Mudik
Lebaran di Indonesia merupakan fenomena paling kolosal di dunia meski mudik
juga dilakukan banyak bangsa lain saat merayakan liburan besar, seperti Natal
di Amerika Serikat dan perayaan Imlek di Tiongkok. Namun, perayaan mudik
Lebaran begitu khas, dan tampaknya akan langgeng
karena sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk sosial.
Mudik
Lebaran yang ditandai dengan silaturahim, halal bihalal, dan ziarah kubur
berfungsi melestarikan jati diri sebagai anggota komunitas atau suku tertentu,
terutama sebagai Muslim. Prosesi mudik pada gilirannya akan menyegarkan
romantisisme akan kenang-kenangan masa kecil mereka, saat mereka sering
mengumpulkan makanan untuk berbuka, main petasan dan kembang api, ngabuburit,
tarawih bareng kawan, dan terutama buka bersama keluarga tercinta.
Manusia
tak pernah hidup dalam vakum-sosial. Bagi pendatang di perkotaan khususnya,
budaya urban tak pernah menjadi
serpihan utuh dari biografi mereka. Mereka tetap ingin merawat budaya mereka,
seperti adat istiadat, bahasa, cara bergaul, cara makan, serta jenis makanan,
kesenian, dan permainan. Mudik Lebaran menjadi sarana untuk menghidupkan jati
diri mereka dan sebagai pemenuhan atas hasrat bernostalgia.
Benarlah
peribahasa-peribahasa yang mengatakan bahwa lupa berarti mati; aku mengenang,
karena itu aku ada; siapa yang tidak ada dalam kenangan tidak ada sama sekali.
Tanpa mudik Lebaran, warga kota cenderung merasa terasing dengan lingkungan
yang keras dan tidak ramah.
Hikmah
terpenting dari mudik Lebaran adalah merekat tali persaudaraan dan persahabatan
yang telah putus atau longgar akibat mobilitas geografis dan mobilitas sosial.
Mudik Lebaran merupakan sarana untuk mengefektifkan kembali komunikasi kita
dengan manusia lain, khususnya sesama Muslim. Mengapa kita perlu memperbaiki
kualitas komunikasi kita?
Komunikasi
sering dikaitkan dengan kesehatan fisik dan usia panjang. Berdasarkan
penelitian longitudinal selama 22 tahun dengan sampel 750 orang kulit putih dari
kelas menengah, Michael Babyak dari Universitas Duke dan beberapa sejawatnya
dari beberapa universitas lain di Amerika Serikat menemukan bahwa orang-orang
yang tidak suka berteman, memusuhi orang lain dan mendominasi
pembicaraan, berpeluang 60 persen lebih tinggi menemui ajal pada usia dini
dibandingkan orang-orang yang berperilaku sebaliknya: ramah, suka berteman, dan
berbicara tenang. Temuan itu telah diperteguh oleh banyak penelitian
kontemporer yang dilakukan para ahli.
Disebutkan,
misalnya, orang yang kekurangan hubungan akrab mempunyai dua hingga tiga kali
risiko kematian dini, terlepas dari apakah mereka merokok, minum alkohol, atau
olahraga teratur; kanker terminal menyerang orang yang terisolasi secara sosial
daripada mereka yang memiliki hubungan pribadi yang dekat. Orang yang
terisolasi secara sosial empat kali lebih rentan terserang flu daripada yang
memiliki jaringan sosial yang aktif (Ronald B Adler dan George Rodman, 2000).
Penyakit
modernitas
Jauh
sebelum itu, korelasi antara keterasingan dan keberingasan manusia terlihat
pada percobaan pembunuhan atas para presiden atau kandidat presiden AS, yang
ternyata dilakukan orang-orang yang kesepian. Ada ciri serupa pada 137 orang
yang mengancam membunuh para presiden atau kandidat presiden AS dalam periode
20 tahun. Mereka secara sosial terisolasi. Tahun 1972, pria yang dituduh mencoba membunuh kandidat presiden George
Wallace secara luas digambarkan sebagai orang yang senantiasa kesepian sejak
kanak-kanak dan tidak berhubungan dengan orang lain. Ibu kandungnya yang yatim
piatu sejak lahir dilukiskan sebagai perempuan yang jarang menyapa orang lain.
Saya
yakin berbagai kerusuhan, penganiayaan, dan kekerasan seksual yang sering
berujung pada pembunuhan di negara kita selama ini, bahkan dengan memutilasi
korbannya, antara lain disebabkan oleh ketiadaan hubungan yang akrab antara
pelakunya dan orang lain. Manusia-manusia era global adalah manusia-manusia
mekanis, robot-robot, yang tanpa lelah menghambakan diri pada uang dan
pekerjaan.
Mereka
seperti sekrup tanpa jiwa dari suatu mesin raksasa. Namun, mereka bersaing
dengan sesama dan saling memangsa. Jangan-jangan
para pengguna media sosial yang kerap berhubungan dengan sesama anggotanya
sedikit banyak menderita kecenderungan ini karena mereka lebih jarang
berhubungan dengan orang lain di dunia nyata.
Dibutuhkan
terapi menyeluruh untuk mengatasi penyakit modernitas ini, yang melibatkan
seluruh komponen bangsa, mulai dari keluarga, (tokoh) masyarakat, lembaga
pendidikan, hingga pemerintah.
oleh
Deddy Mulyana
disadur dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar