Editors Picks

Kamis, 28 Juli 2016

Jokowi, Susi, dan Titik Balik Kedaulatan Maritim



Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas wilayah lautan mencapai 3.257.483 km persegi dan luas daratan sebesar 1.922.570 km persegi. Ini berarti, dua pertiga wilayah Indonesia adalah lautan. Jika zona ekonomi eksklusif (ZEE) ikut diperhitungkan, maka luas lautan menjadi sekitar 7,9 juta km persegi atau 81 persen dari seluruh wilayah Indonesia.

Panjang pantai negeri ini mencapai 95.181 km. Jika dibentangkan di Eropa, maka wilayah Indonesia akan menutup wilayah Inggris hingga laut Kaspia dekat Iran. Karena luasnya didominasi oleh lautan, maka sebagian besar perbatasan Indonesia dengan negara lain berada di perairan.

Ada sepuluh negara yang berbatasan laut dengan Indonesia yakni India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Adapun yang berbatasan darat hanya sebagian kecil yakni dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, Papua New Guinea (PNG) di Pulau Papua, dan Timor Leste di Pulau Timor.

Dengan modal kekayaan maritim itulah, Nusantara pernah berjaya saat era kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Selama beratus-ratus tahun, keduanya menjaga dan memanfaatkan lautan Nusantara untuk berdagang dan mensejahterakan masyarakatnya.

Pada puncak kejayaannya di abad ke-12, Sriwijaya meliputi seluruh wilayah lautan di sekeliling pesisir Sumatra, Jawa, Semenanjung Malaya, pesisir timur Indocina, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Filipina sebelah selatan. Bahkan, dengan penguasaan atas perdagangan maritim di Lautan Indonesia, sejak abad ke-9 banyak penduduk Nusantara bepergian ke Pulau Madagaskar di lepas pantai timur Afrika dan menetap di sana.

Orientasi berubah
Namun, berabad-abad setelahnya, dimulai dari masa penjajahan, bangsa ini mengubah orientasinya, menjadikan daratan sebagai sumber kehidupan. Laut pun dipunggungi dan cenderung diabaikan.

Hasilnya? Nusantara tak bisa lagi merengkuh kejayaan di dunia internasional seperti layaknya Sriwijaya dan Majapahit. Kebanggaan sebagai negeri maritim perlahan-lahan hilang. Bahkan, kedaulatan Indonesia di laut pun diinjak-injak oleh bangsa lain.

Selama bertahun-tahun, laut kita dijajah. Bukan dijajah dalam arti dikuasai secara militer oleh negara lain. Namun, dijajah dalam arti dikuasai sumber dayanya, terutama ikan dan biota lain yang melimpah ruah di laut Nusantara. Berpuluh-puluh tahun, kapal-kapal ikan dari negeri tetangga dengan bebasnya mencuri ikan di perairan Indonesia. Kekayaan laut Indonesia disedot habis oleh mereka sehingga hanya tertinggal sedikit ikan untuk para nelayan pribumi.

Tak heran, meskipun berada di antara kekayaan laut yang melimpah ruah, sebagian besar nelayan Indonesia justru hidup miskin. Potensi tangkapan ikan lestari di perairan Indonesia mencapai sekitar Rp 3.000 triliun per tahun. Namun, yang benar-benar bisa dinikmati bangsa Indonesia tak lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Karena itulah, kontribusi produksi perikanan rata-rata hanya 3,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Angka yang sangat tidak wajar untuk sebuah negeri bahari.

Adalah bangsa-bangsa lain yang paling menikmati kekayaan laut Indonesia. Kerugian Indonesia akibat penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) minimal mencapai 20 miliar dolar AS atau Rp 240 triliun per tahun. Satu kapal pencuri ikan dengan kapasitas 100 Gross Ton (GT) bisa meraup untung 2-2,5 juta dollar AS per tahun karena yang mereka tangkap bukan hanya ikan tongkol, tapi juga kerang, teripang dan lobster. Sementara, ada sekitar 10.000 kapal di perairan Indonesia yang berpotensi melakukan illegal fishing.

Titik Balik
Berpuluh-puluh tahun, lautan nusantara terus “dijajah” dan dikuras sumber daya alamnya oleh bangsa asing hingga akhirnya tibalah era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, Jokowi memiliki visi maritim yang amat menonjol.

"Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani, menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia," kata Jokowi dalam pidato kenegaraan pertamanya setelah bersumpah sebagai Presiden Indonesia periode 2014-2019 di Gedung MPR/DPR, 20 Oktober 2014.

Tak tanggung-tanggung, Jokowi pun mencanangkan Indonesia sebagai poros maritim dunia di masa depan. Dengan menjadi poros maritim, berarti kegiatan pelayaran, perdagangan, dan bisnis maritim internasional akan berpusat di Indonesia.

Susi
Saat ditunjuk Presiden Jokowi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sama sekali tak berpikir bahwa pekerjaannya bakal berkaitan dengan upaya menjaga kedaulatan Indonesia. Sebab, sepintas tak ada hubungannya antara menumbuhkembangkan sektor perikanan dan masalah kedaulatan.

“Namun ternyata posisi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan merupakan pilar penting dalam menjaga kedaulatan bangsa,” kata Susi saat memberi pengarahan kepada para peserta Rapat Koordinasi Nasional Satuan Tugas 115 atau Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal yang berlangsung 29 - 30 Juni 2016 di Jakarta.

Satgas 115 yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 115 Tahun 2015 merupakan penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, Bakamla dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.

Menurut Susi yang merupakan komandan Satgas 115, memberantas illegal fishing bukan sekadar menyelamatkan kekayaan laut Indonesia, namun lebih penting dari itu adalah menjaga kedaulatan dan martabat bangsa. Sepak terjang Satgas 115 yang konsisten menangkap dan menenggelamkan kapal-kapal pencuri ikan telah terdengar di seantero dunia.

Perlahan-lahan dunia pun mulai menghormati kedaulatan maritim Indonesia. Kapal-kapal asing kini harus berpikir seribu kali untuk mencuri ikan di perairan Indonesia. Bahkan, kini mereka bergidik dengan ketegasan Indonesia dalam menegakkan hukum di laut. Di sisi lain, aparat dan seluruh stakeholder yang terkait dengan keamanan maritim terangkat harga dirinya. Begitu pula para nelayan di seluruh Nusantara. Baru kali ini mereka merasa menjadi tuan rumah dan pemilik sesungguhnya dari perairan Indonesia.

Karena itulah, kata Susi, pemberantasan illegal fishing sangat penting dalam upaya menjaga kedaulatan negara.

“Kalau menjaga ikan saja kita tidak mampu, bagaimana kita mau menjaga seluruh rakyat Indonesia?” kata Susi bersemangat.

Untuk terus menggelorakan semangat pemberantasan illegal fishing, Susi pun mendorong agar penegakan hukum di laut bisa menimbulkan efek jera. Sejak didirikan pada 19 Oktober 2015, Satgas 115 telah menenggelamkan 176 kapal ikan pelaku illegal fishing. Dari kapal-kapal yang ditenggelamkan tersebut, 162 kapal berbendera asing, yaitu Vietnam (63), Filipina (43), Malaysia (30), dan Thailand (21) serta masing-masing satu kapal bertanda kebangsaan Papua New Guinea, Tiongkok, Belize dan satu kapal ikan tanpa kebangsaan.

“Sedangkan kapal berbendera Indonesia yang ditenggelamkan berjumlah 14 kapal. Dalam bulan Juli 2016, Satgas 115 akan kembali menenggelamkan 30 kapal ikan asing pencuri ikan,” kata Komandan Satgas 115 Susi Pudjiastuti yang juga Menteri kelautan dan Perikanan saat melaporkan kegiatan Satgas 115 kepada Presiden Joko Widodo di Istana Negara Rabu (29/6/2016).

Selain menenggelamkan kapal, Satgas 115 juga telah menangani 11 kasus tindak pidana perikanan, yaitu kasus tindak pidana perikanan di Avona, Wanam, Benjina, Ambon, Timika, serta tindak pidana perikanan terhadap MV Hai Fa, MV Silver Sea 2, FV Viking, FV Jiin Horng No 106 dan FV Hua Li 8. Nakhoda FV Gui Bei Yu 10078, salah satu dari 3 (tiga) kapal Tiongkok yang ditangkap di Natuna, telah dijatuhi hukuman pidana oleh Pengadilan Negeri Pontianak.

Kegiatan pro yustisia lainnya yang dilakukan Satgas 115 adalah penanganan korban perdagangan orang di Benjina, Ambon dan Pontianak. Jumlah korban perdagangan orang di tiga wilayah tersebut mencapai 1.152 korban. Korban berasal dari Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja dan Vietnam. Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan International Organization for Migration (IOM) telah memulangkan seluruh korban ke negara masing-masing. Satgas 115 juga telah membantu para korban mendapatkan pembayaran atas gaji mereka yang tidak dibayarkan oleh perusahaan senilai total 900.000 dollar AS.

Untuk mengembalikan kerugian negara akibat penangkapan ikan secara ilegal, Satgas 115 juga telah bekerjasama dengan Ditjen Pajak Kementerian Keuangan. Melalui kerja sama tersebut, diperkirakan terdapat potensi pajak sebesar Rp 209,1 miliar dari 187 Wajib Pajak/pemilik kapal ikan eks-asing.

Dalam operasinya, Satgas 115 telah membagi empat wilayah operasi berdasarkan tingkat kerawanan illegal fishing, yaitu perairan Aceh, perairan Natuna, perairan Arafura, serta perairan Sulawesi dan Maluku bagian Utara. Terkait itu, Satgas 115 membangun Puskodal dengan memanfaatkan gabungan teknologi satelit dan radar pengawasan kapal perikanan yang dimiliki TNI AL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polisi Air dan Bakamla.

Di samping itu, Satgas 115 juga bekerja-sama dengan mitra negara dan organisasi internasional seperti Norwegia, Amerika Serikat, Australia, INTERPOL dan UNODC untuk mendapatkan informasi intelijen mengenai kapal asing yang memasuki perairan Indonesia. Melalui kerjasama inilah, Satgas 115 berhasil menangkap kapal FV Viking dan kapal FV Hua Li 8 yang merupakan target pengejaran internasional.

Langkah-langkah tersebut melengkapi sejumlah kebijakan Susi dalam memberantas penangkapan ikan secara ilegal. Kebijakan-kebijakan itu antara lain moratorium pemberian izin usaha perikanan tangkap terhadap kapal ikan eks-asing, pelarangan alat tangkap yang merusak, audit kepatuhan terhadap 1.132 kapal ikan eks-asing, serta penegakan hukum yang tegas melalui pencabutan izin, penenggelaman kapal dan proses penegakan hukum pidana.

Menteri Susi sejauh ini telah mencabut 291 izin terkait perikanan, membekukan 261 izin terkait perikanan dan menerbitkan 48 surat peringatan terhadap pemegang izin pengusahaan perikanan.

Namun, Susi menyadari masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Pertama, kemampuan untuk mendeteksi kapal-kapal pencuri ikan masih perlu ditingkatkan. Kedua, membangun sinergi di antara unsur-unsur Satgas 115 dalam melakukan operasi patroli gabungan dan penegakan hukum. Ketiga, peraturan perundang-undangan terkait perikanan perlu disempurnakan agar penegakkan hukum dan penjatuhan sanksi dapat dilakukan dengan lebih tegas dan mampu menumbuhkan efek jera.

Jika seluruh bangsa bersatu padu memberantas illegal fishing dan menegakkan kedaulatan di laut, maka yakinlah cita-cita menjadi poros maritim dunia bukanlah sekadar mimpi.

oleh M Fajar Marta
disadur dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar