Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah lautan
mencapai 3.257.483 km persegi dan luas daratan sebesar 1.922.570 km persegi.
Ini berarti, dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan. Jika zona ekonomi
eksklusif (ZEE) ikut diperhitungkan, maka luas lautan menjadi sekitar 7,9 juta
km persegi atau 81 persen dari seluruh wilayah Indonesia.
Panjang
pantai negeri ini mencapai 95.181 km. Jika dibentangkan di Eropa, maka wilayah
Indonesia akan menutup wilayah Inggris hingga laut Kaspia dekat Iran. Karena
luasnya didominasi oleh lautan, maka sebagian besar perbatasan Indonesia dengan
negara lain berada di perairan.
Ada
sepuluh negara yang berbatasan laut dengan Indonesia yakni India, Malaysia,
Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste
dan Papua Nugini (PNG). Adapun yang berbatasan darat hanya sebagian kecil yakni
dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, Papua New Guinea (PNG) di Pulau Papua, dan
Timor Leste di Pulau Timor.
Dengan
modal kekayaan maritim itulah, Nusantara pernah berjaya saat era kerajaan
Sriwijaya dan Majapahit. Selama beratus-ratus tahun, keduanya menjaga dan
memanfaatkan lautan Nusantara untuk berdagang dan mensejahterakan
masyarakatnya.
Pada
puncak kejayaannya di abad ke-12, Sriwijaya meliputi seluruh wilayah lautan di
sekeliling pesisir Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, pesisir timur Indocina,
Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Filipina sebelah selatan.
Bahkan, dengan penguasaan atas perdagangan maritim di Lautan Indonesia, sejak
abad ke-9 banyak penduduk Nusantara bepergian ke Pulau Madagaskar di lepas
pantai timur Afrika dan menetap di sana.
Orientasi
berubah
Namun,
berabad-abad setelahnya, dimulai dari masa penjajahan, bangsa ini mengubah
orientasinya, menjadikan daratan sebagai sumber kehidupan. Laut pun dipunggungi
dan cenderung diabaikan.
Hasilnya?
Nusantara tak bisa lagi merengkuh kejayaan di dunia internasional seperti
layaknya Sriwijaya dan Majapahit. Kebanggaan sebagai negeri maritim
perlahan-lahan hilang. Bahkan, kedaulatan Indonesia di laut pun diinjak-injak
oleh bangsa lain.
Selama
bertahun-tahun, laut kita dijajah. Bukan dijajah dalam arti dikuasai secara
militer oleh negara lain. Namun, dijajah dalam arti dikuasai sumber dayanya,
terutama ikan dan biota lain yang melimpah ruah di laut Nusantara.
Berpuluh-puluh tahun, kapal-kapal ikan dari negeri tetangga dengan bebasnya
mencuri ikan di perairan Indonesia. Kekayaan laut Indonesia disedot habis oleh
mereka sehingga hanya tertinggal sedikit ikan untuk para nelayan pribumi.
Tak
heran, meskipun berada di antara kekayaan laut yang melimpah ruah, sebagian besar
nelayan Indonesia justru hidup miskin. Potensi tangkapan ikan lestari di
perairan Indonesia mencapai sekitar Rp 3.000 triliun per tahun. Namun, yang
benar-benar bisa dinikmati bangsa Indonesia tak lebih dari Rp 100 triliun per
tahun. Karena itulah, kontribusi produksi perikanan rata-rata hanya 3,2 persen
terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka yang sangat tidak wajar
untuk sebuah negeri bahari.
Adalah
bangsa-bangsa lain yang paling menikmati kekayaan laut Indonesia. Kerugian
Indonesia akibat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing)
minimal mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp 240 triliun per tahun. Satu kapal
pencuri ikan dengan kapasitas 100 Gross Ton (GT) bisa meraup untung 2-2,5 juta
dollar AS per tahun karena yang mereka tangkap bukan hanya ikan tongkol, tapi
juga kerang, teripang dan lobster. Sementara, ada sekitar 10.000 kapal di
perairan Indonesia yang berpotensi melakukan illegal fishing.
Titik
Balik
Berpuluh-puluh
tahun, lautan nusantara terus “dijajah” dan dikuras sumber daya alamnya oleh
bangsa asing hingga akhirnya tibalah era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, Jokowi memiliki visi maritim yang
amat menonjol.
"Kita
telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini,
kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani, menghadapi
badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia," kata Jokowi dalam pidato kenegaraan pertamanya setelah
bersumpah sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019 di Gedung MPR/DPR, 20
Oktober 2014.
Tak
tanggung-tanggung, Jokowi pun mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia di masa depan. Dengan menjadi poros maritim, berarti kegiatan pelayaran, perdagangan,
dan bisnis maritim internasional akan berpusat di Indonesia.
Susi
Saat
ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi
Pudjiastuti sama sekali tak berpikir bahwa pekerjaannya bakal berkaitan dengan
upaya menjaga kedaulatan Indonesia. Sebab, sepintas tak ada hubungannya antara
menumbuhkembangkan sektor perikanan dan masalah kedaulatan.
“Namun
ternyata posisi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan pilar penting
dalam menjaga kedaulatan bangsa,” kata Susi saat memberi pengarahan kepada
para peserta Rapat Koordinasi Nasional Satuan Tugas 115 atau Satgas
Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal yang berlangsung 29 - 30 Juni 2016 di Jakarta.
Satgas
115 yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 merupakan
penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system),
yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, Bakamla dan Kejaksaan Republik
Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan
fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai
penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.
Menurut
Susi yang merupakan komandan Satgas 115, memberantas illegal fishing
bukan sekadar menyelamatkan kekayaan laut Indonesia, namun lebih penting dari
itu adalah menjaga kedaulatan dan martabat bangsa. Sepak terjang Satgas 115
yang konsisten menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan telah
terdengar di seantero dunia.
Perlahan-lahan
dunia pun mulai menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Kapal-kapal asing
kini harus berpikir seribu kali untuk mencuri ikan di perairan Indonesia.
Bahkan, kini mereka bergidik dengan ketegasan Indonesia dalam menegakkan hukum
di laut. Di sisi lain, aparat dan seluruh stakeholder yang terkait
dengan keamanan maritim terangkat harga dirinya. Begitu pula para nelayan di
seluruh Nusantara. Baru kali ini mereka merasa menjadi tuan rumah dan pemilik
sesungguhnya dari perairan Indonesia.
Karena
itulah, kata Susi, pemberantasan illegal fishing sangat penting dalam
upaya menjaga kedaulatan negara.
“Kalau
menjaga ikan saja kita tidak mampu, bagaimana kita mau menjaga seluruh rakyat
Indonesia?”
kata Susi bersemangat.
Untuk
terus menggelorakan semangat pemberantasan illegal fishing, Susi pun
mendorong agar penegakan hukum di laut bisa menimbulkan efek jera. Sejak didirikan pada 19 Oktober 2015,
Satgas 115 telah menenggelamkan 176 kapal ikan pelaku illegal fishing.
Dari kapal-kapal yang ditenggelamkan tersebut, 162 kapal berbendera asing,
yaitu Vietnam (63), Filipina (43), Malaysia (30), dan Thailand (21) serta
masing-masing satu kapal bertanda kebangsaan Papua New Guinea, Tiongkok, Belize
dan satu kapal ikan tanpa kebangsaan.
“Sedangkan
kapal berbendera Indonesia yang ditenggelamkan berjumlah 14 kapal. Dalam bulan
Juli 2016, Satgas 115 akan kembali menenggelamkan 30 kapal ikan asing pencuri
ikan,”
kata Komandan Satgas 115 Susi Pudjiastuti yang juga Menteri kelautan dan
Perikanan saat melaporkan kegiatan Satgas 115 kepada Presiden Joko Widodo di
Istana Negara Rabu (29/6/2016).
Selain
menenggelamkan kapal, Satgas 115 juga telah menangani 11 kasus tindak pidana
perikanan, yaitu kasus tindak pidana perikanan di Avona, Wanam, Benjina, Ambon,
Timika, serta tindak pidana perikanan terhadap MV Hai Fa, MV Silver Sea 2, FV
Viking, FV Jiin Horng No 106 dan FV Hua Li 8. Nakhoda FV Gui Bei Yu 10078,
salah satu dari 3 (tiga) kapal Tiongkok yang ditangkap di Natuna, telah
dijatuhi hukuman pidana oleh Pengadilan Negeri Pontianak.
Kegiatan
pro yustisia lainnya yang dilakukan Satgas 115 adalah penanganan korban perdagangan
orang di Benjina, Ambon dan Pontianak. Jumlah korban perdagangan orang di tiga
wilayah tersebut mencapai 1.152 korban. Korban berasal dari Thailand, Myanmar,
Laos, Kamboja dan Vietnam. Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan International
Organization for Migration (IOM)
telah memulangkan seluruh korban ke negara masing-masing. Satgas 115 juga telah
membantu para korban mendapatkan pembayaran atas gaji mereka yang tidak
dibayarkan oleh perusahaan senilai total 900.000 dollar AS.
Untuk
mengembalikan kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal, Satgas 115
juga telah bekerjasama dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Melalui kerja
sama tersebut, diperkirakan terdapat potensi pajak sebesar Rp 209,1 miliar dari
187 Wajib Pajak/pemilik kapal ikan eks-asing.
Dalam
operasinya, Satgas 115 telah membagi empat wilayah operasi berdasarkan tingkat
kerawanan illegal fishing, yaitu perairan Aceh, perairan Natuna,
perairan Arafura, serta perairan Sulawesi dan Maluku bagian Utara. Terkait itu,
Satgas 115 membangun Puskodal dengan memanfaatkan gabungan teknologi satelit
dan radar pengawasan kapal perikanan yang dimiliki TNI AL, Kementerian Kelautan
dan Perikanan, Polisi Air dan Bakamla.
Di
samping itu, Satgas 115 juga bekerja-sama dengan mitra negara dan organisasi
internasional seperti Norwegia, Amerika Serikat, Australia, INTERPOL dan UNODC
untuk mendapatkan informasi intelijen mengenai kapal asing yang memasuki
perairan Indonesia. Melalui kerjasama inilah, Satgas 115 berhasil menangkap
kapal FV Viking dan kapal FV Hua Li 8 yang merupakan target pengejaran
internasional.
Langkah-langkah
tersebut melengkapi sejumlah kebijakan Susi dalam memberantas penangkapan ikan
secara ilegal. Kebijakan-kebijakan itu antara lain moratorium pemberian izin
usaha perikanan tangkap terhadap kapal ikan eks-asing, pelarangan alat tangkap
yang merusak, audit kepatuhan terhadap 1.132 kapal ikan eks-asing, serta
penegakan hukum yang tegas melalui pencabutan izin, penenggelaman kapal dan
proses penegakan hukum pidana.
Menteri
Susi sejauh ini telah mencabut 291 izin terkait perikanan, membekukan 261 izin
terkait perikanan dan menerbitkan 48 surat peringatan terhadap pemegang izin
pengusahaan perikanan.
Namun,
Susi menyadari masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Pertama,
kemampuan untuk mendeteksi kapal-kapal pencuri ikan masih perlu ditingkatkan.
Kedua, membangun sinergi di antara unsur-unsur Satgas 115 dalam melakukan
operasi patroli gabungan dan penegakan hukum. Ketiga, peraturan
perundang-undangan terkait perikanan perlu disempurnakan agar penegakkan hukum
dan penjatuhan sanksi dapat dilakukan dengan lebih tegas dan mampu menumbuhkan
efek jera.
Jika
seluruh bangsa bersatu padu memberantas illegal fishing dan menegakkan
kedaulatan di laut, maka yakinlah cita-cita menjadi poros maritim dunia bukanlah
sekadar mimpi.
oleh M
Fajar Marta
disadur
dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar