Beberapa jam setelah hasil
referendum diumumkan, banyak pendukung Brexit panik bergumul dengan mesin
pencari memahami apa itu Uni Eropa. Jadi, mereka membuat pilihan begitu besar
tanpa tahu duduk perkara sesungguhnya. Padahal, bagai pelatuk sudah hela,
peluru pun meluncur liar tak terkendalikan lagi.
Pasar bergejolak keras, nilai tukar
poundsterling Inggris terjun bebas, sementara Indeks The Financial Times Stock
Exchange (FTSE) 100 di pasar saham London terguncang hebat. Lembaga pemeringkat
Moody’s menurunkan proyeksi perekonomian Inggris Raya dari stabil menjadi
negatif.
Implikasi globalnya, kenaikan suku
bunga Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, tertahan. Sementara Bank Sentral
Jepang akan kembali membanjiri pasar dengan likuiditas. Padahal, suku bunga di
sebagian negara maju sudah begitu rendah. Suku bunga negatif ditambah suntikan
likuiditas dan kelesuan ekonomi merupakan persamaan dari krisis.
Peringatan Larry Summer, mantan
penasihat ekonomi Presiden Obama, soal ”stagnasi sekuler” menjadi relevan. Dana
Moneter Internasional menerjemahkannya sebagai situasi pertumbuhan ekonomi
rendah terjadi dalam kurun waktu panjang. Mungkin inilah takdir negara maju
yang memang sudah sulit diungkit lagi kinerja ekonominya.
Masalahnya, situasi ini juga
berimbas pada negara berkembang. Situasi global ini, kalaupun tak menyebabkan
turbulensi, paling tidak menghambat laju perekonomian. Isu ini yang tengah
menjadi perhatian kita belakangan ini. Setelah pada triwulan I-2016 hanya mampu
tumbuh 4,9 persen, pertumbuhan di akhir tahun diperkirakan tak lebih dari 5,1
persen. Jika ketidakpastian global terus berlanjut, mungkin saja pertumbuhan
ekonomi tertahan di bawah 5 persen.
Meski demikian, selalu ada berkah
dari setiap kesulitan. Dari dalam negeri dilaporkan, UU Pengampunan Pajak akan
segera disahkan. Menilik situasi global yang cenderung tak bersahabat, perlu
segera menggali sumber pertumbuhan domestik. Diluncurkannya UU Pengampunan
Pajak diharapkan menambah energi dalam dua hal, yakni meningkatkan penerimaan
pajak melalui tebusan dan repatriasi modal.
Situasi fiskal menjadi salah satu
titik lemah penting, yang jika tak dimitigasi dengan baik bisa menimbulkan
kerawanan pada perekonomian kita. Dari sisi moneter, sinyal positif telah
diluncurkan dengan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia menjadi 6,5
persen. Pemerintah terus mendorong, bahkan berani menjanjikan, pada Agustus, BI
Rate akan menjadi 5 persen.
Pada sisi industri, Paket Kebijakan
Ekonomi I-XII juga telah memberi sinyal terjadinya transformasi industri.
Majalah The Economist (edisi 29/2/2016) melaporkan, pada 2007 Indonesia
tergolong negara paling tak bersahabat dengan modal asing se-Asia Tenggara.
Restriksi terhadap investasi asing meningkat dari 83 menjadi 338 aturan.
Melalui paket kebijakan yang
digulirkan, Presiden Joko Widodo menegaskan arah kebijakan ekonomi menuju era
kompetisi. Tak kurang dari 30 sektor ekonomi mengalami deregulasi pada paket
pertama. Paket kebijakan berikutnya menambah cakupan deregulasi ke berbagai
sektor lain yang lebih luas. Tujuannya, memberikan sinyal pada investor swasta asing
agar masuk.
Laporan tiga bulanan Bank Dunia yang
dirilis Juni lalu menyebutkan, ada dua agenda pokok yang perlu mendapatkan
perhatian. Pertama, tindak lanjut paket kebijakan ekonomi, sehingga sungguh
berdampak pada realisasi investasi asing. Kedua, reformasi perpajakan agar
mampu menambal defisit fiskal yang agak mengkhawatirkan.
Selain itu, dinamika sektor
perbankan juga perlu dicermati. Di tengah gejolak di sektor keuangan,
intervensi pemerintah ”merepresi” suku bunga kredit bisa menjadi kontraproduktif.
Neraca perbankan merupakan rujukan stabilitas perekonomian. Jika ada satu atau
dua bank saja gagal bayar, dampaknya bisa menyebar tak terkendali.
Beruntungnya, Undang-Undang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan telah disahkan sehingga
mekanisme penanganan krisis relatif jelas. Selain pembagian tugas dan wewenang
di antara regulator, juga penerapan sistem bail in atau mekanisme pembiayaan
internal dari perbankan sendiri jika terjadi masalah. Dari sisi perbankan,
kebijakan ini menambah biaya. Selama ini, jika ada masalah, pemerintah
mengambil alih dengan memberikan bail out atau dana talangan.
Jadi, ketahanan ekonomi kita relatif
baik menghadapi guncangan eksternal. Berbagai perangkat kebijakan telah
disiapkan, termasuk koridor hukumnya. Justru yang harus didudukkan secara baik
adalah orientasi kebijakan pemerintah sendiri. Dalam situasi seperti ini, tak
bijaksana merepresi suku bunga satu digit serta menggunakan anggaran tanpa
perhitungan matang.
Intinya, bukan seberapa kuat tekanan
luar, tetapi seberapa mampu mengatasi persoalan internal. Krisis pada akhirnya
bukan perkara eksogen, melainkan endogen.
oleh A Prasetyantoko
disadur dari Kompas, Senin, 27 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar