Jabatan
Perdana Menteri pada 1950-1951 dan Menteri Penerangan (1946-1947 dan
1948-1949), serta pemimpin Fraksi Masyumi di parlemen (dekade 1950-an) tidak
membuat Mohammad Natsir (1908-1993) silau dengan semua jabatan itu. Natsir
tidak mau menggunakan politik aji mumpung atau mentang-mentang. Bagi Natsir,
jabatan bukanlah tempat untuk berburu fasilitas atau priveledge.
Maka,
ketika ada seseorang yang hendak "membantu" dengan menghadiahkan
mobil sedan Chevrolet Impala pada tahun 1956, Natsir menolaknya. Padahal,
anak-anaknya yang nguping sudah senang bukan main. "Mobil itu bukan hak
kita, lagi pula yang ada masih cukup," kata Natsir kepada anak-anaknya
(Natsir, Politik Santun di Antara Dua Rezim, 2011). Kala itu Natsir punya mobil
DeSoto produksi Chrysler yang sudah tua.
Pelajaran
dari Natsir bahwa menjadi pemimpin janganlah jalan enaknya saja yang
dibayangkan, melainkan amanah dan tanggung jawabnya yang besar. Pemimpin sejati
barangkali tak pernah berpikir untuk dirinya, tetapi kemaslahatan publik.
Seorang pemimpin seharusnya memahami betul teladan yang dilakukan pemimpin
bangsa seperti Agus Salim (1884-1954). "Memimpin adalah menderita (leiden is lijden)," kata Agus Salim
yang sering dikutip tokoh bangsa Kasman Singodimedjo (1904-1982).
Kisah
Natsir, Agus Salim, dan pendiri bangsa lainnya yang memiliki integritas kuat
sepertinya belum menyadarkan para pemimpin-tepatnya pejabat-sekarang ini.
Hari-hari belakangan ini, publik dihebohkan beredarnya surat Sekretariat
Jenderal DPR yang meminta Kedutaan Besar RI di Washington dan Konsulat Jenderal
RI di New York untuk menjemput dan mendampingi anak Wakil Ketua DPR Fadli Zon
yang politisi Partai Gerindra. Isi surat itu: "penjemputan dan
pendampingan". Jadi, kalau dibantah minta fasilitas, surat itu sudah jelas
banget, kok. Mengembalikan uang jemputan sebesar Rp 2 juta tentu tak bisa
menghapus ketidakpantasan kasus tersebut. Saking gemas publik sampai-sampai
muncul meme di media sosial "Lo pikir KBRI travel agent?"
Kasus
sejenis rasanya cukup sering. Sekitar akhir Maret lalu, beredar surat
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kementerian PAN dan RB) yang meminta Konsulat Jenderal RI di Sydney,
Australia, menyiapkan transportasi dan akomodasi Wahyu Dewanto Suripman, kolega
Menteri Yuddy Chrisnandi Partai Hanura. Wahyu juga anggota DPRD DKI Jakarta.
Belum
selesai pergunjingan surat itu, beredar lagi surat anggota Komisi I DPR dari
Fraksi Partai Gerindra, Rachel Maryam. Rachel pergi ke Paris, Perancis, bersama
keluarga pada 20-24 Maret 2016. Rachel meminta bantuan Duta Besar RI untuk
Perancis untuk penjemputan dan transportasi selama di Paris. Belum terdengar
seperti apa sanksi keras yang dijatuhkan terhadap kasus-kasus minta fasilitas
seperti itu?
Meskipun
kerap "lumrah" dalam panggung politik, minta fasilitas semestinya
dihentikan. Supaya tidak tuman. Jangan campur-adukkan kepentingan pribadi
dengan kepentingan bangsa. Khalifah Umar bin Abdul Aziz (682-720) adalah
pemimpin paling takut jika kepentingan pribadinya berbaur dengan kepentingan
masyarakat (umat).
Dalam
kasus minta fasilitas ini, sesungguhnya bukan persoalan materi an sich, melainkan faktor kekuasaan (power) yang menonjol. Bisa jadi ada
semacam hasrat untuk menerapkan praktik-praktik kuasa; apakah pengaruh,
otoritas, dominasi, yang melekat dalam diri pejabat dapat bekerja efektif.
Kalau begitu, rasanya jauh sekali dengan pemimpin sejati seperti Agus Salim
atau Natsir. Jangan-jangan sekarang ini memang banyak pemimpin karbitan, yang
belum saatnya tampil.
oleh M
Subhan SD
disadur
dari Kompas, Kamis, 30 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar