Lanskap
komunikasi dan informasi yang mengalami perubahan drastis dewasa ini
menghasilkan sejumlah dilema terkait dengan keberadaan raksasa teknologi
digital seperti Google, Facebook, dan Yahoo. Google, misalnya, telah dianggap
anugerah bagi banyak orang. Jaringan mesin pencari dengan jumlah pengguna
terbesar di dunia ini memberi banyak kemudahan komunikasi-informasi dengan
kemampuan menyajikan lautan data dan informasi dengan lingkup nyaris tak
terbatas. Googling jadi modus baru masyarakat modern mencari informasi,
mendapat hiburan, memenuhi kebutuhan hidup, menjalankan profesi, dan
seterusnya. Lebih dari itu, Google menginspirasi banyak orang merintis berbagai
jenis usaha berbasis pemasaran dan penjualan secara daring.
Namun,
di sisi lain, Google juga menimbulkan masalah pelik terkait kedaulatan negara
dalam menerapkan pajak. Mendominasi belanja iklan digital global dengan pangsa
pasar 33,24 persen, Google meraih pendapatan terutama dari layanan iklan google
adwords. Sebuah metode beriklan secara daring yang menjanjikan efektivitas,
keterukuran, interaktivitas, dan adaptasi terhadap tren perubahan perilaku
komunikasi masyarakat. Persoalannya, bagaimana negara menerapkan pajak atas google
adwords? Siapa yang berhak menarik pajak, negara asal pengiklan atau negara
asal pemilik aplikasi iklan?
Inilah
muasal konflik antara Google dan otoritas pajak di Eropa belakangan.
Kecanggihan inovasi teknologi di sini bertemu kelihaian dalam menghindari
pajak. Transaksi google adwords di London, misalnya, tak dapat dikenai pajak
korporasi Inggris (20 persen) karena hak paten atas aplikasi ini dimiliki
perusahaan X di Irlandia. Pajak korporasi Irlandia (12,5 persen) juga tak dapat
diterapkan karena perusahaan X harus membayar royalti kepada perusahaan Y di
Belanda. Perusahaan Y sebagian kepemilikannya dimiliki perusahaan Z di
Irlandia. Perusahaan Z terbebas dari pajak karena secara legal dimiliki warga
negara Segitiga Bermuda.
Praktik
ulang-alik pajak yang dikenal dengan istilah double Irish with a Dutch
sandwich memicu kemarahan otoritas pajak di Eropa. Tahun lalu, otoritas
pajak Inggris menggugat Google atas tuduhan penggelapan pajak. Google kemudian
bersedia membayar 130 juta poundsterling untuk pengganti pajak selama
2005-2014. Dana yang mesti dibayarkan Google seharusnya jauh lebih besar karena
penghasilan Google di Inggris periode itu mencapai 6,8 miliar poundsterling
dengan ketentuan pajak korporasi 20 persen. Dengan latar belakang yang sama,
Pemerintah Perancis juga menuntut Google membayar 1,6 miliar euro untuk
pembayaran pajak transaksi Google periode 2011-2015.
Bagaimana
Indonesia? Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, Google dan
Facebook menguasai 80 persen belanja iklan digital Indonesia tahun 2015. Dengan
total belanja iklan digital tahun itu mencapai 800 juta dollar AS, dua
korporasi global itu berarti menikmati 640 juta dolar, setara Rp 8,45 triliun.
Pendapatan iklan ini seluruhnya terbebas dari pajak!
Urusan
pajak ini tentu sangat fundamental. Kita berbicara tentang kedaulatan fiskal
suatu negara, serta potensi pendapatan negara yang fantastis besarannya. Kita
juga berbicara tentang iklim berusaha yang timpang di bidang media dan
informasi.
Ketidakjelasan
skema pajak iklan digital hampir pasti mempengaruhi daya hidup media cetak,
radio, televisi, tanpa terkecuali media daring. Bagaimana mereka dapat bersaing
dengan Google dan Facebook jika yang terjadi adalah perlakuan asimetris
terhadap entitas bisnis yang sama? Mereka menjadi wajib pajak, sementara
raksasa-raksasa global itu terbebas dari pajak sehingga dapat menerapkan tarif
iklan yang ekonomis dan meraih porsi keuntungan lebih besar.
Masalah
berikutnya, tidak ada ketentuan tentang royalti untuk konten jurnalistik yang
diagregasi mesin pencari data. Google dan Yahoo notabene tidak memproduksi
informasi sendiri. Yang mereka lakukan, kurang-lebih, mengagregasi dan
mengategorisasi sumber-sumber informasi digital, termasuk media massa, lalu
menyajikan aksesnya kepada semua orang.
Beberapa
upaya melembagakan royalti atas konten jurnalistik yang diagregasi jaringan
mesin pencari itu sudah dilakukan di Jerman dan Spanyol. Nama regulasinya: hak
cipta untuk media pers. Namun, tak sedikit pihak menentang regulasi ini,
katakanlah pengelola portal berita yang justru merasa dibesarkan oleh jaringan
ini dengan meraih traffic dan indeks darinya. Di sini kita menemukan dilema
lain dalam menghadapi Google. Mau dilawan dia berguna untuk media konvensional.
Tak dilawan dia akan melibas media konvensional.
Dilema
berikutnya terkait dengan dampak negatif revolusi digital. Bahwa Google,
Facebook, Yahoo, dan lain-lain memberikan sumbangan berarti bagi kemajuan
peradaban masyarakat, tak diragukan lagi. Namun, di saat yang sama, masalah
serius sedang mengancam. Unconscious
sindrome, yakni sindrom lupa waktu, lupa kegunaan dan lupa konteks sehingga
senantiasa secara refleks terdorong untuk memelototi telepon pintar sudah
menggejala luas dalam masyarakat. Generasi muda selalu menjadi target utama.
Namun, mereka umumnya belum mendapatkan pendidikan tentang bagaimana
menggunakan telepon pintar secara pintar, bagaimana menghindari dampak-dampak
buruk teknologi internet.
"Generasi
muda perlu mendapatkan pelajaran tentang sejarah, efek sosial, dan bias-bias
teknologi agar mereka tumbuh jadi generasi yang mengetahui bagaimana
menggunakan teknologi, bukan sebaliknya, diperbudak teknologi." Peringatan
Neil Postman tahun 1992 ini sangat relevan untuk konteks teknologi digital di
Indonesia hari ini.
Singkat
kata, literasi media digital mutlak diperlukan, bahkan sudah saatnya dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan dasar. Mendidik masyarakat akan kebaikan dan
keburukan teknologi digital bukan hanya kewajiban negara, melainkan juga kewajiban
perusahaan-perusahaan distributor telepon pintar dan produk sampingannya.
Terintegrasi dalam lanskap komunikasi dan informasi global memang tak
terelakkan. Namun, kita perlu menghadapinya dengan bijak agar tidak semata-mata
diperlakukan sebagai pasar bahkan sebagai objek eksploitasi.
oleh
Agus Sudibyo
disadur dari Kompas, Senin, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar