Editors Picks

Jumat, 01 Juli 2016

Implikasi Pasca Brexit



Akhirnya, kubu Brexit menang tipis ( 51,9%) terhadap kubu pendukung tetap (48,1%). Namun, proses politik masih akan berlanjut, baik di lingkungan Inggris sendiri maupun Uni Eropa. Diskusi masih akan ramai dan aneka mitigasi pasti akan diupayakan. Meski opsi keluar tidak terhindarkan, integrasi adalah soal derajat dan harga diri. Brexit, adalah istilah gabungan dari kata "British" dengan kata "Exit"-- adalah sebuah gerakan yang bertujuan agar Inggris Raya memisahkan diri dari Uni Eropa (UE). Pada 2016 ini, Inggris Raya mengadakan referendum soal apakah Inggris Raya tetap bersama UE atau keluar dari UE. Ini bukanlah referendum pertama. Pada tahun 1975, Inggris pernah melakukan referendum serupa. Kala itu, hasil referendum memutuskan Inggris Raya tetap bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa. Tetapi siap menduga, pada 24 Juni 2016, kubu yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa unggul dalam referendum. Inggris pun bercerai dari Uni Eropa. Brexit diikuti 33 juta warga Inggris dari 46 juta pemilih terdaftar. Hasil akhir referendum Uni Eropa baru akan diumumkan secara resmi setelah seluruh hasil penghitungan suara dari 382 area pemilihan selesai dihitung. Hasil akhir referendum akan diumumkan di Manchester Town Hall, Manchester. Penggerak Brexit, Nigel Farage, pun bersorak. Ia merayakannya dengan menyebutnya sebagai hari kemerdekaan Inggris. "Beranilah untuk bermimpi bahwa permulaan telah dimulai untuk Inggris yang merdeka," ujarnya. Farage juga menjabat Partai Kemerdekaan Inggris (UKIP). Efek keluarnya Inggris dari Uni Eropa tentu saja ada. Tidak hanya kepada Inggris sendiri, tetapi juga kepada negara-negara UE lainnya. Dengan berada di luar UE, Inggris akan kehilangan akses pada pasar bebas Uni Eropa dan artinya, Inggris harus mengupayakan kesepakatan perdagangan baru dengan negara-negara di dunia. Di sisi lain, UE akan mengalami pelemahan ekonomi dan politik dengan keluarnya Inggris dari blok mereka. Seperti Pound dan Euro pun terjun bebas gara-gara Brexit. Pound jatuh 9% ke level US$ 1,355. Jatuhnya lebih dari 15 sen, koreksi terdalam yang pernah dialami Pound dalam 30 tahun terakhir. Sementara Euro anjlok 2,8% akibat sentimen Brexit. Koreksi yang dialami dua mata uang ini bahkan lebih parah dari yang terjadi saat krisis finansial global 2007-2008. Mungkin saja secara politik, tetapi format integrasi ekonomi masih tetap dipertahankan. Dan, kalaupun tak sampai mengguncang keberadaan UE, Brexit sangat mungkin menjadi guncangan bagi blok perdagangan 28 negara anggota UE. Fakta itu bisa jadi pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan UE yang dibangun sangat panjang dari debu Perang Dunia II. Bisa ditebak, dampak paling cepat dari fenomena Brexit adalah guncangan pasar keuangan yang berlanjut dengan ketidakpastian global. Sebaliknya bagi perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek negatif, khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Apabila ekspor turun, pertumbuhan ekonomi juga akan melambat. Itulah sebabnya Janet Yallen tidak jadi menaikkan suku bunga The Fed pada awal Juni lalu. Bagaimanapun, implikasi Brexit akan menjadi sumber keresahan baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan tak pasti, sementara pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika neraca perusahaan yang melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke bawah dan terjadi migrasi kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator makroekonomi. Lingkaran setan persoalan tengah melilit negara maju. Bila negara maju melemah, perekonomian global pun akan terguncang. Mungkin saja revisi Bank Dunia atas pertumbuhan global dari 2,9% menjadi 2,4% masih akan berlanjut. Dampak berikutnya, jika pertumbuhan global meredup, dampaknya akan menerjang sejumlah negara berkembang juga. Bagi perekonomian kita, dari sisi keuangan, bisa jadi kita termasuk salah satu negara yang diuntungkan. Keluarnya modal dari negara maju akan mencari tempat baru di negara berkembang. Mengingat perbedaan suku bunga dan imbal hasil investasi di pasar keuangan kita dengan sebagian besar negara maju masih begitu besar, likuiditas bisa jadi akan mengalir ke pasar finansial kita. Namun, dari sisi perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan baru ini. Meski tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur perdagangan dengan Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek globalnya, di mana permintaan global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita ke beberapa negara maju yang mulai pulih akan kembali surut. Walau demikian, kita harus tetap waspada terhadap gejolak yang setiap saat bisa terjadi di kemudian hari.

Akhirnya, kubu Brexit menang tipis ( 51,9%) terhadap kubu pendukung tetap (48,1%). Namun, proses politik masih akan berlanjut, baik di lingkungan Inggris sendiri maupun Uni Eropa. Diskusi masih akan ramai dan aneka mitigasi pasti akan diupayakan. Meski opsi keluar tidak terhindarkan, integrasi adalah soal derajat dan harga diri.

Brexit, adalah istilah gabungan dari kata "British" dengan kata "Exit"-- adalah sebuah gerakan yang bertujuan agar Inggris Raya memisahkan diri dari Uni Eropa (UE). Pada 2016 ini, Inggris Raya mengadakan referendum soal apakah Inggris Raya tetap bersama UE atau keluar dari UE.

Ini bukanlah referendum pertama. Pada tahun 1975, Inggris pernah melakukan referendum serupa. Kala itu, hasil referendum memutuskan Inggris Raya tetap bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa.

Tetapi siap menduga, pada 24 Juni 2016, kubu yang menginginkan Inggris keluar dari Uni Eropa unggul dalam referendum. Inggris pun bercerai dari Uni Eropa. Brexit diikuti 33 juta warga Inggris dari 46 juta pemilih terdaftar.

Hasil akhir referendum Uni Eropa baru akan diumumkan secara resmi setelah seluruh hasil penghitungan suara dari 382 area pemilihan selesai dihitung. Hasil akhir referendum akan diumumkan di Manchester Town Hall, Manchester.

Penggerak Brexit, Nigel Farage, pun bersorak. Ia merayakannya dengan menyebutnya sebagai hari kemerdekaan Inggris. "Beranilah untuk bermimpi bahwa permulaan telah dimulai untuk Inggris yang merdeka," ujarnya. Farage juga menjabat Partai Kemerdekaan Inggris (UKIP).

Efek keluarnya Inggris dari Uni Eropa tentu saja ada. Tidak hanya kepada Inggris sendiri, tetapi juga kepada negara-negara UE lainnya. Dengan berada di luar UE, Inggris akan kehilangan akses pada pasar bebas Uni Eropa dan artinya, Inggris harus mengupayakan kesepakatan perdagangan baru dengan negara-negara di dunia. Di sisi lain, UE akan mengalami pelemahan ekonomi dan politik dengan keluarnya Inggris dari blok mereka.

Seperti Pound dan Euro pun terjun bebas gara-gara Brexit. Pound jatuh 9% ke level US$ 1,355. Jatuhnya lebih dari 15 sen, koreksi terdalam yang pernah dialami Pound dalam 30 tahun terakhir. Sementara Euro anjlok 2,8% akibat sentimen Brexit. Koreksi yang dialami dua mata uang ini bahkan lebih parah dari yang terjadi saat krisis finansial global 2007-2008.

Mungkin saja secara politik, tetapi format integrasi ekonomi masih tetap dipertahankan. Dan, kalaupun tak sampai mengguncang keberadaan UE, Brexit sangat mungkin menjadi guncangan bagi blok perdagangan 28 negara anggota UE. Fakta itu bisa jadi pintu masuk untuk menggerogoti kemegahan UE yang dibangun sangat panjang dari debu Perang Dunia II. Bisa ditebak, dampak paling cepat dari fenomena Brexit adalah guncangan pasar keuangan yang berlanjut dengan ketidakpastian global.

Sebaliknya bagi perekonomian AS, menguatnya mata uang justru akan menimbulkan efek negatif, khususnya pada ekspor yang makin tertekan. Apabila ekspor turun, pertumbuhan ekonomi juga akan melambat. Itulah sebabnya Janet Yallen tidak jadi menaikkan suku bunga The Fed pada awal Juni lalu.

Bagaimanapun, implikasi Brexit akan menjadi sumber keresahan baru bagi pasar keuangan global. Jika pasar keuangan tak pasti, sementara pertumbuhan rendah, neraca perusahaan akan memerah. Jika neraca perusahaan yang melantai di bursa memburuk, bursa turut terseret ke bawah dan terjadi migrasi kapital. Efek baliknya akan menghantam indikator makroekonomi. Lingkaran setan persoalan tengah melilit negara maju. Bila negara maju melemah, perekonomian global pun akan terguncang.

Mungkin saja revisi Bank Dunia atas pertumbuhan global dari 2,9% menjadi 2,4% masih akan berlanjut. Dampak berikutnya, jika pertumbuhan global meredup, dampaknya akan menerjang sejumlah negara berkembang juga. Bagi perekonomian kita, dari sisi keuangan, bisa jadi kita termasuk salah satu negara yang diuntungkan. Keluarnya modal dari negara maju akan mencari tempat baru di negara berkembang. Mengingat perbedaan suku bunga dan imbal hasil investasi di pasar keuangan kita dengan sebagian besar negara maju masih begitu besar, likuiditas bisa jadi akan mengalir ke pasar finansial kita.

Namun, dari sisi perdagangan, kita akan semakin tertekan dengan perkembangan baru ini. Meski tak punya banyak relasi langsung dengan Inggris, jalur perdagangan dengan Eropa cukup tinggi. Belum lagi mempertimbangkan efek globalnya, di mana permintaan global juga akan cenderung menurun. Ekspor kita ke beberapa negara maju yang mulai pulih akan kembali surut. Walau demikian, kita harus tetap waspada terhadap gejolak yang setiap saat bisa terjadi di kemudian hari.

disadur dari Neraca, Senin, 27 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar