"Kita
harus mencari cara yang sama sekali baru untuk berpegangan mengingat semua akar
tua-agama, bangsa, komunitas, keluarga, dan atau profesi-sekarang ini guncang
akibat dorongan akseleratif yang dampaknya serupa badai."
"Yang
paling buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca dan
menulis, tetapi yang tidak dapat belajar, melepaskan (unlearn), dan belajar
ulang (relearn)."
(Alvin
Toffler, seperti dikutip kantor berita Associated Press/USA Today,
29/6)
Alvin
Toffler bukan nama yang asing di Indonesia. Pengamat dan peminat kajian
perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi di sini familier dengan sosok yang
dikenal sebagai futuris ini dan karya-karyanya.
Jika
sebelumnya masyarakat Indonesia hanya mendengar tentang Toffler dari
karya-karyanya, khususnya Future Shock
(1970) yang terjual 5 jutaan buku, juga Third Wave (1980), pada September 1988
pengagumnya bisa bertatap muka langsung dengan sosok yang berbicara santun ini,
bersama dengan istri dan kolaboratornya, Heidi Toffler.
Toffler
lahir di New York, 4 Oktober 1928, dan besar di Brooklyn. Ia anak laki-laki
satu-satunya dan yang tertua dari dua anak pasangan Sam dan Rose Toffler, yang
merupakan imigran dari Polandia. Bakat menulisnya sudah ia asah sejak usia
dini: ia mulai menulis puisi dan cerita tidak lama setelah belajar membaca dan
bercita-cita ingin jadi penulis sejak usia 7 tahun.
Diawali
"Future Shock"
Dengan
buku Future Shock yang dengan
gamblang menggambarkan bagaimana manusia dan lembaga pada akhir abad ke-20
harus menghadapi ketegangan yang sangat kuat namun juga peluang besar akibat
munculnya perubahan cepat, Toffler mendapat kemasyhuran.
Buku
ini yang merupakan hasil pengkajiannya selama lima tahun atas kekalutan
kultural yang melanda AS dan negara-negara maju diterjemahkan dalam puluhan
bahasa. Ramalannya tentang konsekuensi perubahan cepat terhadap peradaban,
keluarga, pemerintahan, dan ekonomi sangat akurat. Di buku itu ia menerawang
perkembangan kloning dan berpengaruhnya komputer pribadi, juga penemuan
internet, dan TV kabel.
Setelah
Future Shock masih muncul Third Wave (1980) yang menjadi wacana
hangat di Indonesia. Buku ini menjelaskan tiga Gelombang Peradaban, yakni
Gelombang Pertama (8000 SM-1700), yakni dari era manusia nomaden hingga manusia
menetap dan membuka lahan pertanian, lalu Gelombang Kedua (1700-1970) dari
Revolusi Industri ke era komputer besar, dan Gelombang Ketiga (1750-2000-an)
dari era komputer mainframe ke komputer pribadi.
Saat
Toffler berkunjung ke Jakarta, September 1988, penulis sempat menanyakan,
bagaimana dengan tumpang tindih Gelombang di sebuah negara seperti Indonesia,
di mana satu wilayah baru memulai era pertanian setelah nomaden, sementara
wilayah lain sudah menanyakan ramalan bintang ke kota maju di AS? Toffler
menegaskan bahwa di AS yang sudah menikmati Gelombang Ketiga juga tetap ada
pertanian, tetapi pertanian yang berciri Gelombang Ketiga. Di AS petani sudah
memanfaatkan teknologi informasi untuk mengetahui pola cuaca, atau mengikuti
perkembangan harga komoditas.
Dalam
berbagai seminar pada masa itu Prof Iskandar Alisjahbana meringkaskan Gelombang
Ketiga Toffler dengan menyebut ciri utamanya bahwa peradaban di Gelombang ini
ditandai dengan dominannya sejumlah teknologi: penerbangan dan eksplorasi
angkasa luar, telekomunikasi dan pengolahan data, bioteknologi dan rekayasa
genetika, serta nuklir dan energi terbarukan. Keempatnya ditopang oleh
teknologi mikroelektronika.
Setelah
Third Wave masih muncul Powershift (1990), ada juga Adaptive
Corporation, tetapi sekadar menarik ke dimensi keamanan dunia, mendiang Toffler
juga menulis War and Antiwar (1993). Dalam buku ini dikupas prospek
perang di masa kini, yang antara lain ditandai dengan pergeseran dari
geopolitik ke geoekonomi, yang dicirikan oleh makin eratnya temali dalam
hubungan antarbangsa. AS dan Tiongkok bisa saja makin tegang menyangkut Laut
Tiongkok Selatan, tetapi Tiongkok adalah mitra dagang utama AS. Mengingat
ketergantungan ekonomi ini, muncul pertanyaan penting, apa iya kedua bangsa
masih akan memikirkan perang?
Sementara
itu, untuk informasi, baik juga kita ingat frase masyhur yang ia lontarkan,
yakni "information overload".
Ini karena selain kebanjiran informasi, macam informasi yang berlimpah itu
juga-menurut guru jurnalistik Bill Kovach-bersifat "kabur" (blur, 2013). Bisa dibayangkan betapa
berat beban masyarakat modern yang harus memikul beban informasi melimpah-ruah
namun membingungkan tadi.
Toffler
bukannya tak punya kritikus, tetapi ia diterima luas di berbagai negara.
Perdana Menteri Tiongkok Zhao Ziyang menyelenggarakan konferensi untuk membahas
Third Wave dan tahun 1985 buku ini best seller di Tiongkok, hanya kalah oleh
kumpulan pidato Deng Xiaoping.
Futuris
yang menulis 13 buku ini tutup usia dalam usia 87 tahun di rumahnya di kawasan
Bel Air, Los Angeles, Senin (27/6).
Selain
dikenang sebagai guru futurologi, Toffler telah mengilhami pemusik, seperti
Curtis Mayfield dan Herbie Hancock yang menulis lagu berjudul "Future
Shock".
Ramalannya
tentang adanya kota artifisial di bawah ombak atau koloni antariksa belum jadi
kenyataan, tetapi tentang Gelombang Ketiga, banyak yang sudah kita alami.
Seperti dikatakan Steve Casse, pendiri AOL, kepergian Toffler adalah satu
kehilangan.
oleh
Ninok Leksono
disadur dari Kompas, Minggu, 3 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar