Editors Picks

Kamis, 28 Juli 2016

Meredam Gejolak Harga Daging Sapi



Keputusan Presiden meminta harga komoditas daging sapi maksimum Rp 80.000/kg harus didukung. Cibiran dan pesimisme para kartel daging memang harus dibuktikan melalui kerja lapangan. Rakyat ingin bukti atas kehadiran pemerintah di tengah dominannya kartel daging dalam mengatur pasokan dan harga daging.

Pemerintah sudah melakukan operasi pasar daging, cabai, bawang merah, dan beras di beberapa tempat. Impor daging dan produk hewan dari zona bebas sesuai PP Nomor 4 Tahun 2016 juga dilakukan. Pasar masih merespons negatif, tercermin dari turbulensi harga daging masih liar. Hanya beras dan bawang merah harganya stabil. Pertanyaannya, benarkah kartel daging sangat dominan dalam mengendalikan pasokan dan harga daging? Benarkah pemerintah tidak berdaya menghadapi kartel daging, sehingga fenomena melambungnya harga daging sapi terus berulang tanpa penyelesaian?

Dominasi kartel daging
Apriori dugaan dominasi kartel daging dalam mengendalikan pasokan dan harga daging benar adanya. Paling tidak kartel berperan dalam legislasi, judicial review, penguasaan sapi di sentra sapi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT), sampai distruksi harga sapi di tingkat peternak rakyat.

Kartel daging didukung negara eksportir sapi melakukan public opinion building saat proses legislasi sampai lahirnya UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) yang mensyaratkan importasi ternak dan produk ternak dilakukan country base untuk mencegah masukkan penyakit mulut dan kuku (PMK). Revisi UU PKH oleh pemerintah untuk mengubah country base ke zone base kalah di judicial review di Mahkamah Konstitusi. Implikasinya, pasokan bibit, bakalan, dan daging dimonopoli Australia dan Selandia Baru. Brasil dan India yang belum bebas PMK tidak bisa mengekspor sapi dan daging ke Indonesia. Padahal, Brasil merupakan eksportir sapi dan produk ternak terbesar di dunia.

Kartel daging juga berulah di sentra sapi NTB dan NTT. Kapal pengangkut ternak yang disediakan pemerintah untuk mengangkut sapi dari NTT dan NTB ke Jakarta tidak ada muatan karena sapi di sentra ternak dibeli kartel. Kosongnya kapal pengangkut sapi dipublikasikan secara masif, untuk meruntuhkan mental tempur pejuang kedaulatan protein hewani. Selain merugi, pasokan daging ke Jakarta berkurang.

Pemerintah Kabinet Indonesia Bersatu II juga pernah membuka importasi daging lebih terbuka, faktanya, harga daging tetap mahal. Artinya, dugaan pasokan dan harga secara oligarki terbukti. Distruksi juga dilakukan terhadap ternak rakyat, dengan membanting harga jual ternak dan daging. Banyak peternak kecil gulung tikar karena harga jual ternak sapi rakyat lebih rendah dibandingkan modal pembelian ditambah biaya pemeliharaan.

Hancurnya peternak kecil memposisikan kartel daging leluasa mengatur pasokan harga dan pasokan daging di lapangan. Impor daging Bulog juga sulit dijual ke pasar karena digoreng mafia daging di lapangan.

Adanya mafia daging diperkuat hasil sidang KPPU, 22 April 2016, yang memutuskan 32 perusahaan penggemukan sapi (feed looter) dengan tuduhan melakukan praktik kartel atau persekongkolan usaha dan membayar denda. Perusahaan tersebut telah melanggar Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPK harus segera melakukan audit investigasi untuk menindak pelaku usaha yang terbukti melakukan persekongkolan usaha agar rakyat miskin yang sudah jatuh masih tertimpa tangga.

Mengurai dominasi kartel daging harus dilakukan secara radikal dan terukur agar tak menimbulkan korban peternak rakyat. Peningkatan importasi sapi dan produk ternak pasti berdampak pada pelemahan ekonomi peternak rakyat. Operasi pasar yang berlebihan dengan frekuensi lebih tinggi secara langsung akan mendistorsi harga daging, sapi hidup, dan pendapatan peternak. Implikasinya, peternakan rakyat akan hancur, sehingga pemerintah akan berhadapan apple to apple melawan kartel daging tanpa backup peternak. Padahal, peternak harus jadi aktor utama dalam merebut kedaulatan daging sapi. Pemerintah harus melindungi melalui bantuan sapi bakalan untuk digemukkan sebagai kompensasi dampak importasi sapi dan operasi pasar.

Hasil penelitian menunjukkan, mahalnya harga daging sapi rakyat terjadi karena: biaya produksi sapi lokal sangat mahal, produksi karkasnya rendah, harga pakannya mahal. Implikasinya, daging produksi peternak rakyat kalah bersaing melawan sapi impor.

Perubahan radikal dimulai melalui pengadaan ternak dari country base menjadi zona base, diikuti importasi bibit dan bakalan besar-besaran. Indonesia harus segera membangun pulau karantina agar dapat memfilter penyakit bawaan ternak, sehingga tidak mengganggu status Indonesia di Office International des Epizooties (OIE) yang bebas penyakit mulut dan kuku. Pengembangan sapi dilakukan dengan sistem ranch di pulau-pulau tanpa penghuni atau diintegrasikan dengan kelapa sawit dengan sistem ranch. Tujuannya, agar terjadi kawin alam dan pakannya murah sehingga pertumbuhan berat dan populasi sapinya maksimal. Dampaknya, harga daging dan sapi hidup di dalam negeri makin kompetitif. Lebih kompetitif jika bibit dan bakalan didatangkan dari Brasil yang lebih murah.

Selanjutnya, pemerintah tidak dipermainkan kartel dan kroninya untuk memotong rantai distribusi dan pemasaran yang sangat panjang dan mahal. Penguasaan stok daging yang cukup harus dilakukan agar intervensi pasokan dan harga terukur serta dapat dilakukan kapan saja.

Sistem informasi pangan
Pemerintah harus menyelesaikan masalah daging secara komprehensif: mulai penyediaan lahan, bibit, pakan, pasca panen, pengolahan hasil serta pemasaran dalam sistem informasi pangan pokok. Data tersebut-sebaran dan jumlah penduduk, tingkat konsumsi secara spasial dan temporal yang selalu diperbarui-dalam bentuk data base. Rekontruksi model hubungan asupan (input), sistem, dan luaran (output) berdasarkan fakta empirik harus dilakukan. Hubungan tersebut memungkinkan, setiap perubahan komponen input terhadap sistem dapat diprediksi output-nya. Setiap pertambahan penduduk, populasi ternak, peningkatan konsumsi daging atau pangan per kapita dapat dihitung kecukupan dan harganya menurut ruang dan waktu. Pemerintah dapat memanfaatkan sistem informasi tersebut sebagai decision support system tool dalam merebut kedaulatan pangan.

Data luas tanam, umur tanaman, ternak, waktu panen, produktivitas, produksi, konsumsi pangan harus dikumpulkan. Potret dan dinamika pasokan maupun harga pangan disertai peran para pihak dalam rantai produksi dan distribusi harus dapat direkonstruksi dan dipetakan secara utuh. Penggunaan citra satelit dengan resolusi spasial dan temporal yang akurat (resolusi pixel 5 meter dengan waktu edar 2 minggu) sebagai alat untuk memotret dan memperbarui data produksi pangan merupakan komponen penting dalam menyusun sistem informasi pangan pokok.

oleh Gatot Irianto
disadur dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar