Editors Picks

Jumat, 01 Juli 2016

Urgensi Revisi UU Minerba



Sejak diterbitkan pada tahun 2009 dan diberlakukan secara efektif pada 2014, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terus menuai pro dan kontra.

Sebagian berpendapat, meski dibangun atas dasar peningkatan nilai tambah hasil tambang dalam negeri, ada banyak hal yang masih harus dibenahi lantaran aturan dan kebijakan yang disusun di dalamnya dinilai masih tumpang tindih, dan ini berimbas pada rendahnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batubara (minerba) pada 2015.

Demi menjaga agar angka PNBP 2016 dapat kembali stabil, DPR melakukan terobosan dengan menetapkan undang-undang tersebut untuk masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016, beserta dengan 39 rancangan undang-undang lainnya.

Namun, jika ditilik lebih jauh, pengajuan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 ini tidaklah mengejutkan, terlebih setelah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 sebagai produk turunan yang notabene perubahan ketiga dari penetapan pelaksanaan undang-undang tersebut.

Sebelumnya, pemerintah sudah lebih dulu menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, yang kemudian mengalami revisi lanjutan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 sehingga bisa dikatakan tinjauan yang berakhir pada revisi ini dilakukan setiap dua tahun sekali.

Dan tepat dua tahun setelah revisi ketiga diterbitkan, kini undang-undangnya sendirilah yang masuk ke dalam daftar prioritas Prolegnas. Terbitnya aturan-aturan lanjutan yang sering kali dinilai tidak memiliki koherensi yang nyata dengan rangkaian awal Undang-Undang Minerba ini sendiri membuat banyak pihak berpendapat bahwa keberadaan undang-undang tersebut cenderung dipaksakan.

Dalam tulisan ini, penulis tidak berusaha menempatkan diri sebagai ahli dalam bidang hukum dan tata perundang-undangan negara, tetapi sebatas kapasitas penulis sebagai pengamat tambang. Ada beberapa baris tertentu, yang nantinya menjadi ketetapan untuk dijalankan aparatur negara, dalam undang-undang dan peraturan pemerintah ini yang perlu ditinjau lebih lanjut.

Misalnya, penggunaan kata "dan" dan "atau" pada dua produk hukum negara ini. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 103 Ayat (1) menetapkan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) operasi produksi wajib melakukan pengolahan "dan" pemurnian hasil penambangan di dalam negeri, sementara peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari undang-undang tersebut menyebutkan bahwa peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengolahan "atau" pemurnian.

Perubahan ketetapan melalui peraturan pemerintah secara berkala lumrahnya mengundang pertanyaan di benak pelaku industri akan interpretasi undang-undang seperti apa yang dinilai paling ideal oleh pemerintah. Bukan apa-apa, implikasi yang dibawa sebagai dampak dari kewajiban yang digarisbawahi oleh kata "dan" dan "atau" ini dapat menimbulkan perbedaan nilai investasi hingga jutaan dollar AS yang harus ditanamkan pelaku industri.

Momentum tak tepat

Jika meninjau lebih jauh dari ketetapan yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 5 tentang Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dipahami bersama bahwa "kejelasan rumusan" merupakan salah satu asas penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Semua tentunya sepakat dengan tujuan utama yang ingin digapai, yaitu peningkatan dan optimalisasi nilai tambah mineral. Namun, yang menjadi pertanyaan boleh tidaknya jika kemudian pelaku tambang menginterpretasi bahwa jika batuan tambang yang digali kemudian diolah menjadi setidaknya 80-95 persen dari nilai batuan, kegiatan ini sudah dianggap memenuhi syarat peningkatan dan optimalisasi nilai tambah mineral.

Perlu adanya keselarasan dan kesepakatan bulat suara dari pihak legislatif dan pemerintah dalam upaya memberikan kejelasan dasar hukum dalam menjalankan bisnis di Indonesia. Mengutip pernyataan yang disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution beberapa waktu lalu, Undang-Undang Minerba ini meski tujuan umumnya sangat bijaksana, momentum pelaksanaannya tidak tepat karena dijalankan justru ketika ekonomi dunia sedang melambat. Jadi, alih-alih meningkatkan serapan tenaga kerja dan meningkatkan penerimaan negara sebagaimana yang diamanatkan undang-undang, penerapannya justru menimbulkan pelambatan signifikan sektor tambang, penutupan sejumlah tambang yang berarti hilangnya kesempatan kerja dan menurunnya penerimaan negara.

Pada rentang 2000-2014, sektor tambang pernah menjadi primadona penggerak ekonomi Indonesia. Fakta ini memberikan ruang bagi kita untuk bertanya, mana yang lebih dibutuhkan negara, revisi atau justru mempertimbangkan kembali penggunaan undang-undang yang lama?

oleh Martiono Hadianto 
disadur dari Kompas, Senin, 27 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar