Rodiaman
(38) tergolek lemas di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung. Tubuhnya digerogoti
penyakit yang diduga tumor usus. Sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan
hati. ”Ironi Pahlawan Dayung,” begitu judul Kompas (1/7) di halaman olahraga.
Rodiaman adalah pahlawan olahraga. Mengharumkan nama bangsa di panggung
internasional. Lewat olahraga dayung, ia lima kali mengibarkan bendera Merah
Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya ketika menyabet medali emas SEA
Games pada 2001, 2003, 2005, 2007, dan perunggu pada 2002.
Beruntung
karena banyak koleganya memberikan perhatian dan dukungan moril. Biaya
perawatan pun ditanggung BPJS Kesehatan. Jika melihat kondisinya, Rodiaman
perlu mendapat perhatian lebih baik. Setidaknya sebagai bentuk perhatian
terhadap putra-putra bangsa yang telah memberikan bakti kepada bangsa dan
negara. Namun, apakah penyelenggara negara, terkhusus elite-elite, memberi
perhatian yang cukup untuk pahlawan olahraga itu?
Bagaimana
elite-elite sempat memperhatikan apabila mereka sibuk dengan diri sendiri.
Sebaliknya, elite-elite malah menjadi benang kusut yang melilit bangsa ini.
Orang-orang seperti Rodiaman yang mengangkat harkat, martabat, dan kebanggaan
bangsa; barangkali mudah saja terlupakan. Karena, para elite terlalu sibuk
mengeruk uang rakyat. Padahal, apa yang mereka lakukan untuk benar-benar
mengharumkan bangsa dan negara? Sudah mendapat gaji besar, tunjangan besar,
fasilitas berlimpah, dan hak-hak istimewa lainnya; masih saja menggarong uang
rakyat. Di DPR, misalnya, begitu lumrah terdengar proyek-proyek yang dijadikan
bancakan. Banyak kasus, anggota DPR menjadi makelar proyek.
Kasus
terhangat adalah ditangkapnya anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana, Selasa
(28/6). Wakil Bendahara Partai Demokrat itu ditangkap KPK karena ditengarai
kuat menjadi ”pengatur” proyek 12 ruas jalan di Sumatera Barat. Tudingan itu
menguat mengingat ia adalah anggota Komisi III yang ruang lingkup kerjanya
meliputi bidang hukum, HAM, dan keamanan. Jadi, tidak ada hubungannya dengan
proyek-proyek infrastruktur, yang di DPR menjadi lingkup kerja Komisi V. Ah,
rupanya nyalo proyek.
Logika
sehat rasanya tak bisa menerima kenyataan bahwa politisi di DPR tidak kapok-kapok
atau sadar-sadar juga. Saat ada seorang politisi ditangkap, politisi
lainnya tidak menjadikan momentum untuk menghentikan cara-cara curang mencuri
uang rakyat. Pada 20 Oktober 2015, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura,
Dewie Yasin Limpo, ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT). Dewie terkait
kasus suap perencanaan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di
Kabupaten Deiyai, Papua. Modusnya memasukkan proyek itu ke dalam pembahasan
APBN 2016.
Penangkapan
politisi DPR yang membuat geger adalah penangkapan anggota DPR dari Fraksi
PDI-P, Andriansyah, dalam OTT KPK di Sanur, Bali, 9 April lalu, sebab ia
ditangkap saat PDI-P menggelar kongres di Sanur. Artinya, Adriansyah secara
langsung mempermalukan dan mencoreng wajah PDI-P. Adriansyah ditangkap terkait
proses pemberian izin usaha tambang batubara di Kabupaten Tanah Laut,
Kalimantan Selatan.
Lagi-lagi,
rentetan penangkapan itu tidak ada efeknya sama sekali. Praktik suap dan
makelar proyek tetap saja berlangsung. Keberadaan KPK pun tidak ditakuti.
Bahkan, agenda reformasi yang khusus memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN) sepertinya sudah dilupakan. Buktinya, lagi-lagi politisi PDI-P, Damayanti
Wisnu Putranti, ditangkap dalam OTT KPK pada 13 Januari 2016. Anggota Komisi V
ini dicokok terima suap sebagai perantara yang melicinkan proyek di wilayah
Indonesia timur. Maka, ketika I Putu Sudiartana diciduk KPK lagi, rasanya sudah
sangat keterlaluan.
Seakan
berlomba dengan eksekutif, di institusi yudikatif pun praktik korup tidak
hilang-hilang. Berulang kali panitera, hakim, dan anggota staf MA ditangkap
karena sogokan. Kamis (30/6), KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat karena diduga menerima suap untuk mengurus perkara
perdata. Sebelumnya, panitera PN Jakpus, Edy Nasution, juga ditangkap KPK.
Bahkan, mengarah ke Sekretaris MA Nurhadi. Nurhadi pun bolak-balik diperiksa
KPK. Rumah dan kantornya juga digeledah.
Sayang,
agenda pemberantasan korupsi di negeri ini tak mulus. Tampaknya ada invisible
hand yang tak mau kasus-kasus seperti itu terbongkar. Buktinya orang yang
diduga mengetahui kasus itu, yakni Royani, sopir Nurhadi, sampai hari ini tak
tentu rimbanya. Aneh juga jejak Royani tidak ditemukan pada era terbuka dan
sudah sedemikian transparan ini. Bisa jadi ada orang yang begitu powerful yang menyembunyikan Royani.
Banyaknya
pihak yang tetap bermain kotor tidak hanya mengganggu proses reformasi, tetapi
juga terus-menerus mengkhianati rakyat. Begitu banyak orang yang berkorban dan
mengharumkan nama bangsa, seperti Rodiaman, belum tentu menikmati hasil
kemajuan negeri ini. Justru orang-orang yang hidupnya bergantung kepada negara
ini (pemerintah) yang tidak henti mengeruk kekayaan negeri. Mereka terlihat
sebagai operator negeri ini, tetapi sesungguhnya seperti benalu pengisap bangsa
ini.
oleh M
Subhan SD
disadur
dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar