Keputusan
Presiden meminta harga komoditas daging sapi maksimum Rp 80.000/kg harus
didukung. Cibiran dan pesimisme para kartel daging memang harus dibuktikan
melalui kerja lapangan. Rakyat ingin bukti atas kehadiran pemerintah di tengah
dominannya kartel daging dalam mengatur pasokan dan harga daging.
Pemerintah
sudah melakukan operasi pasar daging, cabai, bawang merah, dan beras di
beberapa tempat. Impor daging dan produk hewan dari zona bebas sesuai PP Nomor
4 Tahun 2016 juga dilakukan. Pasar masih merespons negatif, tercermin dari
turbulensi harga daging masih liar. Hanya beras dan bawang merah harganya
stabil. Pertanyaannya, benarkah kartel daging sangat dominan dalam
mengendalikan pasokan dan harga daging? Benarkah pemerintah tidak berdaya
menghadapi kartel daging, sehingga fenomena melambungnya harga daging sapi
terus berulang tanpa penyelesaian?
Dominasi
kartel daging
Apriori
dugaan dominasi kartel daging dalam mengendalikan pasokan dan harga daging
benar adanya. Paling tidak kartel berperan dalam legislasi, judicial review,
penguasaan sapi di sentra sapi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara
Timur (NTT), sampai distruksi harga sapi di tingkat peternak rakyat.
Kartel
daging didukung negara eksportir sapi melakukan public opinion building saat
proses legislasi sampai lahirnya UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (PKH) yang mensyaratkan importasi ternak dan produk ternak dilakukan
country base untuk mencegah masukkan penyakit mulut dan kuku (PMK). Revisi UU
PKH oleh pemerintah untuk mengubah country
base ke zone base kalah di judicial
review di Mahkamah Konstitusi. Implikasinya, pasokan bibit, bakalan, dan
daging dimonopoli Australia dan Selandia Baru. Brasil dan India yang belum
bebas PMK tidak bisa mengekspor sapi dan daging ke Indonesia. Padahal, Brasil
merupakan eksportir sapi dan produk ternak terbesar di dunia.
Kartel
daging juga berulah di sentra sapi NTB dan NTT. Kapal pengangkut ternak yang
disediakan pemerintah untuk mengangkut sapi dari NTT dan NTB ke Jakarta tidak
ada muatan karena sapi di sentra ternak dibeli kartel. Kosongnya kapal
pengangkut sapi dipublikasikan secara masif, untuk meruntuhkan mental tempur
pejuang kedaulatan protein hewani. Selain merugi, pasokan daging ke Jakarta
berkurang.
Pemerintah
Kabinet Indonesia Bersatu II juga pernah membuka importasi daging lebih
terbuka, faktanya, harga daging tetap mahal. Artinya, dugaan pasokan dan harga
secara oligarki terbukti. Distruksi juga dilakukan terhadap ternak rakyat, dengan
membanting harga jual ternak dan daging. Banyak peternak kecil gulung tikar
karena harga jual ternak sapi rakyat lebih rendah dibandingkan modal pembelian
ditambah biaya pemeliharaan.
Hancurnya
peternak kecil memposisikan kartel daging leluasa mengatur pasokan harga dan
pasokan daging di lapangan. Impor daging Bulog juga sulit dijual ke pasar
karena digoreng mafia daging di lapangan.
Adanya
mafia daging diperkuat hasil sidang KPPU, 22 April 2016, yang memutuskan 32
perusahaan penggemukan sapi (feed looter) dengan tuduhan melakukan
praktik kartel atau persekongkolan usaha dan membayar denda. Perusahaan
tersebut telah melanggar Pasal 11 dan Pasal 19 huruf c UU No 5/1999 tentang
Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPK harus segera
melakukan audit investigasi untuk menindak pelaku usaha yang terbukti melakukan
persekongkolan usaha agar rakyat miskin yang sudah jatuh masih tertimpa tangga.
Mengurai
dominasi kartel daging harus dilakukan secara radikal dan terukur agar tak
menimbulkan korban peternak rakyat. Peningkatan importasi sapi dan produk
ternak pasti berdampak pada pelemahan ekonomi peternak rakyat. Operasi pasar
yang berlebihan dengan frekuensi lebih tinggi secara langsung akan mendistorsi
harga daging, sapi hidup, dan pendapatan peternak. Implikasinya, peternakan
rakyat akan hancur, sehingga pemerintah akan berhadapan apple to apple
melawan kartel daging tanpa backup peternak. Padahal, peternak harus
jadi aktor utama dalam merebut kedaulatan daging sapi. Pemerintah harus melindungi
melalui bantuan sapi bakalan untuk digemukkan sebagai kompensasi dampak
importasi sapi dan operasi pasar.
Hasil
penelitian menunjukkan, mahalnya harga daging sapi rakyat terjadi karena: biaya
produksi sapi lokal sangat mahal, produksi karkasnya rendah, harga pakannya
mahal. Implikasinya, daging produksi peternak rakyat kalah bersaing melawan
sapi impor.
Perubahan
radikal dimulai melalui pengadaan ternak dari country base menjadi zona base,
diikuti importasi bibit dan bakalan besar-besaran. Indonesia harus segera
membangun pulau karantina agar dapat memfilter penyakit bawaan ternak, sehingga
tidak mengganggu status Indonesia di Office International des Epizooties
(OIE) yang bebas penyakit mulut dan kuku. Pengembangan sapi dilakukan dengan
sistem ranch di pulau-pulau tanpa penghuni atau diintegrasikan dengan kelapa
sawit dengan sistem ranch. Tujuannya, agar terjadi kawin alam dan pakannya
murah sehingga pertumbuhan berat dan populasi sapinya maksimal. Dampaknya, harga daging dan sapi hidup
di dalam negeri makin kompetitif. Lebih kompetitif jika bibit dan bakalan
didatangkan dari Brasil yang lebih murah.
Selanjutnya,
pemerintah tidak dipermainkan kartel dan kroninya untuk memotong rantai
distribusi dan pemasaran yang sangat panjang dan mahal. Penguasaan stok daging
yang cukup harus dilakukan agar intervensi pasokan dan harga terukur serta
dapat dilakukan kapan saja.
Sistem
informasi pangan
Pemerintah
harus menyelesaikan masalah daging secara komprehensif: mulai penyediaan lahan,
bibit, pakan, pasca panen, pengolahan hasil serta pemasaran dalam sistem
informasi pangan pokok. Data tersebut-sebaran dan jumlah penduduk, tingkat
konsumsi secara spasial dan temporal yang selalu diperbarui-dalam bentuk data
base. Rekontruksi model hubungan asupan (input), sistem, dan luaran (output)
berdasarkan fakta empirik harus dilakukan. Hubungan tersebut memungkinkan,
setiap perubahan komponen input terhadap sistem dapat diprediksi output-nya.
Setiap pertambahan penduduk, populasi ternak, peningkatan konsumsi daging atau
pangan per kapita dapat dihitung kecukupan dan harganya menurut ruang dan
waktu. Pemerintah dapat memanfaatkan sistem informasi tersebut sebagai decision
support system tool dalam merebut kedaulatan pangan.
Data
luas tanam, umur tanaman, ternak, waktu panen, produktivitas, produksi,
konsumsi pangan harus dikumpulkan. Potret dan dinamika pasokan maupun harga
pangan disertai peran para pihak dalam rantai produksi dan distribusi harus
dapat direkonstruksi dan dipetakan secara utuh. Penggunaan citra satelit dengan
resolusi spasial dan temporal yang akurat (resolusi pixel 5 meter dengan waktu
edar 2 minggu) sebagai alat untuk memotret dan memperbarui data produksi pangan
merupakan komponen penting dalam menyusun sistem informasi pangan pokok.
oleh
Gatot Irianto
disadur
dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar