Akhirnya, kubu Brexit menang tipis ( 51,9%) terhadap
kubu pendukung tetap (48,1%). Namun, proses politik masih akan berlanjut, baik
di lingkungan Inggris sendiri maupun Uni Eropa. Diskusi masih akan ramai dan
aneka mitigasi pasti akan diupayakan. Meski opsi keluar tidak terhindarkan,
integrasi adalah soal derajat dan harga diri. Brexit, adalah istilah gabungan dari kata "British"
dengan kata "Exit"-- adalah sebuah gerakan yang bertujuan agar
Inggris Raya memisahkan diri dari Uni Eropa (UE). Pada 2016 ini, Inggris Raya
mengadakan referendum soal apakah Inggris Raya tetap bersama UE atau keluar
dari UE. Ini bukanlah referendum pertama. Pada tahun 1975, Inggris pernah
melakukan referendum serupa. Kala itu, hasil referendum memutuskan Inggris Raya
tetap bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa. Tetapi siap menduga, pada 24
Juni 2016, kubu yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa unggul dalam
referendum. Inggris pun bercerai dari Uni Eropa. Brexit diikuti 33 juta warga Inggris dari 46 juta pemilih
terdaftar. Hasil akhir referendum Uni Eropa baru akan diumumkan secara resmi
setelah seluruh hasil penghitungan suara dari 382 area pemilihan selesai
dihitung. Hasil akhir referendum akan diumumkan di Manchester Town Hall,
Manchester. Penggerak Brexit, Nigel
Farage, pun bersorak. Ia merayakannya dengan menyebutnya sebagai hari
kemerdekaan Inggris. "Beranilah untuk bermimpi bahwa permulaan telah
dimulai untuk Inggris yang merdeka," ujarnya. Farage juga menjabat Partai
Kemerdekaan Inggris (UKIP). Efek keluarnya Inggris dari Uni Eropa tentu saja
ada. Tidak hanya kepada Inggris sendiri, tetapi juga kepada negara-negara UE
lainnya. Dengan berada di luar UE, Inggris akan kehilangan akses pada pasar
bebas Uni Eropa dan artinya, Inggris harus mengupayakan kesepakatan perdagangan
baru dengan negara-negara di dunia. Di sisi lain, UE akan mengalami pelemahan
ekonomi dan politik dengan keluarnya Inggris dari blok mereka. Seperti Pound
dan Euro pun terjun bebas gara-gara Brexit.
Pound jatuh 9% ke level US$ 1,355. Jatuhnya lebih dari 15 sen, koreksi terdalam
yang pernah dialami Pound dalam 30 tahun terakhir. Sementara Euro anjlok 2,8%
akibat sentimen Brexit. Koreksi yang
dialami dua mata uang ini bahkan lebih parah dari yang terjadi saat krisis
finansial global 2007-2008. Mungkin saja secara politik, tetapi format
integrasi ekonomi masih tetap dipertahankan. Dan, kalaupun tak sampai
mengguncang keberadaan UE, Brexit
sangat mungkin menjadi guncangan bagi blok perdagangan 28 negara anggota UE.
Fakta itu bisa jadi pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan UE yang dibangun
sangat panjang dari debu Perang Dunia II. Bisa ditebak, dampak paling cepat
dari fenomena Brexit adalah guncangan
pasar keuangan yang berlanjut dengan ketidakpastian global. Sebaliknya bagi
perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek negatif,
khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Apabila ekspor turun, pertumbuhan
ekonomi juga akan melambat. Itulah sebabnya Janet Yallen tidak jadi menaikkan
suku bunga The Fed pada awal Juni lalu. Bagaimanapun, implikasi Brexit akan menjadi sumber keresahan
baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan tak pasti, sementara
pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika neraca perusahaan yang
melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke bawah dan terjadi migrasi
kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator makroekonomi. Lingkaran setan
persoalan tengah melilit negara maju. Bila negara maju melemah, perekonomian
global pun akan terguncang. Mungkin saja revisi Bank Dunia atas pertumbuhan
global dari 2,9% menjadi 2,4% masih akan berlanjut. Dampak berikutnya, jika
pertumbuhan global meredup, dampaknya akan menerjang sejumlah negara berkembang
juga. Bagi perekonomian kita, dari sisi keuangan, bisa jadi kita termasuk salah
satu negara yang diuntungkan. Keluarnya modal dari negara maju akan mencari
tempat baru di negara berkembang. Mengingat perbedaan suku bunga dan imbal
hasil investasi di pasar keuangan kita dengan sebagian besar negara maju masih
begitu besar, likuiditas bisa jadi akan mengalir ke pasar finansial kita.
Namun, dari sisi perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan
baru ini. Meski tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur
perdagangan dengan Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek
globalnya, di mana permintaan global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita
ke beberapa negara maju yang mulai pulih akan kembali surut. Walau demikian,
kita harus tetap waspada terhadap gejolak yang setiap saat bisa terjadi di
kemudian hari.
Akhirnya,
kubu Brexit menang tipis ( 51,9%)
terhadap kubu pendukung tetap (48,1%). Namun, proses politik masih akan
berlanjut, baik di lingkungan Inggris sendiri maupun Uni Eropa. Diskusi masih
akan ramai dan aneka mitigasi pasti akan diupayakan. Meski opsi keluar tidak
terhindarkan, integrasi adalah soal derajat dan harga diri.
Brexit, adalah istilah gabungan dari kata
"British" dengan kata
"Exit"-- adalah sebuah
gerakan yang bertujuan agar Inggris Raya memisahkan diri dari Uni Eropa (UE).
Pada 2016 ini, Inggris Raya mengadakan referendum soal apakah Inggris Raya
tetap bersama UE atau keluar dari UE.
Ini
bukanlah referendum pertama. Pada tahun 1975, Inggris pernah melakukan
referendum serupa. Kala itu, hasil referendum memutuskan Inggris Raya tetap
bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa.
Tetapi
siap menduga, pada 24 Juni 2016, kubu yang menginginkan Inggris keluar dari Uni
Eropa unggul dalam referendum. Inggris pun bercerai dari Uni Eropa. Brexit diikuti 33 juta warga Inggris
dari 46 juta pemilih terdaftar.
Hasil
akhir referendum Uni Eropa baru akan diumumkan secara resmi setelah seluruh
hasil penghitungan suara dari 382 area pemilihan selesai dihitung. Hasil akhir
referendum akan diumumkan di Manchester Town Hall, Manchester.
Penggerak
Brexit, Nigel Farage, pun bersorak.
Ia merayakannya dengan menyebutnya sebagai hari kemerdekaan Inggris.
"Beranilah untuk bermimpi bahwa permulaan telah dimulai untuk Inggris yang
merdeka," ujarnya. Farage juga menjabat Partai Kemerdekaan Inggris (UKIP).
Efek
keluarnya Inggris dari Uni Eropa tentu saja ada. Tidak hanya kepada Inggris
sendiri, tetapi juga kepada negara-negara UE lainnya. Dengan berada di luar UE,
Inggris akan kehilangan akses pada pasar bebas Uni Eropa dan artinya, Inggris
harus mengupayakan kesepakatan perdagangan baru dengan negara-negara di dunia.
Di sisi lain, UE akan mengalami pelemahan ekonomi dan politik dengan keluarnya
Inggris dari blok mereka.
Seperti
Pound dan Euro pun terjun bebas gara-gara Brexit.
Pound jatuh 9% ke level US$ 1,355. Jatuhnya lebih dari 15 sen, koreksi terdalam
yang pernah dialami Pound dalam 30 tahun terakhir. Sementara Euro anjlok 2,8%
akibat sentimen Brexit. Koreksi yang
dialami dua mata uang ini bahkan lebih parah dari yang terjadi saat krisis
finansial global 2007-2008.
Mungkin
saja secara politik, tetapi format integrasi ekonomi masih tetap dipertahankan.
Dan, kalaupun tak sampai mengguncang keberadaan UE, Brexit sangat mungkin menjadi guncangan bagi blok perdagangan 28
negara anggota UE. Fakta itu bisa jadi pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan
UE yang dibangun sangat panjang dari debu Perang Dunia II. Bisa ditebak, dampak
paling cepat dari fenomena Brexit
adalah guncangan pasar keuangan yang berlanjut dengan ketidakpastian global.
Sebaliknya
bagi perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek
negatif, khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Apabila ekspor turun,
pertumbuhan ekonomi juga akan melambat. Itulah sebabnya Janet Yallen tidak jadi
menaikkan suku bunga The Fed pada awal Juni lalu.
Bagaimanapun,
implikasi Brexit akan menjadi sumber
keresahan baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan tak pasti,
sementara pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika neraca
perusahaan yang melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke bawah dan
terjadi migrasi kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator makroekonomi.
Lingkaran setan persoalan tengah melilit negara maju. Bila negara maju melemah,
perekonomian global pun akan terguncang.
Mungkin
saja revisi Bank Dunia atas pertumbuhan global dari 2,9% menjadi 2,4% masih
akan berlanjut. Dampak berikutnya, jika pertumbuhan global meredup, dampaknya
akan menerjang sejumlah negara berkembang juga. Bagi perekonomian kita, dari
sisi keuangan, bisa jadi kita termasuk salah satu negara yang diuntungkan. Keluarnya
modal dari negara maju akan mencari tempat baru di negara berkembang. Mengingat
perbedaan suku bunga dan imbal hasil investasi di pasar keuangan kita dengan
sebagian besar negara maju masih begitu besar, likuiditas bisa jadi akan
mengalir ke pasar finansial kita.
Namun,
dari sisi perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan baru ini.
Meski tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur perdagangan dengan
Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek globalnya, di mana permintaan
global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita ke beberapa negara maju yang
mulai pulih akan kembali surut. Walau demikian, kita harus tetap waspada
terhadap gejolak yang setiap saat bisa terjadi di kemudian hari.
disadur
dari Neraca, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar