Sebagai bagian dari pengawasan
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, menteri dalam negeri dan
gubernur, dalam posisi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, telah
membatalkan lebih dari 3.000 peraturan daerah. Tidak semua jenis produk hukum
daerah, peraturan daerah yang dibatalkan tersebut hanya terkait dengan
investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan masalah perizinan.
Pembatalan peraturan daerah (perda),
baik provinsi maupun kabupaten/ kota, bukanlah sesuatu persoalan baru dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebelumnya, meskipun sulit melacak jumlah
yang pasti, dalam tenggat 2002-2009, hampir 2.000 perda telah dibatalkan.
Kemudian, triwulan I-2011, lebih dari 400 perda dibatalkan. Sekiranya
pengawasan pemerintah pusat berjalan normal, jumlah produk hukum daerah yang
dibatalkan/revisi tentunya akan bertambah.
Ketika jumlah pembatalan fantastis
yang dilakukan Mendagri Tjahjo Kumolo menyeruak ke permukaan, pertanyaannya:
apakah angka yang dirilis tersebut jumlah baru atau termasuk di dalamnya jumlah
yang telah dibatalkan sebelumnya. Andaikan jumlah tersebut merupakan angka
baru, bagaimanakah tindakan/upaya preventif yang dilakukan Kemendagri selama
ini? Pertanyaan terakhir tentunya dapat pula dialamatkan kepada gubernur yang
juga memiliki wewenang dalam mengawasi perda kabupaten/kota.
Posisi perda
Meskipun Undang-Undang Dasar 1945
mengakui kekhususan dan keberadaan daerah-daerah, pendiri negara sama sekali
tidak mencantumkan posisi perda di dalam hukum dasar. Begitu pula, Ketetapan
(Tap) MPRS No XX/MPRS/1966 yang pertama sekali mengatur sumber hukum mengatur
tata-urutan peraturan perundang-undangan, perda pun tidak termasuk dalam jenis
dan hierarki perundang-undangan. Sepanjang kekuasaan sentralistik Orde Baru,
perda tidak pernah menjelma menjadi produk hukum yang merepotkan pemerintah
pusat.
Dengan terjadinya perubahan
paradigma hubungan pusat dan daerah melalui UU No 22/1999 tentang Pemerintahan
Daerah, perda berubah menjadi produk hukum yang mendapat "perhatian
khusus" pemerintah pusat. Sebagai instrumen penggerak otonomi daerah,
perda menggeliat dalam menampung hampir semua aspirasi daerah yang tersumbat
selama Orde Baru. Sekalipun UU No 22/1999 telah membuat batasan bahwa perda tak
boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan lebih tinggi, euforia
otonomi daerah melumpuhkan demarkasi ini.
Berbeda dengan Tap MPR No
XX/MPR/1966, di tengah euforia otonomi daerah, Tap MPR No III/MPR/2000
menempatkan dan memosisikan perda dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan. Pasal 3 Ayat (7) Tap MPR No III/MPR/2000 menyatakan bahwa
perda merupakan produk hukum untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya atau
aturan hukum yang lebih tinggi. Dengan posisi demikian, perda terikat dengan
logika hierarki, yaitu ketentuan hukum yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Namun, dalam ketentuan
yang sama, dinyatakan pula bahwa perda dimaksudkan untuk menampung kondisi
khusus daerah bersangkutan. Hanya hitungan bulan pasca berlakunya Tap MPR No
XX/2000, hasil Perubahan Kedua UUD 1945 (2000) menempatkan perda sebagai salah
satu produk hukum yang secara eksplisit diatur konstitusi. Ihwal ini, Pasal 18
Ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintahan daerah berhak menetapkan perda
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Dengan diposisikan sebagai hak, perda berkembang menjadi instrumen penting
dalam menjalankan otonomi daerah.
Posisi perda semakin sentral dengan
adanya penegasan yang memperjelas keberadaannya dalam pelaksanaan otonomi
daerah. Misalnya, penegasan tersebut dapat dilacak dalam UU No 12/2011
(sebelumnya UU No 10/2004) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebagai dasar hukum hierarki peraturan perundang-undangan, UU No 12/2011
menyatakan bahwa perda berisikan materi dalam rangka penyelenggaraan otonomi
daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau
penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila
ditelaah Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 dan UU No 12/2011, sadar atau tidak,
substansi "penyelenggaraan otonomi daerah dalam menampung kondisi khusus
daerah" terasa jauh lebih menonjol dibandingkan dengan "pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi". Kerumitan semakin terasa
ketika konstitusi menyatakan perda sebagai hak pemerintahan daerah dan pada
titik tertentu hak tersebut bertemu dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945
yang menyatakan pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-seluasnya.
Optimalisasi konsultasi
Ketika substansi perda sangat
mungkin bergerak lebih dominan pada otonomi daerah dan menampung kondisi khusus
daerah, tindakan koreksi menjadi suatu keniscayaan. Dalam hal ini, sebagai
produk hukum yang berada pada hierarki lebih rendah, antisipasi awal adalah
larangan umum bahwa perda tak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Larangan ini dicantumkan secara eksplisit
dalam UU No 12/2011 dan UU No 23/2014. Tidak cukup dengan larangan umum, UU No
23/2014 mengatur larangan lebih rinci. Dalam hal ini, perda tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, berupa terganggunya: (1) kerukunan
antarwarga masyarakat; (2) akses terhadap pelayanan publik; (3) ketenteraman
dan ketertiban umum; dan (4) kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Selain itu, perda dilarang melakukan diskriminasi terhadap
suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan jender. Dalam hal
larangan tidak diindahkan, perda akan berujung pada pembatalan.
Sebelum pembatalan dilakukan,
tindakan preventif yang disediakan, rancangan perda provinsi harus mendapat
evaluasi dari mendagri dan rancangan perda kabupaten/kota harus mendapat
evaluasi dari gubernur. Ketika instrumen melakukan evaluasi telah disediakan,
pertanyaan kritisnya: mengapa ribuan perda masih harus dibatalkan? Apakah
selama ini mekanisme pengawasan Kemendagri atau pemerintah provinsi tidak
berjalan sebagaimana mestinya? Pertanyaan kritis ini terasa makin penting
karena selama ini daerah (baca: DPRD dan pemerintah daerah) hampir selalu
berkonsultasi dengan Kemendagri dalam pembentukan perda.
Pada titik itu, pusat harusnya
berupaya mengoptimalkan mekanisme konsultasi yang dilakukan daerah. Alasannya,
selama ini daerah lebih banyak berkonsultasi ke Kemendagri, tetapi dalam
melakukan evaluasi rancangan perda provinsi tentang pajak daerah dan retribusi
daerah mendagri akan berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
di bidang keuangan. Sementara itu, evaluasi rancangan perda provinsi tentang
tata ruang daerah, mendagri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang tata ruang. Jika evaluasi melibatkan kementerian
lain, harusnya ketika daerah berkonsultasi, kementerian lain juga dilibatkan.
Persoalan lain yang harus menjadi
perhatian, sangat mungkin daerah kesulitan dalam membentuk perda, terutama yang
terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan masalah perizinan, karena
pengelolaan pemerintah pusat tak dilakukan dalam satu tangan. Telah menjadi
pengetahuan umum, sejumlah kementerian negara yang memiliki kepentingan dengan
perda. Kondisi demikian menjadikan daerah dalam posisi terombang-ambing dalam
menyusun substansi perda.
Namun, apabila dibaca UU No 23/2014,
langkah preventif itu lebih banyak ditujukan pada perda yang mengatur RPJPD,
RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah,
retribusi daerah, dan tata ruang daerah. Buktinya, ribuan perda yang dibatalkan
mendagri dan gubernur hanya berkaitan dengan investasi, retribusi, pelayanan
birokrasi, dan masalah perizinan. Padahal, jenis perda yang menabrak larangan
sebagaimana diatur UU No 12/2011 dan UU No 23/2014 jauh lebih bervariasi nyaris
tidak menjadi perhatian.
Obyektivitas upaya keberatan
Di luar masalah konsultasi yang
tidak bisa dioptimalkan, pedoman dalam menyusun perda, peraturan yang dibuat
pemerintah pusat pun tidak tunggal. Misalnya, adanya Peraturan Presiden No
87/2014 sebagai pelaksanaan UU No 12/2011 yang sebagian substansinya mengatur
ihwal pembentukan produk hukum daerah. Selain itu, untuk melaksanakan UU No
23/2014, dibentuk Peraturan Mendagri No 80/2015 yang juga mengatur pembentukan
produk hukum daerah. Terkait pembatalan perda, kedua aturan ini tidak
memudahkan daerah karena sebagian substansinya memiliki perbedaan.
Perbedaan paling menonjol adalah
terkait upaya keberatan yang dapat dilakukan daerah setelah perda dibatalkan.
Dalam hal ini, Perpres No 87/2014 menyatakan bahwa terhadap pembatalan perda,
daerah dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Agung. Apabila keberatan
dikabulkan, pembatalan tidak memiliki kekuatan mengikat. Sementara itu, UU No
23/2014 dan Peraturan Mendagri No 80/2015 menyatakan, apabila tidak menerima
pembatalan perda provinsi, gubernur dan/atau DPRD dapat mengajukan keberatan
kepada presiden melalui menteri sekretaris negara. Begitu pula, jika tidak
menerima pembatalan perda kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat mengajukan
pembatalan kepada mendagri melalui Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
Dengan adanya dua aturan yang
memiliki substansi yang tidak harmonis, daerah akan menghadapi masalah dualisme
apabila hendak memilih upaya mengajukan keberatan terhadap pembatalan perda.
Karena keduanya merupakan produk hukum yang masih berlaku, harusnya daerah
dapat mengajukan keberatan dengan memilih kedua jalur yang tersedia.
Masalahnya, bagaimana seandainya hasilnya kedua lembaga penilai keberatan
tersebut bertentangan satu sama lain?
Dalam konteks itu, harus diakui,
logika pengajuan keberatan yang diatur dalam Perpres No 87/2014 sebagai
pelaksana UU No 12/2011 menjadi lebih tepat. Karena pembatalan dilakukan oleh
pemegang kekuasaan eksekutif, penilaian keberatan harusnya dilakukan lembaga
lain. Ketika memilih Mahkamah Agung, perpres tersebut berupaya menjaga makna
penting mekanisme checks and balances dalam menilai perda. Sementara itu,
pilihan dalam UU No 23/2014 sangat mudah terjebak dalam logika "jeruk makan
jeruk". Artinya, obyektivitas penilaian hasil keberatan dengan mudah
dipersoalkan.
Selain obyektivitas, pilihan UU No
23/2014 membuka ruang mengajukan keberatan pembatalan perda kepada presiden
akan menambah tumpukan pekerjaan baru presiden. Bisa dibayangkan, sekiranya
setengah saja dari jumlah perda yang dibatalkan mendagri diajukan keberatan,
betapa sibuknya kantor presiden. Kiranya, masalah ini tidak diperhitungkan
secara cermat ketika merumuskan UU No 23/2014. Terlepas dari rangkaian catatan
di atas, apresiasi sebagian masyarakat ketika Mendagri membatalkan ribuan perda
bermasalah yang terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi, dan masalah
perizinan harus dijadikan modal untuk memperbaiki sejumlah aturan ihwal
pembatalan perda. Apabila yang dibatalkan sekarang lebih mudah dinilai dan
dibangun argumentasinya, perda lain yang terkait dengan soal
"penyelenggaraan otonomi daerah dalam menampung kondisi khusus
daerah" pasti jauh lebih rumit. Inilah sesungguhnya tantangan pembatalan
perda ke depan.
oleh Saldi Isra
disadur dari Kompas, Senin, 27 Juni
2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar