“Malam
Lailatul Qadar tidak pernah lewat dalam hidupku setiap Ramadhan. Masih mau ikut
dengan aku? Menunggu yang spektakuler, Ramadhan tahun ini Monumen Nasional itu
akan merunduk, malam lebih indah dari seribu bulan itu terwujud dalam lentur
menara bingkai emas itu. Aku akan memperoleh Lailatul Qadar Ramadhan tahun ini.
Ini merupakan pengalaman keagamaanku yang luar biasa. Anugerah Lailatul Qadar
terwujud di Lapangan Monas."
Ungkapan
tersebut terlontar dari bibir Ibnu, salah seorang tokoh dalam cerpen "Malam
Seribu Bulan" karya Hamsad Rangkuti. Ibnu, lelaki penjual obat di
pasar itu, meyakinkan tokoh aku yang juga narator cerpen tersebut tentang
keyakinannya bahwa Lailatul Qadar adalah sebuah malam ketika Monumen Nasional
merunduk, dan siapa pun yang dianugerahi malam tersebut dapat mengambil emas
sebanyak mungkin di pucuknya.
"Tahun
ini Monas akan merunduk di depanku. Aku akan mengikis kepingan emasnya sampai
serbuknya sepanci penuh," ucapnya lagi kepada tokoh aku, meyakinkan.
Entah
mendapat ilham dari mana, Ibnu pun benar-benar begadang dan menunggui malam
Lailatul Qadar itu di Monas di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir
bulan Ramadhan. Syahdan, Ibnu benar-benar mendapatkan apa yang dikatakannya.
Sepanci penuh serbuk emas di pucuk Monas berhasil ia dapatkan di malam yang
diyakininya itu sebagai malam Lailatul Qadar. Singkat cerita, ketika shalat
Idul Fitri, bertemulah Ibnu dengan tokoh aku, ia ceritakan segala apa yang
dialaminya berikut apa yang didapatkan di malam itu. Si aku yang sejak awal tak
percaya masih saja tak percaya akan apa yang dikatakan tukang obat jalanan itu.
Bibir
bolehlah menyangkal, namun hati manusia siapa yang tahu. Dalam perjalanan ke
rumah seusai shalat Id, tokoh aku masih saja gelisah dan kepikiran dengan apa
yang dikatakan Ibnu. Kegelisahan yang menghunjam itu pun mencapai puncaknya
ketika Ibnu benar-benar datang ke rumahnya, membawa segenggam serbuk emas
untuknya. Bukannya menerima dengan bahagia bagian emas yang dijanjikan Ibnu
kepadanya itu, aku justru panik dan buru-buru bergegas ke Monas.
Aku
berangkat ke Monas untuk melihat dan membuktikan apa yang dikatakan Ibnu atau
justru ingin mengikis emas seperti apa yang dikatakan Ibnu, entahlah, tak ada
kepastian. Hamsad membiarkan hikayat dua manusia ini menggantung begitu saja di
akhir cerita, seolah ingin memberikan secelah renung bagi pembaca.
Cerpen
"Malam Seribu Bulan" karya Hamsad Rangkuti yang terkumpul dalam buku
kumpulan cerpen Panggilan Rasul (Kepustakaan Populer Gramedia, 2010) ini
menyuguhkan sebuah potret manusia dan keberagamaannya. Bahwa bagi sebagian
manusia, agama masih saja diukur dengan kemilau benda-benda. Emas, misalnya.
Hingga malam Lailatul Qadar yang diabadikan Al-Quran sebagai malam yang lebih
agung dari malam-malam seribu bulan pun menjadi sekadar malam pesugihan atau
malam untuk mendapatkan harta kekayaan yang diidam-idamkan.
Dalam
pemahaman umum yang sering kali diceramahkan para mubalig atau khatib Jumat di
masjid-masjid, Lailatul Qadar adalah sebuah malam yang berada di bulan
Ramadhan. Ia berada di malam-malam ganjil pada sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, dunia akan terasa tenang,
tenteram, dan damai apabila malam ini datang. Di malam itu, konon Allah
benar-benar menumpahkan ampunan, rida, dan akan mengabulkan doa-doa apa pun
yang dimunajatkan hamba-hamba-Nya.
Tak
heran kemudian apabila banyak orang menunggu malam ini; merindukan dan
mengharap-harap agar "mendapatkan" malam ini. Mereka menitip harapan
pada malam ini, harapan yang ukhrawi berupa keselamatan kelak di alam
setelah kematian, lebih-lebih harapan duniawi sebagaimana digambarkan Hamsad
Rangkuti pada tokoh Ibnu dan aku dalam cerpen tersebut.
Cahaya
spiritual
Dalam
cakrawala tasawuf, Lailatul Qadar
adalah melubernya cahaya spiritual seseorang, yaitu ketika tabung cahaya rohani
telah kebak (penuh) dengan nilai-nilai dan tajalli (manifestasi)
keilahian sehingga dapat dipastikan bahwa dari ujung rambut hingga ujung kaki
orang beruntung itu berhiaskan dengan napas hadirat-Nya.
Dari
pemahaman ini, dapat diketahui bahwa Lailatul
Qadar bukan sekadar malam terkabulnya doa-doa, melainkan malam menyatunya
Tuhan dan hamba dalam sebuah getaran rasa rohani yang tak berhingga. Ketika
yang-Ilahi telah mewujud dan menubuh dalam diri seseorang, saat itulah ia
mendapatkan Lailatul Qadar. Ketika
nilai-nilai keilahian telah mengejawantah dalam perangai seseorang, pada momen
itulah ia berada di dalam sebuah ruang dan waktu yang lebih berharga nilainya
daripada malam-malam lain dalam seribu bulan.
Ibn
'Arabi, sufi sekaligus filsuf agung itu, dalam kitabnya, Tafsir Ibn 'Arabi,
memaknai seribu dalam frasa "seribu bulan" bukan sekadar hitungan
jumlah, melainkan sebagai puncak capaian tertinggi dari sebuah karunia.
Artinya, momen ketika seorang manusia mengalami penyatuan diri dengan
yang-Ilahi itu sebagai momen tak berhingga sekaligus karunia yang tak
tepermanai.
Bagaimana
tidak, martabat kemanusiaan sekaligus kehambaan seseorang yang semula imanen
tiba-tiba menjadi transenden di momen ini. Luberan cahaya dari tabung rohani
mengguyur diri seseorang tersebut sehingga laku dan perangainya semata-mata
laku dan perangai keilahian. Manusia yang semula seolah entitas profan beralih
menjadi entitas sakral karena gerak dan diamnya telah tersinari pancaran
keilahan.
Ketika
luberan cahaya rohani itu sudah menjelma perangai dari seseorang, ia tak akan
melakukan apa pun tanpa nilai-nilai keilahian. Ia akan melakukan segalanya
dengan cinta dan kasih sayang. Ketika cinta dan kasih sayang yang merupakan
pancaran ilahi ini sudah menjadi laku kesehariannya, saat itulah keberagamaan
seseorang menemukan hakikatnya, menemukan kesejatiannya, menemukan Lailatul Qadar-nya.
Saat-saat
begitu, tak akan ada lagi seseorang yang mencari kekayaan dalam agama ataupun
dengan agama sebagaimana Ibnu dan tokoh aku dalam cerita "Malam Seribu
Bulan" karya Hamsad Rangkuti di atas, tak akan ada lagi orang yang
meremehkan dan merendahkan orang lain atas nama agama, bahkan tak akan ada lagi
orang yang merasa bahwa keberagamaan dan spiritualitasnya lebih unggul dari
yang lain.
Maka,
dengan cerita "Malam Seribu Bulan", Hamsad menelanjangi keberagamaan
kita habis-habisan. Sikap kita yang masih memposisikan agama sebagai jalan untuk
mendapatkan harta atau apa pun yang bersifat duniawi dikritiknya dalam wujud
Ibnu dan tokoh aku. Hamsad menyindir cara kita dalam beragama yang masih di
wilayah wadah, tidak-sampai-pada isi.
Lailatul Qadar bukan malam tempat
seseorang mendulang peruntungan harta atau apa pun yang bersifat bendawi, bukan
pula sekadar malam yang bertabur pahala hingga mampu mengantar siapa saja ke
surga. Lebih dari sekadar itu, Lailatul
Qadar adalah sebuah suasana rohani ketika antara manusia dan Tuhan-nya
menyatu dalam getaran yang sama, yakni getaran dari melubernya cahaya rohani
dari tabung cahaya yang kebak akan cinta dan kasih sayang sebagai hakikat utama
dari dimensi keilahian.
Ketika
seseorang telah mendapatkan Lailatul
Qadar, ia akan melihat segala-galanya dengan tatapan cinta dan kasih
sayang, karena dirinya telah menjadi manifestasi yang-Ilahi di muka bumi.
Jangankan kepada sesama manusia; pada tumbuhan, hewan, dan pada tiap-tiap
ciptaan di semesta raya ini ia akan senantiasa bersikap indah penuh cinta dan
kasih sayang. Tak akan ada lagi kekerasan, tak akan ada lagi eksploitasi dan
perusakan alam, karena ia telah memperoleh karunia Lailatul Qadar.
Semoga
kita, lebih-lebih kau dan aku, menjadi manusia-manusia malam seribu bulan.
Manusia-manusia yang meraih agama sebagai hulu keindahan dari segenap tindakan;
manusia-manusia beragama yang mendapat luberan cahaya keilahian berupa cinta
dan kasih sayang: seberkas cahaya yang kemudian termanifestasi dalam perangai
keseharian, demi terwujudnya harmoni kemanusiaan di tengah-tengah perhelatan
akbar bernama kehidupan.
oleh
Achmad Faqih Mahfudz
disadur dari Kompas, Sabtu, 2 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar