Suatu
pagi, dua hari sebelum jatuhnya tenggat tulisan ini, saya menyantap sarapan
rohani seperti biasa. Sarapan yang satu ini telah dilakukan belasan tahun
lamanya. Meski sekarang saya telah hidup puluhan tahun, sarapan macam itu baru
belasan tahun dilakoni. Kalau Anda tanya mengapa, saya cuma bisa menjawab,
”Yaaa…gitu, deh.”
Duka
lara
Pagi
itu sarapan yang disodorkan adalah sebuah ajakan untuk melihat penderitaan
sebagai sebuah sukacita. Sejujurnya bukan sebuah ajakan, melainkan pernyataan
yang menggunakan kata harus. Jadi, saya harus melihat derita sebagai sebuah
sukacita. Saya yakin, Anda tahu reaksi yang terjadi di kepala saya.
Saya
protes. Tentu saya protes di kamar kecil bak sangkar burung itu dan sedihnya
protes itu hanya didengar tembok dan rak buku. Yang protes makhluk hidup, yang
mendengar benda mati. Jadi, bisa Anda bayangkan betapa frustrasinya. Biasanya
kalau di kantor, atau kalau lagi curhat sama teman, selalu ada reaksi dari
mereka yang mendengar.
Reaksi
itu lumayan menolong saya untuk melihat sebuah keadaan dari sudut pandang yang
berbeda. Kadang membantu, kadang meringankan, kadang malah naik pitam. Namun,
daripada sama tembok atau benda mati, memang paling oke dengan sesama manusia.
Apa yang saya protes?
Saya
juga yakin sekali, dalam hal ini, Anda tahu apa yang saya protes. Terutama
mereka yang telah menjalani penderitaan bertubi-tubi dalam bentuk yang beraneka
rupa. Kehilangan orang yang dicintai, mengalami kebangkrutan dari sebuah
kehidupan yang mapan sehingga utang menumpuk, penyakit yang datang silih
berganti seperti pagi dan petang. Sembuh enggak, hidup sehat juga enggak.
Mengalami
pelecehan, penghinaan sedari kecil sampai sekarang, mengalami diskriminasi di
dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial, mengalami pencurian, penipuan
materi dan atau penipuan hati oleh pemberi harapan palsu, hidup yang dikuasai
oleh manusia lain, tidak dapat bebas berpendapat.
Dimusuhi
karena beda pendapat dan dianggap orang edan, kesepian yang sangat. Ingin
berpasangan, kok, sampai hari ini tak dapat jodoh. Padahal, ada teman yang
pernah mengatakan kepada saya, sebaiknya manusia itu tidak hidup seorang diri.
Tabur-tuai
Suatu
hari, beberapa tahun lalu, teman saya yang tinggal di luar negeri mengirim
pesan tak lama setelah ia baru saja kehilangan barang-barangnya di dalam taksi.
Ia mengirim pesan sambil bertanya. ”Apa, ya, salahku ini? Kok, kayaknya
belakangan ini ada saja yang hilang.”
Tentu
saya mencoba memberikan balasan yang menyemangati. Tentu saya tak membalas
dengan sebuah kalimat yang memojokkannya. Meski di dalam hati, sejujurnya saya
ingin sekali mengatakan banyaknya kesalahan yang telah ia lakukan.
Maka,
pagi hari setelah sarapan rohani itu, saya memulai hari tidak dengan kekesalan,
tetapi dengan merasa, kok, otak saya enggak bisa mengerti pada penjelasan harus
bersukacita dalam penderitaan. Karena, sebagai manusia, kalau bisa, saya sama
sekali tidak mau menderita. Meski pengalaman hidup sendiri telah membuktikan
kalau itu tak bisa dihindari.
Akan
tetapi, disuruh sukacita dalam hidup yang sengsara itu saya sungguh tidak
mudeng alias tidak mengerti dengan akal saya yang, meski munafik dan enggak
pinter-pinter amat, masih lumayan sehat.
Saya
sampai berpikir, apa yang menyarankan itu adalah manusia yang kehidupan
spiritualnya sudah di langit ketujuh? Sudah dapat berkomunikasi dengan yang
Ilahi sehingga mereka mampu melihat kesengsaraan sebagai bukan hal yang
menyengsarakan?
Atau
saya ini terlalu banyak membuat kesalahan seperti teman saya yang kehilangan
barang-barangnya itu? Dosa-dosa saya yang tak terhitung jumlahnya membuat
kepekaan kehidupan spiritual saya begitu amburadul sehingga tak mampu melihat
yang duniawi dari kacamata spiritual? Sehingga saya bisanya cuma protes, cuma
bisa ngomong.
Terus,
kalau sampai bisa begitu, apakah itu yang disebut dengan hidup berkemenangan?
Tetapi bagaimana caranya saya bisa seperti penulis buku santapan rohani itu?
Apakah ia sendiri sudah tak punya rasa duka? Dia akan mampu senantiasa
bersukacita atas kehilangan?
Apakah
artinya ia mengharuskan saya menaklukkan keduniawian atau kemanusiaan saya?
Apakah, kalau sampai mencapai tahapan itu, saya masih bisa disebut sebagai
manusia? Apakah maksudnya bahwa penderitaan yang saya alami sekarang adalah
hasil dari kejahatan yang saya lakukan pada masa lalu? Jadi, bisa dikatakan
adillah. Sana menabur yang enggak baik, yaaa…sekarang tuailah yang tidak baik
itu.
Jadi,
dengan demikian, saya bisa melihat dan menjalankan penderitaan sebagai sukacita
karena itu memang harga yang harus saya bayar. Bukan begitu? Bukan, ya?
oleh
Samuel Mulia
disadur
dari Kompas, Minggu, 3 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar