Sepak
terjang Teman Ahok dan keberhasilannya mengumpulkan 1 juta KTP untuk mendukung
pencalonan Ahok sebagai calon independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
memunculkan kembali euforia soal peran anak muda dalam politik Indonesia.
Fenomenalnya
sepak terjang Teman Ahok pun kemudian memunculkan berbagai glorifikasi terhadap
Teman Ahok. Ada yang menyebutnya sebagai gerakan politik, gerakan relawan,
partisipasi politik anak muda, atau bahkan sebagai bentuk penolakan generasi Y
terhadap oligarki parpol.
Ada
juga yang menyebutnya sebagai anomali politik dan upaya deparpolisasi partai di
Indonesia. Klaim sebagai gerakan relawan (civic voluntarism) juga
beberapa kali disampaikan oleh para pengurus Teman Ahok, yang kemudian juga
diafirmasi oleh beberapa kalangan sebagai kekuatan masyarakat sipil.
Kebangkitan
Masyarakat Sipil?
Jika
ditelisik ke belakang, wacana mengenai kebangkitan sipil mulai banyak
disuarakan sejak beberapa tahun lalu. Momen Pilgub DKI 2012 yang berlanjut
dengan Pilpres 2014 diyakini sebagai momentum kebangkitan masyarakat sipil.
Saat itu kekuatan masyarakat sipil muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari
koalisi organisasi masyarakat sipil sampai pada relawan politik— yang juga
dianggap menjadi fenomena baru dalam politik Indonesia.
Aktivisme
politik masyarakat sipil saat itu juga terlihat sangat beragam: ada yang tetap
menjalankan fungsinya sebagai watchdog yang menjaga integritas pemilu, ada yang
memposisikan diri sebagai kelompok oposisi terhadap kandidat tertentu, ada juga
yang memilih bersikap netral, dan ada juga yang justru melibatkan diri sebagai
pendukung atau bahkan tim pemenangan kandidat.
Menurut
Agus Sudibyo, aktivisme semacam ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan
pola lama di mana masyarakat sipil umumnya mengambil jarak dari pertarungan
politik memperebutkan kursi, dan lebih memposisikan diri sebagai “pendamping”
masyarakat (2014).
Boleh
jadi, konteks politik saat itu menjadi salah satu alasan yang menjelaskan
mengapa aktivisme politik masyarakat sipil menguat dan bahkan menjadi partisan.
Laporan riset Puskapol pada Desember 2014 menyebutkan bahwa polarisasi dua
kandidat dalam pilpres mendorong masyarakat sipil mengekspresikan pilihan
politik secara terbuka dan lebih “politis”.
Kemenangan
Jokowi dalam Pilgub 2012 dan Pilpres 2014 juga tak lepas dari peran aktif
masyarakat sipil. Mereka mewujud sebagai kekuatan politik riil yang tidak hanya
memposisikan dirinya di luar dan berhadapan secara vis a vis dengan kekuatan besar oligarki parpol, tetapi juga
menjadi basis pendukung, pemilih dan sekaligus menjadi juru kampanye (spoke
person) bagi pasangan Jokowi.
Sekilas,
keyakinan tentang bangkitnya masyarakat sipil tidak terbantahkan. Sefsani &
Ziegenhain (2015) menyebutnya sebagai faktor penentu kemenangan. Pujian yang
agak bombastis bahkan menyebut masyarakat sipil sebagai the political
celebrity of the election (bintang pemilu) dan savior of Indonesia’s
democracy (penyelamat demokrasi).
Singkat
kata, keberhasilan masyarakat sipil sebagai mesin yang menumbuhkan semangat
voluntarisme politik, aktivisme individual, monitoring publik, dan aksi
kolektif yang mempengaruhi proses pemilu merupakan wujud kebangkitan masyarakat
sipil. Fenomena Teman Ahok pada akhirnya memperkuat kembali keyakinan soal
kebangkitan masyarakat sipil sebagai pivotal player dalam politik pemilu di
Indonesia.
Glorifikasi
Glorifikasi
terhadap masyarakat sipil bukan hal baru dalam diskursus akademik. Mereka
sering dipuja-puji sebagai mesin pendorong demokratisasi, dan diasumsikan
memiliki kontribusi positif terhadap demokratisasi. Masyarakat sipil bahkan
diyakini merupakan prasyarat bagi tercapainya konsolidasi demokrasi (Putnam
1993, Gellner 1994, Fukuyama 1996, Diamond 1999).
Putnam
misalnya meyakini masyarakat sipil yang aktif sebagai obat mujarab (panacea)
untuk berbagai penyakit dalam demokrasi, terutama untuk mengatasi apatisme,
ketidakpuasan, dan ketidakpercayaan publik terhadap institusi pemerintah.
Glorifikasi ini belakangan banyak digugat. Omar Encarnacion (2003) dalam
bukunya, The Myth of Civil Society, mengkritisi pandangan tentang
“kesempurnaan” masyarakat sipil sebagai agen demokrasi sebagai keyakinan
bersifat problematis bahkan nyaris mendekati mitos.
Sebaliknya,
keberadaan masyarakat sipil yang aktif justru bisa menjadi penghambat
demokratisasi, terutama jika demokrasinya masih dikarakterisasi dengan
inefisiensi dan lemahnya institusi-institusi politik. Dalam konteks Indonesia,
glorifikasi masyarakat sipil juga menyisakan banyak persoalan serius.
Politik
“partisan” masyarakat sipil dalam pemilu ternyata membawa dampak pada
melemahnya fungsi pembangunan demokrasi yang semestinya melekat dalam dirinya.
Narasi mengenai keterlibatan masyarakat sipil yang awalnya bicara soal
penolakan terhadap cengkeraman oligarki parpol serta upaya menyelamatkan
demokrasi Indonesia pada akhirnya justru terdegradasi menjadi real partisan:
menjadi buzzer dan pembela mati-matian politisi yang didukungnya.
Bahkan,
tak jarang pembungkaman kritik terhadap pemerintah justru dilakukan oleh sesama
kelompok masyarakat sipil sendiri. Dalam banyak kasus di mana kebebasan
bersuara semakin ditekan dan pelanggaran HAM terus terjadi, sikap masyarakat
sipil terbelah dan cenderung berstandar ganda.
Isu
reklamasi dan penggusuran daerah kumuh di Jakarta misalnya menjadi contoh
sempurna yang memperlihatkan keterbelahan dan standar ganda sikap masyarakat
sipil. Agaknya, sikap partisan saat pemilu menjadi harga mati untuk terus
mendukung figur pilihannya ketika dihadapkan pada situasi di mana kelompok non pendukung
masih saja gencar memposisikan dirinya sebagai pengkritik utama pemerintah.
Dalam
kasus Teman Ahok, glorifikasi terhadap mereka juga sama problematiknya.
Terlepas dari berbagai apresiasi terhadap keberhasilan mereka, atau bahkan
tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada mereka belakangan ini, tulisan ini
ingin mengingatkan pembaca agar kita tidak terjebak pada glorifikasi yang bisa
jadi ternyata hanya ilusi.
Karena,
aktivisme masyarakat sipil yang sesungguhnya semestinya didasarkan pada
dukungan terhadap gagasan (ideas), bukan figuritas (persona).
Bagaimanapun Ahok adalah politisi. Rekam jejaknya sebagai politisi jauh lebih
mudah ditelusuri dan menjadi bukti daripada imaji yang dibangun dan dipoles
lewat proses branding dan marketing yang boleh jadi juga
mengandung ilusi.
Praktik
trial and error dalam berdemokrasi selama 17 tahun terakhir semestinya
cukup memberi kita pelajaran bahwa percaya pada Mesias politik tidak akan
membawa kita sampai pada cita-cita demokrasi.
oleh
Hurriyah
disadur dari Koran Sindo, Rabu, 29 Juni 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar