Dalam
tulisannya di harian ini (4/6/2016), Mun'im Sirry sempat menyinggung bahwa
intoleransi tengah bersemi sebagai gejala global. Tren di Indonesia, saya
curiga, tak berbeda.
Beberapa
kota di Indonesia, dalam indeks-indeks yang disusun Setara Institute-dan
belakangan Maarif Institute-memang berkembang menjadi kota yang mengakomodasi
hak pusparagam kelompok keyakinan. Studi Abdurrahman Wahid Center-UI juga
menyuguhkan optimisme serupa. Otonomi daerah telah menyemai sejumlah pemimpin
yang kebijakannya merangkul kelompok warganya yang rentan terpinggirkan.
Meski
demikian, pada saat yang sama, tanda-tanda berdeburnya gelombang intoleransi
pun tak bisa ditampik. Ekspresi-ekspresi religiositas yang mengintimidasi
menampakkan diri secara gamblang dan di mana-mana. Dan, yang lebih
mengkhawatirkan, ia seakan dibiarkan atau bahkan didorong aparatus negara.
Meski
kita sulit memperoleh data yang memungkinkan kita secara obyektif membandingkan
frekuensi kasus intoleransi dari waktu ke waktu, intoleransi bukanlah sebuah
norma publik di masa lalu. Peristiwa satu kelompok religius mengancam kelompok
religius lainnya bukannya tak terjadi. Tetapi, setidaknya, ia tak
dipertunjukkan secara telanjang sebagaimana yang tampak menjadi kelumrahan saat
ini.
Hidup
dari intoleransi
Mengapa
ia merebak? Di Indonesia, paling
tidak, saya menerka, intoleransi berkembang bukan karena kelompok-kelompok yang
melakoninya ingin melumat kemajemukan sebagaimana yang tampaknya terjadi di
permukaan. Ia tumbuh subur karena ia mempunyai daya untuk menciptakan alih-alih
menghilangkan. Positif alih-alih negatif.
Tentu
saja para aktornya sendiri boleh jadi mempunyai antipati yang tak dapat dikompromikan
terhadap keberadaan kelompok liyan. Namun, dalam keterpautannya dengan
lingkungan sosial yang lebih luas, sentimen kebencian dan ketakutan terhadap
yang lain terbukti merupakan penggerak, penggugah, dan penggalang massa yang
efektif.
Bagi
sejumlah pihak, kita tahu, ini menjadikannya sangat berarti. Ini berarti jalan
pintas bagi politisi untuk memikat massa dan menyabet popularitas. Terlebih,
dengan tidak terbangunnya pelembagaan riil antara basis konstituen dan
representasi yang dipilihnya, retorika-retorika yang dapat menghubungkan secara
instan antara elite dan kelompok pemilih yang paling luas pun menjadi modus
mencitrakan diri yang paling rasional.
Akibatnya,
kendati harus menerabas aturan dan membiarkan hak sosial ekonomi warganya
terlanggar, tak sedikit elite yang memperkenankan intoleransi berkecamuk atau
bahkan turut menyulutnya. Dengan cara ini, ia dapat mempertontonkan
keberpihakannya kepada massa mengambang yang menjadi basis kekuasaannya sejak
awal. Kesempatannya menjadi pahlawan di antara sekelompok warga diperolehnya
dengan mengeksklusi kelompok warga yang lain.
Namun,
saya kira, kecenderungan ini tak terbatas di ranah politik saja. Mengapa
organisasi massa yang mendominasi ruang publik pasca Reformasi bercorak agamis?
Sebagian mengatakan, agama merupakan jubah yang aman untuk membalut kekerasan
bermotif pragmatis. Kenyataannya, ia tak sesederhana itu. Kisah-kisah mereka
yang tergugah bergabung karena organisasi semacam menyediakan wadah perjuangan
memberantas kemungkaran bukanlah hal yang sulit kita temukan.
Artinya,
seperti poin yang telah saya tandaskan sebelumnya, tak banyak perasaan yang
keampuhannya menyamai sentimen religius menisbikan pihak liyan dalam memberikan
bingkai kokoh membangun satu kesatuan sosial yang langgeng. Apabila kita lanjut menelisiknya, di pelbagai ruang lain pun
eksploitasi terhadap intoleransi ini telah menganyam satu gugus yang dinamakan
Scot Lash sebagai ekonomi penanda.
Kebutuhan
sosial untuk merasa lebih dari yang lain memicu seabrek teks, ajaran, serta
produk informasi dan simbolik lainnya, dengan muatan mengecam atau menistakan
liyan, menyerbu konsumen dari kelompok religius. Kecenderungan ini pun tak
pandang apakah kelompok bersangkutan merupakan mayoritas atau bukan. Ia ada
pada komunitas spiritual yang jumlah penganutnya tak lebih dari puluhan kepala
sekalipun, kita tahu.
Masyarakat
majemuk
Kemajemukan
Indonesia, selain itu, bukanlah hal yang dengan sendirinya akan menginsyafkan
bahwa sentimen negatif satu komunitas terhadap yang asing tak lebih dari sebuah
pikiran picik. Bagi para advokat pluralisme, pikiran intoleran mungkin tak
masuk akal karena bebal dengan kenyataan keragaman tak terperi negeri ini. Akan
tetapi, bila kita mau mengambil sudut pandang komunitas yang melakoninya, fakta
kemajemukan tidak dengan sendirinya membatalkan wawasan ideologis mereka.
Kemajemukan
justru dapat ditafsirkan sebagai penanda mereka berada di tengah-tengah medan
perang. Kemurnian agamanya diintai oleh ancaman dari berbagai arah.
Tindakan-tindakan menegakkan hukum mereka sendiri dan dengan tangan mereka
sendiri dianggap sebagai satu bentuk perjuangan. Lebih tepat lagi, dark justice.
Artinya,
intoleransi di tengah-tengah masyarakat majemuk tak semata merupakan kekerasan
yang tak bermakna. Ia justru sangat bermakna bagi komunitas pelakunya. Ia
membersitkan perasaan heroisme dapat membela agama di tengah karut-marutnya
moralitas masyarakat. Dan, ketakutan keterintimidasian pihak liyan, kendati
kita melihatnya lain, akan dianggap sebagai rekognisi keberhasilan perjuangannya.
Ini berarti para musuh gentar. Perjuangan suci mereka meninggalkan dampak.
Meski
demikian, kenyataannya kemajemukan tak akan hilang dengan tindakan intoleransi
seperti apa pun. Kemajemukan rampung berkat proses sosial yang sangat
kompleks-melibatkan perguliran sejarah, ekonomi, serta politik yang tak mungkin
diputar balik. Namun, hal ini justru berarti kelompok-kelompok religius
tertentu terus-menerus mendapatkan obyek untuk dikonstruksi selaku
liyan-nya-ancaman kemurniannya.
Perjuangan
memberangus kebatilan pun dapat terus-menerus dilakoni dan ini akan
menguntungkan kelompok bersangkutan. Keuntungan yang diperoleh, tentu saja, tak
harus keuntungan yang sifatnya pragmatis. Yang tampaknya lebih banyak terjadi,
perasaan berjuang ini memantapkan keteguhan serta keutuhan kelompok-kelompok
religius tertentu di masyarakat.
Karena
itulah, saat ini tatanan sosial di berbagai daerah Indonesia tengah
mengembangkan semacam toleransi terhadap intoleransi. Kita berada dalam satu
situasi di mana intoleransi dimamah dan diisap untuk keberlangsungan
geliat-geliat sosial di negeri ini, yang merentang dari mobilisasi politik
hingga menyemai wadah-wadah yang memiliki anggota militan.
Apa
yang mewujud di hadapan kita ini memang sebuah tatanan sosial yang aneh, tetapi
demikianlah kenyataannya. Kendati kita bisa memahami alasan kemunculannya, kita
tak bisa menampik bahwa ada kenestapaan yang diakibatkan perlakuan-perlakuan
intoleran. Para korbannya nestapa dan, hal yang sudah jelas, hak mereka
terenggut.
Pada
akhirnya, kasus-kasus intoleransi tak dapat dibenarkan. Semua pihak, bila
mereka mau, bisa merajut narasi perjuangan religius mereka sendiri mengadvokasi
nilai-nilainya di tengah-tengah kepungan kelompok pengancam. Namun, tentu saja,
dengan risiko hal ini menyemai benih-benih konflik terbuka ataupun sistemik.
Dan, hal tersebut, saya kira, bukanlah hal yang bijak bila ia sengaja
diperkenankan di tengah-tengah masyarakat dengan kemajemukan tak
terpermanai-Indonesia.
oleh
Geger Riyanto
disadur
dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar