Secara umum label kemarahan pada
seorang pemimpin lebih dikonotasikan secara negatif daripada positif. Sebagai
contoh kasus adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
yang lebih sering dilabel sebagai pemimpin pemarah yang negatif.
Seorang konglomerat Indonesia yang
hebat pernah berkata kepada saya: pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bisa
marah, lewat sebuah kemarahan yang "pada tempatnya".
Dalam praksis manajemen dan
kepemimpinan, kemarahan sesungguhnya sebuah kompetensi yang sangat diperlukan
oleh seorang pemimpin. Memang ada yang mengatakan, ketegasan lebih diperlukan,
bukan kemarahan. Soal ini sesungguhnya lebih terkait dengan cara atau ekspresi
kemarahan. Namun, secara esensial, seorang pemimpin perlu memiliki
"kompetensi kemarahan" yang memadai.
Mendobrak "status quo"
Terkait konteks tulisan ini, saya
ingin mencuplik tulisan Profesor Sarlito Wirawan Sarwono (30 Maret 2014) yang
mengungkapkan tentang "kemarahan Ahok". Apa yang salah dengan
(kemarahan) Ahok? Dia memang pemarah, tetapi yang dimarahi adalah masyarakat
yang mengancam petugas dengan golok. Yang dimarahi, bahkan dipecat, adalah
kepala dinas yang terbukti korupsi dan mbalelo sehingga merugikan rakyat.
Bahkan hasil analisisnya terhadap kemarahan Ahok bermuara pada kesimpulan tegas
bahwa Gubernur itu marah hanya pada dua kondisi: 1) terjadi korupsi, 2) terjadi
ketidakadilan.
Sementara Malcolm X pernah
mengatakan, ".Namun, ketika mereka marah, mereka tengah membuat
perubahan". Dari beberapa uraian di atas, bisa ditarik kesimpulan
bahwa salah satu tugas terpenting pemimpin adalah membuat perubahan, dan
perubahan itu adalah mendobrak status quo. Dan, untuk konteks kepemimpinan
nasional, status quo tersebut setidaknya ada dua hal: korupsi dan
ketidakadilan.
Itu sebabnya jika muncul pemimpin yang
suka marah terhadap status quo tersebut, para pembela status quo akan balik
"marah-marah" kepada pemimpin itu meski jenis kemarahannya tentu
berbeda. Jadi, kompetensi kemarahan itu perlu dimiliki seorang pemimpin, baik
dalam kondisi organisasi normal maupun terlebih lagi kondisi status quo ekstrem
seperti kita. Secara kontekstual bisa ditegaskan bahwa kepemimpinan nasional
kita adalah kepemimpinan status quo. Kepemimpinan nasional kita adalah
kepemimpinan yang tak memiliki "kompetensi kemarahan" memadai untuk
mendobrak status quo tersebut.
Sampai di sini persoalannya menjadi
gamblang bahwa pemimpin yang baik, bahkan hebat, justru memerlukan kompetensi
kemarahan yang memadai. Ada tiga aspek kompetensi kemarahan yang perlu
dipahami.
Pertama, spirit kemarahan! Spirit
atau landasan kemarahan harus jelas, yakni mendobrak status quo dimaksud; dari
kondisinya yang paling sederhana sampai paling kompleks. Seperti telah
diuraikan sebelumnya, kondisi status quo (korupsi dan ketidakadilan) bangsa
kita termasuk dalam kategori kondisi yang kompleks. Artinya, kita bahkan
memerlukan pemimpin dengan kompetensi kemarahan yang bagus untuk menerobos
semua itu. Jadi, landasan kemarahan kepemimpinan bukanlah kemarahan tanpa sebab
atau karena tabiat temperamental belaka.
Kedua, sifat kemarahan! Kemarahan
sebagai kompetensi juga memiliki "sifat kemarahan"-dan dalam hal ini
ada dua sifat: (1) genuine (murni, ikhlas); (2) obyektif. Sifat pertama,
pemimpin marah karena dia memang ingin melakukan kebaikan dan perbaikan, perubahan
positif; bukan karena ingin menunjukkan atau pamer kekuasaan belaka. Itu
sebabnya kompetensi kemarahan seorang pemimpin merupakan antitesis dari
pemimpin yang hipokrit atau munafik, yang sepintas kelihatan sabar, kalem,
tetapi sesungguhnya dia ingin menutupi kebenaran, populis, atau sifat hipokrit
lainnya.
Sifat kedua (obyektif), pemimpin
marah untuk tujuan yang jelas, perubahan yang lebih baik bagi organisasi, serta
sebatas koridor tugas dan kewajiban. Kemarahan pemimpin bukan berlandaskan
subyektivitas sang pemimpin, misalnya karena tak suka atau sentimen. Tapi,
kemarahan yang "pada tempatnya".
Ketiga, tujuan kemarahan! Kompetensi
kemarahan dari aspek tujuan ini sangat penting karena kemarahan itu dimaksudkan
untuk menghasilkan perubahan. Dalam praksis manajemen dan kepemimpinan
disebut anger is a decisive tool-kemarahan yang menghasilkan
keputusan efektif; kemarahan yang berorientasi pada hasil. Keputusan efektif
itu tentu memecahkan persoalan, memberikan jalan keluar, dan yang terpenting:
menghasilkan perubahan!
Kemarahan subyektif
Kompetensi kemarahan seorang Ahok
sampai batas tertentu juga dimiliki dan dilakukan oleh para pemimpin potensial
lainnya. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga pernah marah dengan hebat
ketika menangkap basah petugas di sebuah jembatan timbang di Batang sedang
menerima uang sogokan dari seorang kernet truk. Atau Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini yang mencak-mencak karena Taman Bungkul kebanggaannya hancur lebur
akibat ulah satu perusahaan yang bagi-bagi es krim. Hal sama juga dilakukan
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil karena Balai Kota Bandung dipadati massa yang
memicu kemacetan hebat di mana-mana akibat ulah perusahaan yang sama
membagi-bagi es krim gratis. Kemarahan Ahok, Ganjar, Risma dan Ridwan, sampai
batas tertentu, bersinggungan dengan korupsi dan nuansa ketidakadilan.
Presiden Joko Widodo sendiri juga
tak segan menunjukkan "kompetensi kemarahan"-nya, menyangkut berbagai
status quo bangsa dan negara kita. Bahkan kemarahan itu bukan hanya tertuju
kepada jajaran pembantunya, melainkan juga kepada beberapa negara lain yang
selama ini memperlakukan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tidak adil.
Pemimpin pemarah-dalam konteks
kompetensi kemarahan seperti dimaksudkan-justru diperlukan oleh kepemimpinan nasional
negeri ini. Negeri ini sudah terlalu lama menikmati status quo ketidakadilan
dan korupsi sehingga kehilangan kompetensi kemarahan yang diperlukan. Bangsa
ini justru tak memerlukan kemarahan-kemarahan reaktif-subyektif dari mereka
(termasuk politisi pecundang) yang dilandasi dendam dan sakit hati, serta
yang paling ironis: kemarahan subyektif yang ditujukan kepada para
"pemimpin yang sedang marah pada status quo".
Ungkapan fenomenal George F
Will (Desember 1981), sesudah pengumuman darurat di Polandia, semakin
menegaskan kebutuhan kita akan "pemimpin pemarah". Katanya,
"Amarah kita meluap justru disebabkan oleh ketiadaan amarah orang-orang.
Kita memerlukan sebuah kemarahan sejati yang bisa mendorong kita untuk
bertindak positif".
Ungkapan George F Will itu, terkait
konteks tulisan ini, bermuara pada "kompetensi kemarahan" yang
diperlukan para pemimpin bangsa ini. Kemarahan yang bisa memprovokasi orang
lain dan organisasi untuk mendobrak status quo (korupsi, ketidakadilan,
atau lainnya) yang selama ini secara pasti menghancurkan bangsa kita.
oleh Herry
Tjahjono
disadur dari Kompas, Senin, 27
Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar