Dalam
kitab Ihya' 'Ulumuddin, Imam Ghazali membagi tiga golongan orang yang melakukan
ibadah puasa. Pertama, golongan awam (shaumul 'am), yaitu orang yang
berpuasa sekadar menahan lapar dan dahaga. Kedua, golongan khusus (shaumul khas), yaitu orang yang berpuasa
selain menahan lapar dan dahaga, juga menjaga mata, hidung, telinga, tangan,
kaki, dan seluruh tubuh dari perilaku negatif. Ketiga, golongan paling khusus (shaumul khawashil khawash), yaitu orang
yang menjalankan puasa seperti pada dua golongan di atas, tetapi juga
menambatkan pikiran dan hatinya hanya kepada Allah.
Dalam
kaitan ini, laku puasa seperti yang digambarkan Imam Ghazali tentu bergantung
pada kapasitas dan kapabilitas masing-masing individu. Orang yang meniatkan
puasa sepenuh jiwa dan raga serta memasrahkan segala sesuatunya hanya kepada
Allah dimungkinkan akan masuk golongan khusus dan bahkan paling khusus.
Meski
demikian, untuk menjalankan ibadah puasa dengan posisi dan tingkatan yang
berada pada golongan khas ataupun khawasul
khawas tidak serta-merta terjadi begitu saja. Masing-masing levelnya butuh
proses dan pentahapan yang dinamis. Dan, yang paling penting dalam menjalankan
ibadah puasa adalah bagaimana menempatkan diri kita secara resiprokal di antara
orang-orang yang menjalani puasa, baik pada tingkatan awam maupun tingkatan apa
pun. Tentu saja termasuk berpuasa di tengah masyarakat yang di antara mereka
ada yang kurang peduli terhadap aturan main berpuasa, seperti makan-minum di
siang hari serta membuka warung.
Keragaman
apresiasi
Di
samping itu, dalam menjalani ibadah puasa terdapat keragaman apresiasi
bagaimana masing-masing golongan menyiapkan dan mensikapinya. Pertama, bagi
kelompok tertentu, baik dari golongan awam, khusus, dan paling khusus ada yang
menyambut puasa Ramadhan dengan aneka macam ritus. Mulai yang bersifat
intrinsik keagamaan hingga ekstrinsik kebiasaan adat. Semisal menjalani puasa
sunah pada hari-hari tertentu di bulan Rajab dan Sya'ban, ziarah kubur,
padhusan yang dipercaya cara mensucikan diri, dan semacamnya. Namun, tak
sedikit orang yang menyatakan labelitas hukum tertentu seperti bid’ah terhadap laku persiapan ibadah
puasa Ramadhan tersebut.
Kedua,
dalam pelaksanaan ibadah puasa kita akan berhadapan dengan serangkaian ritus
peribadatan yang sifatnya sunah. Seperti shalat Tarawih, tadarus, iktikaf, dan
semacamnya. Namun, secara empiris banyak di antara kita yang terjebak dengan
perkara teknis perihal pelaksanaan ritus peribadatan sunah tersebut. Bahkan, di
antara kita saling mencela dan menyalahkan beberapa prosedur pelaksanaan ibadah
yang biasa dilakukan oleh kelompok orang.
Semisal
ada sekelompok orang yang Tarawih dengan 23 rakaat dianggap tidak sesuai sunah
rasul oleh sekelompok orang yang menjalani tarawih dengan 11 rakaat. Ada pula
sekelompok orang yang shalat Tarawih dengan gerakan yang sangat cepat, dianggap
mencederai kekhusyukan ibadah shalat Tarawih itu sendiri. Bahkan, untuk sekadar
membenarkan praktik peribadatannya menggunakan sejumlah dalil sebagai landasan
pembenar dari apa yang dilakukan.
Padahal,
setiap orang memiliki cara sendiri bagaimana mengekspresikan ritus
peribadatannya sesuai keyakinannya. Bisa jadi selera sekelompok orang yang
mengekspresikan ritus peribadatan shalatnya dengan caranya sendiri memiliki
jalinan keterhubungan yang sangat transendental dengan Allah. Maka, tidak
sepatutnya kita memperselisihkan berbagai ekspresi masing-masing kelompok dalam
menjalani ritus peribadatannya. Sebab, ibadah puasa menegaskan dua dimensi yang
antara satu dengan lainnya saling melengkapi. Yaitu, satu sisi kita menjalani
puasa sebagai kewajiban asasi, di sisi lain kita pun perlu menjalani ibadah
puasa sebagai hak asasi.
Kewajiban
asasi dan hak asasi
Dalam
buku Human Rights in Islamic Law,
Ibrahim Abdullah al-Marzouqi memberikan definisi bahwa terma kewajiban asasi
banyak merujuk pada norma agama yang mengarahkan orang agar menyembah kepada
Tuhan dan berbuat baik kepada sesama. Sementara term hak asasi, secara formal
muncul masif pada tahun 1984 melalui Deklarasi HAM PBB. Dalam hal ini,
kedudukan kewajiban asasi dan hak asasi mempunyai ruang sendiri-sendiri. Namun,
keduanya perlu dipertemukan secara resiprokal agar tidak dipertentangkan antara
satu dengan lain.
Sebagai
kewajiban asasi, masing-masing golongan yang berpuasa dalam model orang awam,
orang khusus, dan orang paling khusus dia akan selalu menyandarkan dirinya
kepada Allah. Namun, di antara mereka mempunyai hak asasi pula bagaimana
menempatkan diri pada level tertentu yang bisa memungkinkan dirinya bisa pasrah
dan khusyuk menjalani ibadah puasanya.
Bagi
orang awam, kewajiban asasinya berada pada level menahan dahaga dan lapar.
Namun, bukan berarti ketika dia mempunyai cara mengekspresikan kewajiban
asasinya dengan hak-hak asasi yang lain, seperti tetap menjalankan sesuatu yang
mendekati pada perkara yang nyaris menggugurkan puasanya, lalu dapat dihakimi
sebagai orang tidak memperoleh pahala apa pun. Meskipun ada dalam sebuah riwayat
bahwa "berapa banyak orang yang berpuasa yang tidak memperoleh apa-apa
kecuali dahaga dan lapar", bukan lantas keberadaannya dienyahkan begitu
saja dalam kerangka kesejatian ibadah puasa itu sendiri. Sebab, bisa jadi yang
bersangkutan sedang berproses menjalani puasa dengan diawali menahan dahaga dan
lapar, dan pada tahap berikutnya akan belajar pula menjalani puasa pada tahap
yang mendekati jenis golongan khusus.
Maka,
menghadapi golongan yang masih awam perlu dirangkul oleh orang-orang kebetulan
telah memasuki golongan khusus dan paling khusus agar bisa belajar bagaimana
menjalani sekaligus menghayati ibadah puasa sepenuh jiwa. Tidak semestinya
orang-orang yang masih awam, atau mungkin yang sedang tidak berpuasa sekalipun,
dihujat sedemikian rupa sehingga membuat dirinya benar-benar mengalienasikan
dirinya dari aura puasa Ramadhan. Kita perlu melatih kesadaran resiprokal agar
antara kita saling peduli dan saling memberikan pencerahan terhadap orang-orang
yang sedang melatih dirinya bisa terlibat dalam ritus ibadah puasa.
Bila
kesadaran resiprokal ini bisa kita lakukan, esensi puasa Ramadhan sebagai bulan
tajribiyah (melatih diri) dan bulan tazkiyah (mensucikan diri) akan
memberikan nilai tambah bagi kita untuk semakin memperkuat keyakinan teologis
kita kepada Allah, sekaligus keyakinan sosiologis kepada sesama kita. Bahwa,
sesungguhnya-meminjam istilah Gus Dur-di dunia ini tidak ada orang yang jahat,
melainkan orang yang sedang berproses menjadi orang baik. Termasuk mereka,
orang-orang yang sedang menjalani ibadah puasa dengan level awam, yang masih
menambahkan laku spritualitasnya pada pencegahan dahaga dan lapar serta masih
dilingkupi dengan berbagai tindak tanduk yang mencelakan.
oleh
Fathorrahman Ghufron
disadur dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar