tersebut. Tapi kita belum tahu juga bila situasinya seperti sekarang,
apakah kemudian akan ada pertimbangan lain untuk menganut model ini. Ada yang
mengatakan bahwa ada kesamaan antara Turki dengan Inggris yakni bahwa mereka
membutuhkan EU tetapi tidak menyukai EU.
Bagi Indonesia
Dalam jangka pendek, Indonesia dan
negara-negara berkembang lain yang menyandarkan ekspornya di sektor manufaktur
dan agrikultur mungkin justru bisa diuntungkan dengan keluarnya Inggris dari
Eropa.
Produk-produk agrikultur negara
berkembang seperti minyak kelapa sawit, kopi, atau teh adalah produk yang
sangat kompetitif di pasar Eropa. Petani-petani minyak nabati (kedelai, bunga
matahari, dll) di Eropa selama ini menikmati proteksi yang dilakukan oleh UE
terhadap impor minyak nabati kelapa sawit Indonesia. Apabila peraturan di
Inggris lebih longgar, niscaya produk-produk tersebut lebih terserap di pasar
Eropa.
Namun saya juga masih pesimistis
kemungkinan itu bisa berjalan karena produk-produk yang sudah terintegrasi
dalam global supply chain, maka tata kelolanya tidak lagi diarahkan oleh
sebuah kedaulatan hukum tunggal negara tertentu tetapi juga melibatkan non-state
actors seperti konsumen, serikat buruh, asosiasi perdagangan, atau LSM.
Bentuk tantangan yang harus dihadapi misalnya berupa hambatan non-tarif berupa
sertifikasi dan bentuk lain yang mirip, yang menyebabkan biaya produksi kita
menjadi lebih besar daripada produsen di Eropa sendiri.
Terkait agrikultur, patut dicermati
aturan UE terkait kerja sama dengan negara-negara non-UE. Skema UE terbilang
cukup kaku untuk negara-negara non-UE, bahkan belakangan Indonesia termasuk
yang dipersulit untuk melakukan ekspor CPO ke UE. Bila Inggris tertarik untuk
berinvestasi ke sektor ini, ada poin negosiasi bilateral tambahan yang perlu
dikejar Indonesia.
Dampak negatif seandainya Inggris
keluar dari EU terhadap Indonesia mungkin berjalan secara tidak langsung,
khususnya melalui Tiongkok.
Inggris bagi Tiongkok dapat disebut
sebagai Hongkong-nya Tiongkok di Eropa. Perdagangan mata uang yuan terbesar
kedua di dunia adalah Inggris setelah Hong Kong bahkan Bank Sentral China, juga
telah memiliki rencana untuk membuka cabangnya di London. Apalagi sejak IMF
menentapkan yuan sebagai special drawing rights (mata uang yang bisa
dijadikan sebagai mata uang transaksi perdagangan dunia).
Asian Infrastructure Investment Bank
(AIIB) yang dimotori oleh Tiongkok adalah jalan lain untuk mencegah efek buruk
pada perekonomian Asia.
Inggris yang memutuskan untuk
menjadi anggota AIIB adalah mitra yang bisa diakses tanpa melalui UE. Ini perlu
dimanfaatkan Indonesia.
Artinya, dengan Brexit ini, ada
peluang-peluang baru yang akan berkembang. Selain jalur kerja sama bilateral
dengan Inggris bisa dikembangkan dengan lebih intensif, UE pun pasti menjadikan
Brexit sebagai preseden untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian. Ke depan, ada
harapan baru.
oleh Dinna
Wisnu
disadur
dari Media Indoneisa, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar