Keluarnya
Inggris dari Uni Eropa (Brexit),
Jumat (23/6/2016), adalah kado spesial yang menyengat dan mengguncang
perekonomian global. Beragam reaksi, imajinasi, dan letupan emosi muncul atas
peristiwa ini. Inggris dianggap terlalu cepat meninggalkan Uni Eropa (UE).
Beberapa hari sebelumnya, kebanyakan orang masih yakin, Inggris akan bertahan
di UE untuk sementara waktu karena kondisi ekonomi global yang masih belum kondusif.
Lembaga survei terkenal, seperti YouGov, yang teruji akurasinya, dibuat gigit
jari dan tidak berkutik karena hasil prediksinya meleset dari perkiraan.
YouGov
memperkirakan 52 persen penduduk Inggris memilih bertahan di UE. Faktanya,
justru kebalikannya, 52 persen memilih keluar dari UE, unggul tipis (hampir 4
persen) dibandingkan dengan yang ingin bertahan di UE. Ini menyiratkan, rakyat
Inggris mulai bosan dengan keterpurukan UE setelah krisis ekonomi dunia 2008,
yang sulit untuk bangkit. Keluarnya Inggris dari UE agak terasa aneh. Rumor
Inggris akan meninggalkan UE hanya terdengar senyap dan sayup di awal tahun.
Tak seheboh dan sebising rencana kenaikan suku bunga acuan AS yang selalu
membuat panas dingin pasar finansial global.
Kejadian
tak terduga ini tak pelak langsung mengguncang pasar finansial global. Pasar
saham dunia rontok. Dalam sehari, saham di Eropa anjlok 8,6 persen, diikuti
Jepang 7,9 persen, AS 3,4 persen, dan Tiongkok 1,3 persen. Indonesia hanya
turun 1,1 persen. Demikian pula pasar surat berharga. Imbal hasil naik
signifikan karena harganya turun. Aset finansial secara kolektif pindah ke aset
dollar AS yang risikonya rendah (safe haven) dan logam mulia.
Brexit bukan tak mungkin akan memaksa dunia
merancang dan menata ulang perekonomian global. Memang ironis, rasa kebersamaan
dan kesatuan di UE yang sudah terjalin lebih dari 43 tahun dinodai perpecahan.
Tak
terbayangkan, bagaimana ke depannya? Dengan bersatu saja, pemulihan ekonomi UE
sangat lambat dan tersendat, apalagi jika akhirnya bercerai, mungkin situasinya
lebih rumit dan buruk lagi. Reposisi aset finansial global kemungkinan akan
segera terjadi, yang bisa menjalar ke dalam perekonomian nasional.
Setidaknya
ada empat pekerjaan besar yang akan dihadapi UE pasca keluarnya Inggris: (1)
penyelesaian finansial antara UE dan Inggris sebagai eks anggota, (2) ancaman
kian melemahnya pemulihan ekonomi UE, (3) potensi kian melambatnya pemulihan
ekonomi global, terutama mitra dagang utama UE, seperti AS, Tiongkok, India,
dan tentu saja dengan UE sendiri (new UE), dan (4) spirit mengikuti keluarnya
Inggris bisa menjalar ke anggota UE lain yang berpotensi memicu bubarnya UE.
Kelihatannya,
solusinya tidak akan mudah dan cenderung menambah kompleksitas masalah
perekonomian UE. Masa depan ekonomi UE terancam makin buruk dan ini akan kian
memperberat pemulihan perekonomian global. Kondisi ini tentunya akan memaksa
Bank Sentral AS (The Fed) harus berpikir ulang dan super hati-hati untuk
menaikkan suku bunga acuannya. Akan sangat logis kenaikan suku bunga AS ditunda
dulu dengan besarannya yang lebih rendah. Tanpa kenaikan suku bunga saja,
dollar AS cenderung dalam posisi menguat, yang makin mempersulit kinerja ekspor
AS.
Dampak
ke Indonesia
Bagi
Indonesia, hal ini bisa menjadi kesempatan yang baik karena Bank Indonesia akan
makin leluasa menurunkan suku bunganya-yang sudah turun empat kali
berturut-turut sejak awal tahun ini-lebih dalam lagi. Itu pun tidak mudah dan
ekstra hati-hati karena sangat tergantung dengan kondisi fluktuasi rupiah dan
likuiditas di pasar.
Khawatir
wajar, tetapi jangan sampai overdosis, dalam menghadapi keluarnya
Inggris dari UE. Ketergantungan perekonomian Indonesia secara langsung relatif
kecil dengan Inggris, baik dari sisi skala maupun besarannya.
Nilai
transaksi ekspor nonmigas Indonesia relatif sangat kecil, sekitar 1,2 persen,
begitu juga dengan investasi langsung (FDI) hanya sekitar 1,7 persen tahun
2015. Dari sisi pariwisata, turis Inggris hanya sekitar 2,6 persen dari total
turis yang berkunjung ke Indonesia 2014.
Atas
dasar ini, seharusnya Indonesia lebih mampu mengantisipasi dan memitigasi
dampak negatifnya ke perekonomian nasional dibandingkan Thailand, India, dan
Korea Selatan yang eksposurnya besar ke Inggris. Yang harus diwaspadai
guncangan jangka pendeknya, ketika fluktuasi/gejolak pasar finansial global
meningkat, yang akan merembet pada pasar finansial domestik, yang terlanjur
didominasi oleh investor asing.
Penting
untuk dipahami, walaupun pertumbuhan ekonomi kuartal I-2016 hanya tumbuh 4,92
persen, sebenarnya tidaklah buruk-buruk amat, apalagi kondisi ekonomi global
tidak sesuai seperti yang diharapkan. Peluang perekonomian nasional makin
membaik masih terbuka, dari konsumsi rumah tangga yang sekarang agak lemah.
Ditambah lagi, guyuran pengeluaran pemerintah yang masih menjanjikan melalui
stimulus fiskalnya.
Namun,
dari sumber pertumbuhan yang lain, kelihatannya kita perlu realistis dan tidak
berharap banyak. Investasi masih jauh panggang dari api, begitu juga dengan
ekspor yang masih lemah karena terbatas, dan buruknya permintaan global.
Terobosan
jangka pendek
Oleh
karena itu, obat jangka pendek perekonomian Indonesia tampaknya sangat mendesak
dan tak bisa ditawar lagi. Sinyal permintaan masyarakat yang sudah terasa lemah
denyutnya harus diobati segera dengan obat paten, bukan obat generik. Tanpa
dukungan konsumsi yang naik signifikan, tentu akan sulit menggerakkan
investasi. Kalau konsumsi masyarakat berangsur membaik, ada harapan
pebisnis/pengusaha akan meningkatkan produksi dan mendorong investasinya sehingga
pendapatan masyarakat makin membaik.
Apa
yang dilakukan BI dengan menurunkan suku bunga acuan secara agresif memang
sangat dibutuhkan perekonomian nasional. Begitu juga pendekatan makroprudensial
dengan menurunkan giro wajib minimum (GWM) bank, menaikkan batas bawah LFR (loan
to funding ratio), dan menaikkan LTV (loan to value) untuk kredit
perumahan.
Namun,
kita juga harus mewaspadai beberapa statistik berikut: (1) pertumbuhan kredit
yang cenderung turun ke 7,8 persen pada April 2016 dibandingkan akhir 2015 yang
10,4 persen, (2) naiknya kredit macet dengan rasio kredit bermasalah (NPL)
meningkat ke 2,9 persen dari 2,5 persen pada Desember 2015, (3) kredit yang
tidak dicairkan nasabah meningkat 3,6 persen di kuartal I-2016 (Rp 1.236
triliun), dibandingkan tahun lalu (Rp 1.193 triliun).
Indikator-indikator
ini sangat jelas mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa masalah utama ekonomi
domestik saat ini adalah sisi permintaan. Kebijakan penurunan suku bunga, GWM,
dan LFR lebih erat kaitannya dengan investasi, yang pada dasarnya adalah
penawaran. Hanya LTV kredit perumahan yang dapat mendorong permintaan
masyarakat secara langsung.
Dari
pemerintah, 12 paket kebijakan yang sudah diterbitkan juga cenderung berkaitan
dengan investasi dan pembangunan infrastruktur. Ini pun sangat kental
berhubungan dengan sisi penawaran perekonomian, yang baru berdampak pada jangka
menengah dan panjang. Belum lagi, ada banyak pihak menggugat efektivitas dan
implementasi paket kebijakan pemerintah yang terkesan mengawang-awang. Tidak
heran akhir-akhir ini ada desakan untuk mengevaluasi dan menyempurnakan
paket-paket ini.
Stimulus
fiskal yang sifatnya jangka pendek dan bisa mendorong konsumsi baru dari gaji
ke-13 dan 14 untuk PNS dan pensiunan. Daya dorong konsumsinya mungkin terbatas
ke perekonomian domestik, karena penerimanya tak banyak, diperkirakan hanya 5-6
juta orang dari 255 juta penduduk.
Terobosan
berani pemerintah sangat diperlukan untuk mendorong konsumsi masyarakat
sesegera mungkin sambil membangun rasa optimisme buat pelaku usaha. Dulu kita
pernah melakukan Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kemudian diganti namanya
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Dengan
program ini, jumlah penduduk miskin yang sekitar 27,7 juta orang (11 persen
dari total penduduk) bisa mendapat uang kontan (cash) dari pemerintah. Biaya yang dikeluarkan pemerintah mungkin
tak lebih dari Rp 20 triliun, tak besar dan tak terlalu berat buat APBN. Namun,
dugaan saya, dampak penggandanya (multiplier) cukup besar dan instan ke
perekonomian nasional melalui peningkatan konsumsi rumah tangga.
Solusi
jangka pendek dengan mendorong permintaan domestik menjadi syarat mutlak untuk
bangsa ini bertahan. Jika gagal memberikan solusi jangka pendek, program jangka
menengah dan panjang yang didengungkan oleh Nawacita akan sirna begitu saja.
Perekonomian kita sudah teruji menghadapi gejolak krisis ekonomi global 2008
karena struktur perekonomian bertumpu pada permintaan domestik. Brexit pasti mengganggu dan kita harus
siap menghadapi risiko terburuknya.
oleh
Anton Hendranata
disadur
dari Kompas, Senin, 4 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar