Sejak
diterbitkan pada tahun 2009 dan diberlakukan secara efektif pada 2014,
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
terus menuai pro dan kontra.
Sebagian
berpendapat, meski dibangun atas dasar peningkatan nilai tambah hasil tambang
dalam negeri, ada banyak hal yang masih harus dibenahi lantaran aturan dan
kebijakan yang disusun di dalamnya dinilai masih tumpang tindih, dan ini
berimbas pada rendahnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor
mineral dan batubara (minerba) pada 2015.
Demi menjaga
agar angka PNBP 2016 dapat kembali stabil, DPR melakukan terobosan dengan
menetapkan undang-undang tersebut untuk masuk dalam daftar prioritas Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, beserta dengan 39 rancangan undang-undang
lainnya.
Namun, jika
ditilik lebih jauh, pengajuan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini
tidaklah mengejutkan, terlebih setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2014 sebagai produk turunan yang notabene perubahan ketiga dari penetapan
pelaksanaan undang-undang tersebut.
Sebelumnya,
pemerintah sudah lebih dulu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010, yang kemudian mengalami revisi lanjutan melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2012 sehingga bisa dikatakan tinjauan yang berakhir pada revisi
ini dilakukan setiap dua tahun sekali.
Dan tepat dua
tahun setelah revisi ketiga diterbitkan, kini undang-undangnya sendirilah yang
masuk ke dalam daftar prioritas Prolegnas. Terbitnya aturan-aturan lanjutan
yang sering kali dinilai tidak memiliki koherensi yang nyata dengan rangkaian
awal Undang-Undang Minerba ini sendiri membuat banyak pihak berpendapat bahwa
keberadaan undang-undang tersebut cenderung dipaksakan.
Dalam tulisan
ini, penulis tidak berusaha menempatkan diri sebagai ahli dalam bidang hukum
dan tata perundang-undangan negara, tetapi sebatas kapasitas penulis sebagai
pengamat tambang. Ada beberapa baris tertentu, yang nantinya menjadi ketetapan
untuk dijalankan aparatur negara, dalam undang-undang dan peraturan pemerintah
ini yang perlu ditinjau lebih lanjut.
Misalnya,
penggunaan kata "dan" dan "atau" pada dua produk hukum
negara ini. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 103 Ayat (1) menetapkan
bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus
(IUPK) operasi produksi wajib melakukan pengolahan "dan" pemurnian
hasil penambangan di dalam negeri, sementara peraturan pemerintah yang
merupakan petunjuk pelaksanaan dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa
peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengolahan "atau"
pemurnian.
Perubahan
ketetapan melalui peraturan pemerintah secara berkala lumrahnya mengundang
pertanyaan di benak pelaku industri akan interpretasi undang-undang seperti apa
yang dinilai paling ideal oleh pemerintah. Bukan apa-apa, implikasi yang dibawa
sebagai dampak dari kewajiban yang digarisbawahi oleh kata "dan" dan
"atau" ini dapat menimbulkan perbedaan nilai investasi hingga jutaan dollar
AS yang harus ditanamkan pelaku industri.
Momentum tak
tepat
Jika meninjau
lebih jauh dari ketetapan yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Pasal 5 tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dipahami bersama
bahwa "kejelasan rumusan" merupakan salah satu asas penting dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Semua tentunya sepakat dengan tujuan
utama yang ingin digapai, yaitu peningkatan dan optimalisasi nilai tambah
mineral. Namun, yang menjadi pertanyaan boleh tidaknya jika kemudian pelaku
tambang menginterpretasi bahwa jika batuan tambang yang digali kemudian diolah
menjadi setidaknya 80-95 persen dari nilai batuan, kegiatan ini sudah dianggap
memenuhi syarat peningkatan dan optimalisasi nilai tambah mineral.
Perlu adanya
keselarasan dan kesepakatan bulat suara dari pihak legislatif dan pemerintah
dalam upaya memberikan kejelasan dasar hukum dalam menjalankan bisnis di
Indonesia. Mengutip pernyataan yang disampaikan Menteri Koordinator
Perekonomian Darmin Nasution beberapa waktu lalu, Undang-Undang Minerba ini
meski tujuan umumnya sangat bijaksana, momentum pelaksanaannya tidak tepat
karena dijalankan justru ketika ekonomi dunia sedang melambat. Jadi, alih-alih
meningkatkan serapan tenaga kerja dan meningkatkan penerimaan negara sebagaimana
yang diamanatkan undang-undang, penerapannya justru menimbulkan pelambatan
signifikan sektor tambang, penutupan sejumlah tambang yang berarti hilangnya
kesempatan kerja dan menurunnya penerimaan negara.
Pada rentang
2000-2014, sektor tambang pernah menjadi primadona penggerak ekonomi Indonesia.
Fakta ini memberikan ruang bagi kita untuk bertanya, mana yang lebih dibutuhkan
negara, revisi atau justru mempertimbangkan kembali penggunaan undang-undang
yang lama?
oleh Martiono Hadianto
disadur dari Kompas, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar