Editors Picks

Kamis, 28 Juli 2016

Benalu Bangsa



Rodiaman (38) tergolek lemas di Rumah Sakit Al-Ihsan Bandung. Tubuhnya digerogoti penyakit yang diduga tumor usus. Sebuah pemandangan yang sangat mengenaskan hati. ”Ironi Pahlawan Dayung,” begitu judul Kompas (1/7) di halaman olahraga. Rodiaman adalah pahlawan olahraga. Mengharumkan nama bangsa di panggung internasional. Lewat olahraga dayung, ia lima kali mengibarkan bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu Indonesia Raya ketika menyabet medali emas SEA Games pada 2001, 2003, 2005, 2007, dan perunggu pada 2002.

Beruntung karena banyak koleganya memberikan perhatian dan dukungan moril. Biaya perawatan pun ditanggung BPJS Kesehatan. Jika melihat kondisinya, Rodiaman perlu mendapat perhatian lebih baik. Setidaknya sebagai bentuk perhatian terhadap putra-putra bangsa yang telah memberikan bakti kepada bangsa dan negara. Namun, apakah penyelenggara negara, terkhusus elite-elite, memberi perhatian yang cukup untuk pahlawan olahraga itu?

Bagaimana elite-elite sempat memperhatikan apabila mereka sibuk dengan diri sendiri. Sebaliknya, elite-elite malah menjadi benang kusut yang melilit bangsa ini. Orang-orang seperti Rodiaman yang mengangkat harkat, martabat, dan kebanggaan bangsa; barangkali mudah saja terlupakan. Karena, para elite terlalu sibuk mengeruk uang rakyat. Padahal, apa yang mereka lakukan untuk benar-benar mengharumkan bangsa dan negara? Sudah mendapat gaji besar, tunjangan besar, fasilitas berlimpah, dan hak-hak istimewa lainnya; masih saja menggarong uang rakyat. Di DPR, misalnya, begitu lumrah terdengar proyek-proyek yang dijadikan bancakan. Banyak kasus, anggota DPR menjadi makelar proyek.

Kasus terhangat adalah ditangkapnya anggota Komisi III DPR, I Putu Sudiartana, Selasa (28/6). Wakil Bendahara Partai Demokrat itu ditangkap KPK karena ditengarai kuat menjadi ”pengatur” proyek 12 ruas jalan di Sumatera Barat. Tudingan itu menguat mengingat ia adalah anggota Komisi III yang ruang lingkup kerjanya meliputi bidang hukum, HAM, dan keamanan. Jadi, tidak ada hubungannya dengan proyek-proyek infrastruktur, yang di DPR menjadi lingkup kerja Komisi V. Ah, rupanya nyalo proyek.

Logika sehat rasanya tak bisa menerima kenyataan bahwa politisi di DPR tidak kapok-kapok atau sadar-sadar juga. Saat ada seorang politisi ditangkap, politisi lainnya tidak menjadikan momentum untuk menghentikan cara-cara curang mencuri uang rakyat. Pada 20 Oktober 2015, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura, Dewie Yasin Limpo, ditangkap KPK dalam‎ operasi tangkap tangan (OTT). Dewie terkait kasus suap perencanaan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Modusnya memasukkan proyek itu ke dalam pembahasan APBN 2016.

Penangkapan politisi DPR yang membuat geger adalah penangkapan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Andriansyah, dalam OTT KPK di Sanur, Bali, 9 April lalu, sebab ia ditangkap saat PDI-P menggelar kongres di Sanur. Artinya, Adriansyah secara langsung mempermalukan dan mencoreng wajah PDI-P. Adriansyah ditangkap terkait proses pemberian izin usaha tambang batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.

Lagi-lagi, rentetan penangkapan itu tidak ada efeknya sama sekali. Praktik suap dan makelar proyek tetap saja berlangsung. Keberadaan KPK pun tidak ditakuti. Bahkan, agenda reformasi yang khusus memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sepertinya sudah dilupakan. Buktinya, lagi-lagi politisi PDI-P, Damayanti Wisnu Putranti, ditangkap dalam OTT KPK pada 13 Januari 2016. Anggota Komisi V ini dicokok terima suap sebagai perantara yang melicinkan proyek di wilayah Indonesia timur. Maka, ketika I Putu Sudiartana diciduk KPK lagi, rasanya sudah sangat keterlaluan.

Seakan berlomba dengan eksekutif, di institusi yudikatif pun praktik korup tidak hilang-hilang. Berulang kali panitera, hakim, dan anggota staf MA ditangkap karena sogokan. Kamis (30/6), KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena diduga menerima suap untuk mengurus perkara perdata. Sebelumnya, panitera PN Jakpus, Edy Nasution, juga ditangkap KPK. Bahkan, mengarah ke Sekretaris MA Nurhadi. Nurhadi pun bolak-balik diperiksa KPK. Rumah dan kantornya juga digeledah.

Sayang, agenda pemberantasan korupsi di negeri ini tak mulus. Tampaknya ada invisible hand yang tak mau kasus-kasus seperti itu terbongkar. Buktinya orang yang diduga mengetahui kasus itu, yakni Royani, sopir Nurhadi, sampai hari ini tak tentu rimbanya. Aneh juga jejak Royani tidak ditemukan pada era terbuka dan sudah sedemikian transparan ini. Bisa jadi ada orang yang begitu powerful yang menyembunyikan Royani.

Banyaknya pihak yang tetap bermain kotor tidak hanya mengganggu proses reformasi, tetapi juga terus-menerus mengkhianati rakyat. Begitu banyak orang yang berkorban dan mengharumkan nama bangsa, seperti Rodiaman, belum tentu menikmati hasil kemajuan negeri ini. Justru orang-orang yang hidupnya bergantung kepada negara ini (pemerintah) yang tidak henti mengeruk kekayaan negeri. Mereka terlihat sebagai operator negeri ini, tetapi sesungguhnya seperti benalu pengisap bangsa ini.

oleh M Subhan SD
disadur dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar